Menakar Peluang IPO Tokopedia di 2021

Tri Apriyani | Samses
Menakar Peluang IPO Tokopedia di 2021
Ilustrasi ticker bursa efek (sumber: ISO Republic)

Revolusi Industri 4.0 yang mengotomatisasi banyak proses bisnis dan industri telah mengubah pola perilaku para pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi ekonomi, tidak terkecuali pelaku ekonomi dalam skala paling kecil yakni rumah tangga. Rumah tangga turut memanfaatkan kemudahan yang ditimbulkan kemajuan teknologi untuk melakukan aktivitas ekonomi sehari-harinya agar lebih ekonomis, efisien, dan efektif. Peluang yang ditimbulkan oleh perubahan ini rupanya berhasil dimanfaatkan oleh Tokopedia, salah satu perusahaan e-commerce terbesar di Indonesia.

Tokopedia merupakan perusahaan perdagangan elektronik yang didirikan oleh William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison pada 2009 dengan misi pemerataan ekonomi secara digital. Tokopedia menyediakan platform yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk saling melakukan transaksi jual-beli secara daring tanpa memandang jarak dan waktu. Setelah 11 tahun sejak didirikan, Tokopedia telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif setiap bulannya dan telah menjangkau 98% kecamatan yang ada di Indonesia.

Selain berperan sebagai platform e-commerce yang memfasilitasi transaksi jual beli, Tokopedia juga mengembangkan sayap bisnisnya dengan menyediakan berbagai jenis layanan yang dapat mempermudah penggunanya dalam melakukan berbagai jenis transaksi seperti pembelian reksadana, pembayaran asuransi dan tagihan utilitas, investasi emas, hingga pembayaran pajak dan zakat. Dengan banyaknya layanan yang disediakan dalam satu aplikasi, Tokopedia mampu menjadi perusahaan rintisan (startup) yang turut berperan dalam memajukan perekonomian di Indonesia

Pada 2017, sejak didirikan 8 tahun silam, Tokopedia berhasil meraih valuasi sebesar $1 miliar dan menjadi perusahaan rintisan asli Indonesia kedua yang berpredikat “unicorn” setelah Gojek. Hingga 2020, valuasi Tokopedia telah berada di kisaran $8 miliar dan mendekati nilai $10 miliar untuk mendapatkan predikat “decacorn”. Sekalipun masih mencatatkan kerugian, faktor yang membuat valuasi Tokopedia bisa melesat tinggi adalah besarnya jumlah pengguna, volume transaksi jual beli yang cukup tinggi setiap harinya, hingga data pola konsumsi dan transaksi penggunanya. Sejauh ini Tokopedia masih menggunakan model bisnis “bakar uang” dengan menggelontorkan biaya promosi yang besar untuk menarik pelanggan baru dan mendorong pelanggan lama untuk terus meningkatkan aktivitas transaksinya.

Namun jika kita menggunakan perspektif jangka panjang, Tokopedia tidak bisa terus menerus menggunakan strategi “bakar uang” dalam bisnisnya. Seperti perusahaan pada umumnya, Tokopedia harus berhenti menggunakan strategi tersebut dan mulai menghasilkan keuntungan agar dapat terus bertahan dalam waktu yang lama. Hal ini tentunya sudah disadari oleh William Tanuwijaya selaku CEO dan founder Tokopedia. Untuk mendukung pengembangan bisnisnya, Tokopedia memerlukan pendanaan baru yang cukup besar, dimana salah satu opsi yang dapat digunakan adalah mencari pendanaan dari pasar saham atau bursa efek. Berdasarkan informasi yang dikutip dari Reuters, Tokopedia telah merencanakan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO) atau menawarkan sahamnya untuk diperjualbelikan di bursa efek.

Rencana tersebut dibenarkan oleh manajemen Tokopedia yang telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai konsultan untuk merealisasikan rencana ini. Jika rencana ini berhasil, Tokopedia diperkirakan akan memperoleh pendanaan baru sebesar $1 miliar (Rp14 triliun). Selain itu, valuasi Tokopedia juga diperkirakan akan meningkatkan hingga $10 miliar (Rp 140 triliun) dan membuat Tokopedia layak mendapatkan predikat “decacorn”.

