Melihat Peluang Eco Museum di Kampung Boneka Desa Sayati Bandung

Ayu Nabila | fira aini
Melihat Peluang Eco Museum di Kampung Boneka Desa Sayati Bandung
Gapura Selamat Datang di Kampung Boneka, Desa Sayati, Kecamatan Marghayu, Kabupaten Bandung (Google Street View)

Pada tanggal 20 April 2017, tepatnya di Hari Ulang Tahun ke-376 Kabupaten Bandung, Dadang Supriatna selaku Bupati mengusungkan program seribu kampung di wilayah Kabupaten Bandung. Salah satu kampung tersebut terletak di Jalan Sayati Hilir, Desa Sayati, Kecamatan Margahayu, Kabupaten Bandung yang dinamakan Kampung Boneka, karena terdapat banyak pengrajin boneka di daerah ini. Tempatnya mudah dikenali oleh masyarakat karena terdapat gapura tinggi bertuliskan “KAMPUNG BONEKA” yang menjadi pengenal sebagai pintu masuk bagi pengunjung.

Beragam jenis hasil karya boneka tersedia di kampung ini, mulai dari boneka teddy bear jumbo, boneka berbentuk karakter kartun, hingga boneka maskot untuk berbagai kegiatan. Misalnya, boneka maskot Piala Dunia, Asian Games, dan PON  juga dibuat oleh pengrajin boneka di daerah ini. Uniknya, pengrajin boneka di kampung ini juga menerima custom sesuai dengan permintaan pelanggan.

Bagi mereka yang memiliki usaha penjualan boneka, dapat mengambil barang produksi dari tempat ini, karena pengrajin menjual secara grosir dan eceran. Penjualan secara grosir akan lebih menguntungkan bagi pedangang kecil. Selain itu, adapula hasil karya selain boneka yang diproduksi oleh pengrajin di kampung ini. Contohnya, hasil karya berupa bantal, guling, hiasan mobil, dan hiasan dinding berbahan kain yang dibuat semenarik mungkin dengan bermacam bentuk, warna, hingga jenis bahan   yang digunakan.   

Identitas sebagai kampung boneka dapat dikembangkan menjadi eco museum. Konsep eco-museum memang baru dikenal di Indonesia sehingga literatur yang membahas mengenai eco museum masih terbatas. Dikutip dari (Wuisang, Rengkung, & Rondonuwu, 2017), eco museum didefinisikan sebagai museum dinamis dari dan untuk masyarakat lokal dan lingkungannya.

Eco museum dapat diartikan sebagai upaya menciptakan museum melalui refleksi dari identitas warisan tak benda maupun warisan benda, kerajinan lokal ataupun industri lokal dari suatu lingkungan termasuk didalamnya peluang bisnis yang potensial. Salah satu eco-museum yang dapat dibangun di kampung boneka desa sayati ialah industri pengrajin boneka.

Menilik salah satu indikator pengaplikasian model eco museum menurut Davis dalam (Wuisang et al., 2017) yaitu pemberdayaan masayarakat lokal, yang melibatkan masayarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan eco museum sehinga dapat menciptakan identitas budaya mereka sendiri. Sebagai daerah dengan identitas ‘Kampung Boneka’, tentu terdapat budaya dan sejarah yang dimiliki dibalik julukan tersebut.

Hal-hal seperti itu dapat dikaji oleh tokoh masyarakat setempat agar kedepannya masyarakat mengetahui sejarah dan karakteristik yang dimiliki penduduk Kampung Boneka. Mengingat telah terbentuknya sektor perekonomian di Kampung Boneka, maka perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas industri pengrajin boneka ini. Misalnya, dengan mengadakan pembinaan dan pelatihan bagi tenaga kerja pengrajin boneka agar dapat meningkatkan kreatifitas perancangan produk boneka dan kemampuan produksi.

Sementara untuk memproduksi boneka diperlukan beberapa tahapan yaitu proses penentuan bentuk boneka, pembuatan pola, penjahitan bahan, dan pengisian bahan atau isi dalam boneka, dan terakhir penambahan aksesori agar lebih menarik (Prihatiningrum, Muljono, & Sadono, 2016). Agar produk yang dihasilkan bernilai mutu tinggi, maka proses kegiatan produksi pun harus dilakukan oleh tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Dalam hal inilah pemberdayaan masyarakat sekitar dapat diterapkan dengan menjadikan masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan dibekali suatu keterampilan sehingga dapat menjadi tenaga kerja pengrajin boneka. 

Sebelum mewujudkan eco museum di Kampung Boneka, pemerintah daerah harus membenahi segala aspek tata ruang di daerah tersebut. Sebab, masih banyak permasalahan tata ruang yang menjadikan Kampung Boneka ini kurang dilirik oleh wisatawan. Seperti permasalahan saluran di sepanjang jalan Kampung Boneka yang  terkadang meluap ketika musim hujan tiba.

Untuk menjadikan daerah eco museum diperlukan lahan parkir bagi pengunjung dengan kendaraan beroda empat, permasalahan ketiadaan lahan parkir ini belum diperhatikan oleh pemerintah setempat. Maka dari itu, pertimbangan untuk perbaikan tata ruang di Kampung Boneka perlu diutamakan sebelum menjadikan kampung ini sebagai eco museum.

Penerapan eco museum di Kampung Boneka dapat terwujud dengan meghadirkan eco-museum berbasis industri lokal. Perlu adanya pengintegrasian antara masyarakat sekitar dengan pemerintah desa setempat agar tercipta sinergi dalam mewujudkan eco museum kreatif ramah lingkungan. Sebagai langkah awal perencanaan eco museum di Kampung Boneka, hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat ialah memperbaiki tata ruang di Kampung Boneka agar tercipta kenyamanan bagi pengunjung ketika berwisata.

Referensi:

Prihatiningrum, T., Muljono, P., & Sadono, D. (2016). Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi, Jawa Barat dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Penyuluhan, 12(2).

Wuisang, C. E. ., Rengkung, J., & Rondonuwu, D. M. (2017). Ekomuseum di Kabupaten Minahasa: Studi kasus Kampung Jawa-Tondano (JATON). Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), A015–A022. https://doi.org/10.32315/ti.6.a015

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak