Disadari atau tidak, pandemi Covid-19 telah membuka banyak ruang permenungan terhadap berbagai hal. Pada aspek ekonomi, bertebaran tulisan dengan tajuk yang hampir mirip satu sama lain: wajah ekonomi setelah pandemi. Dalam teropong yang lebih luas, refleksi tersebut bahkan berusaha untuk memberi prediksi terhadap struktur dunia dalam kenormalan baru (new normal).
Percakapan tersebut pada akhirnya juga tak luput berbicara mengenai advokasi terhadap perubahan sistem-sistem politik. Kehadiran pandemi ini dijadikan kuas untuk melukis ide-ide politik yang dulu mungkin dianggap cukup radikal.
Perbandingan dengan melihat negara-negara lain yang dianggap berhasil menangani pandemi ini memberi ruang terhadap penyerapan nilai-nilai (values) bahkan tendensi untuk melakukan impor ideologi.
Tak jarang, komparasi ini memunculkan kembali garis demarkasi antara politik sayap kiri (left wing) dengan sayap kanan (right wing).
Ben Rhodes, mantan Wakil Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, turut mengomentari fenomena ini dalam akun twitternya dengan melakukan klaim bahwa negara-negara yang menangani pandemi ini secara buruk sebagian besar adalah negara-negara nasionalis sayap kanan.
Konstelasi argumen sistem politik dunia turut membawa demokrasi ke gelanggang pertarungan. Kerugian material yang besar—kehancuran ekonomi menuju resesi—sampai kepada kematian beribu-ribu warga negara telah memberi dorongan untuk mengembalikan kekuasaan politik eksekutif yang lebih besar dan sentralistik.
Di beberapa negara, masa transisi ini telah mengakibatkan erosi dan pelemahan nilai-nilai dan praktik demokrasi sekaligus membuka jalan kembali kepada tegaknya otoritarianisme.
Kelahiran Baru Otoritarianisme
Keadaan serba genting dan penuh ketidakpastian membuat banyak orang mengubah pikirannya. Di masa sebelum pandemi, setiap orang merasa prinsip kebebasan adalah sesuatu yang tidak boleh dicampuri sesuka hati oleh negara.
Namun, belakangan ini, dukungan terhadap tangan besi pemerintah dalam hal memberlakukan pembatasan-pembatasan justru bertambah walaupun harus memasuki wilayah privasinya sebagai warga negara.
Hal ini diperkuat dengan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahnya yang dianggap kurang tegas dalam menyelesaikan bahaya pandemi ini. Keadaan ini menjadi jalan sutra bagi masuknya kembali nilai-nilai otoritarianisme secara bertahap.
Tentu, klaim tersebut membutuhkan pembuktian yang lebih sistematis dan empiris. Apalagi tidak ada garis pembatas yang kentara kapan berakhirnya demokrasi dan dimulainya otoritarianisme.
Proses ini selalu berlangsung secara sedikit demi sedikit dan bekerja dalam bayang-bayang. Tidak ada satu pemimpin pun yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah pendukung sistem otoritarianisme. Malah, sebaliknya, mereka akan tetap memberikan ilusi bahwa kepemimpinannya bersifat demokratis walaupun praktiknya tidak sejalan.
Namun, walaupun begitu, salah satu indikasi kemunculan kembali otoritarianisme ini bisa dilacak dalam beberapa kebijakan pemimpin berbagai negara dalam menangani pandemi Covid-19.
Di Hongaria, Perdana Menteri Viktor Orban, beberapa bulan yang lalu telah berhasil memberlakukan keadaan darurat (state of emergency) dengan harapan dapat melakukan penanganan wabah secara cepat dan efektif.
Namun, pemberlakuan status beru tersebut diikuti dengan penambahan otoritas kepada perdana menteri untuk melangkahi atau membekukan beberapa hukum dan peraturan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Belakangan, otoritas tersebut telah dicabut oleh parlemen karena dianggap dapat berpotensi menjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Walaupun begitu, penarikan kekuasaan tersebut dianggap hanya bersifat formalitas belaka karena kekuasaan perdana menteri akan tetap besar selama pandemi berlangsung (BBCNews, 2020).