Sejauh ini Tokopedia belum memutuskan bursa efek mana yang akan dipilih untuk listing. Manajemen Tokopedia sendiri diisukan berencana melakukan dual-listing di Amerika Serikat dan di Indonesia agar sahamnya turut dapat dimiliki oleh karyawan dan masyarakat Indonesia. Salah satu pertimbangan strategi yang akan digunakan adalah dengan membentuk Special Purpose Acquisition Company (SPAC) bersama dengan Bridgetown Holdings Ltd. yang didukung oleh miliarder Peter Thiel dan Richard Li dan saat ini melantai di bursa Nasdaq, Amerika Serikat.

Jika melihat bagaimana pengaruh pandemi COVID-19 di 2020 baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat, kedua negara sama-sama cukup terpukul, khususnya secara perekonomian. Kebijakan pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi yang tidak kunjung membuahkan hasil yang signifikan, cukup membuat perekonomian kedua negara terpuruk. Indonesia sendiri sudah masuk ke dalam jurang resesi setelah pertumbuhan ekonomi negatif selama 2 kuartal berturut-turut, yakni -5,32% di kuartal II dan -3,49% di kuartal III. Amerika bahkan berpotensi mengalami resesi “double dip” setelah mengalami kontraksi ekonomi selama 3 kuartal berturut-turut. Kontraksi ekonomi sendiri dapat diartikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi dan produksi barang dan jasa selama satu periode di suatu negara.

Namun jika kita melihat kondisi pasar modal di kedua negara, rupanya kontraksi ekonomi tidak serta merta membuat kondisi bursa terpuruk. Jika melihat grafik harga saham gabungan, trennya justru cenderung stabil. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sendiri pada penutupan di tanggal 23 Desember 2020 berada di angka 6.009. Angka tersebut turun sebesar -4,7% YoY (year-on-year) dan meningkat sebesar 6,3% dari bulan sebelumnya. Sementara untuk Nasdaq, indeks harga saham ditutup pada angka 12.804 penutupan 24 Desember 2020 terjadi kenaikan hingga 42,2% dari tahun sebelumnya dan sebesar 10,9% dari bulan sebelumnya.

Dari sisi bisnis e-commerce, Bank Indonesia sendiri mencatatkan volume transaksi e-commerce secara keseluruhan di kuartal III 2020 sebanyak 150,16 juta transaksi atau mengalami peningkatan sebesar 79,38% YoY. Nilai transaksipun turut mengalami peningkatan sebesar 13,3% YoY menjadi Rp22,05 triliun. Untuk Tokopedia sendiri, kinerjanya selama 2020 ini bisa terbilang cukup baik. Berdasarkan informasi dari VP of Corporate Communication Tokopedia, Nuraini Razak, terjadi penambahan pelapak baru di Tokopedia hingga 2 juta orang dimana sebagian besar merupakan pengusaha UMKM.

Dengan berbagai data dan capaian tersebut, Tokopedia memiliki potensi untuk berkembang menjadi lebih besar ke depannya. Kendati demikian, masih terdapat beberapa ganjalan, ancaman, dan risiko yang membayangi Tokopedia. Salah satunya adalah insiden kebocoran 91 juta data pengguna pada pertengahan 2020. Insiden ini cukup mencoreng nama Tokopedia di mata masyarakat dan membuat Tokopedia harus berurusan dengan pengadilan. Selain itu, perkembangan kondisi pandemi COVID-19 khususnya di Indonesia dan Amerika Serikat yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membaik, membuat segala perencanaan strategis perusahaan ke depannya masih dihantui ketidakpastian. Kendati demikian, masyarakat dapat sedikit bernapas lega dengan diperolehnya izin produksi dan distribusi beberapa jenis vaksin SARS-COV2.

Dengan melihat perkembangan bursa yang cenderung stabil, kinerja Tokopedia yang terbilang cukup baik, dan meningkatnya harapan pengendalian pandemi setelah diperolehnya izin produksi dan distribusi berbagai jenis vaksin, maka rencana IPO Tokopedia di tahun 2021 nanti terbilang cukup realistis untuk dijalankan. Hanya saja, Tokopedia perlu terlebih dahulu mengatasi masalah terkait keamanan data pengguna dan bersikap ekstra hati-hati dalam mengamati perkembangan situasi dan kebijakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan pandemi COVID-19. Terkait pembentukan SPAC, Tokopedia juga harus memastikan rencana merger tidak akan menganggu proses bisnis dan pencapaian tujuan utama Tokopedia, yakni untuk melakukan pemerataan ekonomi secara digital.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak