Aula Raja Inal Siregar yang terletak di Lantai II Kantor Gubernur Sumatera Utara berubah menjadi panggung kebudayaan penuh warna pada Senin malam (23/6/2025). Dalam suasana hangat dan penuh kekeluargaan, ratusan peserta dari berbagai Perguruan Tinggi Penyelenggara Psikologi di seluruh Indonesia menghadiri Welcoming Dinner Kolokium Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) 2025 yang ke XXXI yang digelar dengan megah dan mengesankan.
Acara penyambutan ini tak hanya menjadi forum temu sapa antar akademisi dan pegiat pendidikan psikologi, namun juga menjadi panggung megah bagi warisan budaya lokal dan lintas negara. Mulai dari tarian etnis Sumatera Utara, atraksi spektakuler lompat batu dari Nias, hingga sentuhan seni tari klasik dari budaya China dan India, semua berpadu menciptakan malam yang membekas di hati para tamu undangan.
Sejak sore hari, para peserta Kolokium AP2TPI dari Aceh hingga Papua telah berkumpul di aula megah bergaya kolonial modern tersebut. Tak hanya mengenakan pakaian formal, banyak peserta yang tampak mengenakan batik, tenun, dan atribut etnik daerah masing-masing, menandai semangat keberagaman yang begitu kental.
Acara dibuka secara resmi oleh sambutan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si yang mengapresiasi kehadiran para akademisi dan menyampaikan komitmen pemerintah provinsi dalam mendukung pendidikan psikologi yang adaptif terhadap budaya lokal. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antar perguruan tinggi dalam membangun pemahaman psikologis yang kontekstual dan responsif terhadap keberagaman masyarakat Indonesia.
Tak lama berselang, dentuman gordang sambilan membuka rangkaian hiburan malam. Penari perempuan mengenakan ulos indah dengan warna dominan merah marun dan hitam, tampil memukau dalam Tortor Batak. Gerakan mereka penuh makna, berpadu dengan irama musik tradisional yang menggema di seluruh ruangan, seolah memanggil roh-roh leluhur untuk menyaksikan pertemuan bersejarah ini.Salah satu segmen yang paling memikat perhatian adalah pertunjukan tarian dari berbagai etnis yang menghuni Sumatera Utara. Setelah tortor Batak, panggung diambil alih oleh penari-penari muda dari komunitas Melayu Deli. Mereka menampilkan tarian Serampang Dua Belas tarian pergaulan yang elegan dan dinamis, menggambarkan proses perkenalan hingga pernikahan. Lirik lagu pengiring yang dinyanyikan secara langsung menambah kesyahduan suasana.
Tak berhenti di sana, hadirin dibuat takjub dengan pertunjukan lompat batu, sebuah atraksi budaya yang berasal dari masyarakat Nias. Seorang pemuda mengenakan pakaian adat khas Nias dengan perisai dan pedang, mengambil ancang-ancang sebelum melompati batu setinggi hampir dua meter yang telah disiapkan khusus di tengah aula. Tepuk tangan meriah membahana saat aksi itu sukses dilakukan tanpa cela, menjadi simbol kekuatan, keberanian, dan kedewasaan yang mengakar dalam budaya Nias.
“Ini luar biasa. Saya sudah lama mendengar tentang lompat batu, tapi melihatnya langsung dalam suasana formal seperti ini sangat menyentuh. Ini bukti bahwa psikologi juga harus menyentuh akar budaya,” ujar Rion, salah satu peserta dari Universitas Jambi.
Kejutan berikutnya datang dari kelompok seni budaya lintas negara yang turut memeriahkan malam tersebut. Kelompok seni Tionghoa dari komunitas Chinese Medan tampil menawan dengan Tari Payung Sutra tarian anggun yang berasal dari tradisi Dinasti Tang. Kostum merah dan emas dengan motif naga dan bunga teratai menambah kemegahan visual, sementara payung yang diputar-putar dengan lihai oleh para penari menggambarkan simbol perlindungan dan kesejahteraan.
Disusul dengan tarian klasik India yang dibawakan oleh kelompok Bharatanatyam dari komunitas Tamil di Medan. Dengan gerakan tangan yang luwes, mimik wajah ekspresif, dan hentakan kaki yang kuat, para penari menyampaikan kisah cinta dan ketabahan dari mitologi Hindu. Nuansa spiritual begitu terasa, bahkan sebagian tamu terlihat terhanyut dalam alunan musik dan gerakan penari.
“Kami ingin menampilkan semangat Bhineka Tunggal Ika secara nyata dalam welcoming dinner ini, bahwa psikologi sebagai ilmu tentang manusia harus dimulai dengan pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman baik budaya lokal maupun global.” ujar Prof. Raras Sutatminingsih, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog Ketua Panitia Kolokium AP2TPI 2025,
Selain hiburan budaya, momen makan malam bersama menjadi titik temu yang mempererat silaturahmi antar peserta. Hidangan khas Sumatera Utara seperti arsik ikan mas, ayam pinadar, sayur daun ubi tumbuk, dan sambal andaliman disajikan bersama kuliner nusantara lainnya seperti rendang, sate lilit, dan gado-gado. Tak ketinggalan, makanan penutup seperti kue lupis dan es cendol menambah kesegaran suasana.
Para tamu duduk secara acak, memungkinkan interaksi lintas kampus dan lintas generasi. Dosen senior, peneliti muda, hingga mahasiswa magister dan doktoral saling berbincang hangat, membahas tantangan psikologi di era digital, pentingnya pendekatan budaya dalam asesmen psikologis, hingga kemungkinan kolaborasi riset dan pengabdian masyarakat lintas daerah.
Dalam suasana informal namun penuh semangat akademik, peserta dari berbagai penjuru Indonesia merasa bahwa kebersamaan dan kolaborasi adalah pondasi masa depan psikologi yang humanis dan kontekstual.
Pertunjukan malam itu tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga pernyataan simbolik tentang arah dan semangat psikologi Indonesia ke depan. Di tengah ancaman homogenisasi akibat globalisasi, acara ini menegaskan kembali pentingnya menjadikan budaya sebagai lensa dalam memahami dan melayani manusia.
“Lompat batu itu seperti inisiasi. Dalam dunia akademik, kita juga melewati lompatan besar dari mahasiswa ke peneliti, dari teoritisi ke praktisi. Kita harus kuat, terlatih, dan punya tujuan,” kata Rion, dengan penuh makna.
Sementara tarian multikultural menyiratkan pentingnya empati lintas budaya. Dalam dunia psikologi yang kian kompleks, memahami konteks sosial dan budaya klien adalah langkah esensial yang tak bisa diabaikan.
Dalam catatan banyak peserta, malam itu bukan hanya soal tari dan jamuan, tetapi sebuah pengingat bahwa pendidikan tinggi khususnya psikologi tak boleh terlepas dari konteks budaya dan keberagaman. Di sinilah letak kekuatan sekaligus tantangan: bagaimana menjembatani ilmu dan kearifan lokal, antara laboratorium dan lapangan, antara teori dan kenyataan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia yang majemuk.
Kolokium AP2TPI 2025 di Medan baru saja dimulai, tetapi malam Welcoming Dinner ini telah mencatat sejarahnya sendiri: bahwa ilmu pun bisa menari, dan budaya bukan hanya objek kajian, melainkan mitra dalam menyembuhkan, membangun, dan menginspirasi.