Hal yang senada juga terjadi di Israel. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memberlakukan beberapa kebijakan penanganan dengan melangkahi kewenangan parlemen dan pengadilan. Hal yang paling krusial adalah kebijakan untuk melakukan tracking ke setiap telepon seluler warga negara Israel dengan memanfaatkan fasilitas badan inteligen negara.
Kebijakan tersebut mendapat kritik yang sangat keras dari para pemerhati masalah privasi. Bukan hanya kebijakan tersebut dibuat tanpa persetujuan lembaga-lembaga terkait, substansi kebijakan tersebut juga problematik karena dapat berujung pada pemanenan data milik warga negara yang tidak diberikan secara konsensual.
Masuknya Filipina sendiri sebagai salah satu negara dalam daftar tentu bukan lagi kejutan. Presiden Rodrigo Duterte jelas mempunyai reputasi tangan besi dalam mengelola pemerintahannya bahkan sebelum Covid-19 menjadi pandemi global.
Kebijakan hukuman mati bagi pengedar narkoba sepertinya menjadi basis yang sama dalam pemberian sanksi selama pandemi berlangsung. Kewenangan untuk menembak secara penuh diberikan kepada tentara jika ada warga negara yang melanggar aturan lockdown.
Kompleksitas Masalah dan Masa Depan Demokrasi
Laporan Freedom House tahun 2020 mencatat bahwa demokrasi sedang mengalami resesi selama satu dekade terakhir. Munculnya pandemi Covid-19 ini ditakutkan turut membuka jalan bagi otoritarianisme untuk menggantikan demokrasi. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan yang hadir: Apakah otoritarianisme alternatif yang lebih baik dalam menangani krisis pandemi Covid-19?
Penelitian yang dilakukan oleh Frey et al. (2020) memberikan jawaban pertama yang kelihatannya justru bertolak belakang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan walaupun negara-negara autokrasi mampu melakukan kebijakan lockdown secara ketat, negara-negara demokrasi ternyata juga mampu membatasi mobilitas warganya tanpa harus melakukan tindakan kekerasan. Artinya, kebebasan yang hadir dalam negara-negara demokrasi tidak serta merta membuatnya gagal dalam penanganan pandemi.
Masalah penganangan Covid-19 ini juga tidak bisa dilihat secara polos dan simplistik, tetapi harus tetap peka konteks dan nuansa. Sistem politik yang demokratis maupun otoriter bukanlah satu-satunya pemain dalam gelanggang, tetapi banyak faktor lainnya yang turut menentukan output penanganan. Beberapa penelitian menunjukkan salah satu yang cukup berpengaruh adalah nilai budaya (cultural values).
Walaupun nilai budaya sangat bervariasi di berbagai negara, secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang cenderung lebih individualistik atau kolektivistik.
Negara-negara dengan nilai budaya individualistik mempunyai kelebihan akan suburnya inovasi dan eksperimentasi tetapi kesulitan untuk berkoordinasi dalam tindakan-tindakan kolektif. Hal ini dikarenakan mereka lebih tertarik untuk memenuhi ketertarikan pribadi dibandingkan kebaikan bersama.
Sebaliknya, negara-negara dengan nilai budaya kolektivistik akan menekankan pada pentingnya kesetiaan pada kelompok, konformitas serta kepatuhan kepada pemimpin. Hal ini tentu akan menjadi poin lebih di saat-saat pandemi seperti sekarang (Gorodnichenko and Roland, 2015).
Terakhir, perlu diingat bahwa keberhasilan negara-negara dalam menangani pandemi Covid-19 tidaklah hadir dari satu sayap politik saja. Cina ataupun Vietnam mungkin dianggap berhasil sekaligus mewakili negara-negara autokrasi, namun di luar itu ada banyak sekali negara-negara yang menganut demokrasi yang juga berhasil.
Dua di antaranya yaitu Selandia Baru dan Korea Selatan. Itu berarti otoritarianisme bukanlah solusi mutlak bagi penanganan krisis pandemi sehingga demokrasi harus dikorbankan. Demokrasi masih punya jalan panjang dan harapan. Kebebasan dalam demokrasi justru membuatnya dapat terus belajar dan beradaptasi untuk pandemi-pandemi lain yang akan datang.