Film Buya Hamka, Penawar Kerinduan Ranah Minang Para Perantau

Hernawan | Malinda Malinda
Film Buya Hamka, Penawar Kerinduan Ranah Minang Para Perantau
Buya Hamka (falcon.co.id)

Film Buya Hamka menjadi salah satu film pengisi liburan lebaran IdulFitri tahun 2023 ini. Berjudul Buya Hamka, tentu film ini menceritakan sosok Hamka yang telah banyak diulas diberbagai kajian akademis dan politik.

Meski demikian film Buya Hamka berhasil mengenalkan lebih dekat sosok sastrawan, penulis, jurnalis, pahlawan sekaligus pendakwah yang bernama lengkap, Abdul Malik Karim Amrullah.

Film Buya Hamka yang hanya berdurasi 1 jam 45 menit bolehlah juga disebut penawar kerinduan perantau minang yang mungkin tak bisa mudik saat lebaran ini. Itu kenapa, mereka nan tak bisa pulang kampung mengalihkan keakraban keluarga dengan menyaksikan film ini di bioskop.

Bertepatan momen libur lebaran, film ini ramai ditonton dengan segmen keluarga juga generasi yang mungkin berdarah atau pernah menetap di Sumatera Barat (Sumbar). Mereka-mereka yang meninggalkan rasa rindu pada ranah minang.

Penonton lainnya, mungkin mereka yang tertarik mengenal pemikiran Buya Hamka sebagai bagian masyarakat Muhammadiyah. Menonton film ini menyuguhkan situasi Sumbar di dekade masa penjajahan Belanda, dijajah Nipon (Jepang) sampai saat pasca kemerdekaan.

Dengan demikian, generasi muda yang tak sempat mengetahui ruang waktu tersebut akan mendapatkan pengetahuan baru. Sementara bagi yang telah mengenal sosok Buya Hamka melalui tulisan jurnalistiknya menonton film ini bakal mendapatkan rangkaian dinamika pemikiran beliau.

Misalnya bagaimana Buya Hamka sangat produktif menulis, mendirikan surat kabar Pedoman Masyarakat, menyebarkan pemikiran mengenai Islam, tulisan roman-roman (roman picisan)  yang membuat pembaca (terutama perempuan) berurai air mata.

Kembali ke kenangan mengenai Sumbar, di film ini diperlihatkan keindahan Danau Maninjau, pemandangan kota Padang Panjang dan sejumlah kampung di ranah minang lainnya yang tampak khas dengan rumah gadang. Potret pemandangan alam sekaligus masyarakat pertanian (agriculture) sangat khas masyarakat minangkabau.

Apalagi di film ini juga kerap memperlihatkan surau, yakni rumah ibadah umat muslim di kampung yang kerap ramai dengan aktivitas kajian Islam. Mereka atau keluarga pemilik-pemilik surau yang biasanya 'menghibahkan' surau tidak hanya sebagai tempat kajian Islam tetapi juga sebagai tempat pertemuan masyarakat (bermakna silaturahmi).

Film ini seolah menyampaikan pesan kepada penontonnya, jika tugas manusia (terutama umat muslim) yakni mengaji. Budaya mengaji kitab-kitab agama, berkumpul bersama guru (atau yang dituakan), mendengarkan dakwah, berdiskusi ilmu Islam agar cerdas berfikir. Mungkin inilah cara masyarakat minang berliterasi.

Salah satunya contoh keliterasian lainnya di film yakni saat Buya Hamka pulang ke rumah sang ayah. Keduanya 'tenggelam' dalam pengkajian kitab Al-Ghazali. Kitab yang disimpan sang ayah dengan sangat baik di lemari buku. Penonton sebenarnya mendapatkan pesan mengenai merawat pengetahuan yang kemudian dianjarkan kepada generasi selanjutnya (anak, cucu).

Keliterasian minang juga tersaji romantis, saat Buya bersama sang istri, Siti Raham memaknai dakwah Islam. Sang Istri yang menyaksikan para pembaca (perempuan) yang menangis tersendu-sendu mambaca tulisan roman sang suami di sebuah restoran, menilainya dengan pemikiran terbuka (modern).

Di suatu malam, sang suami (Buya Hamka) bertanya apakah istrinya menjadi malu jika suami menulis roman percintaan sampai-sampai membuat banyak perempuan menangiskan percintaan. Bukankah itu tampak suami yang 'cabul' padahal ia seorang pembelajar Islam.

"Apakah menulis roman percintaan bikin malu?" kurang lebih begitu pertanyaan Buya kepada Ummi-panggilan sang istri.

Ummi- sang istri pun ternyata lebih mafhum memaknai apa yang dikerjakan suami. Dia telah mampu memaknai dakwah Islam nan tidak selalu disampaikan secara teoritis. Sebagai pembaca yang baik, harusnya 'menelan' tulisan roman Hamka sampai dengan selesai sehingga bisa menarik nilai Islam yang ingin disampaikan.

Bagitulah pemikiran suami istri ini mengajarkan Islam kepada generasinya. Sama halnya ketika Buya Hamka memakai jas, yang saat itu diartikan sebagai pakaian kaum Belanda (penjajah).

Buya pun menegaskan apakah memakai jas menjadi haram bagi seorang pembelajar muslim, yakni mereka yang ingin menyesuaikan kepada siapa mereka bertemu dan beradu pemikiran (pemikiran kebangsaan). 

Kembali ke rasa rindu budaya masyarakat Sumbar, film ini memperlihatkan busana khas orang minang. Di film Buya Hamka, perempuan-pempuan minang tampak sangat cantik berselendang. Selendang khas minang yang menjadi pelengkap keanggunan baju kurung bordir bunga-bunga.

Tidak hanya itu, perempuan minang juga ditampilkan bersarung, tentu dengan motif khas minang. Laki-lakinya menggunakan busana teluk belanga nan lengkap dengan kain sarung dan kopiah hitam.

Film ini menghantarkan situasi Sumbar di tahun-tahun silam menjadi lebih kekinian. Inilah juga yang menjadi penawar rindu para perantau pada tanah keluarga, rindu pada Gaek, Amak, Mamak, Buya, dan mereka yang rajin mengingatkan nilai.

Di film ini, juga muncul kalimat candaan Buya Hamka yang terkenal. Seolah ingin kembali diingatkan kepada para penonton, generasi keluarga atau generasi muda bagaimana Islam di tanah Minang.

“Melayu tanpa Islam hilang ,,me-nya, dan layulah dia. Minangkabau tanpa Islam hilang,, minang-nya, jadi kerbaulah dia.”.  

Film yang kemudian mencapai klimaks saat Buya Hamka dibenci, dituding sebagai penghianat bangsa. Buya Hamka menerima jabatan yang diberikan Gubernur Nipon (Jepang) sehingga dianggap menjual bangsa, lembaga organisasi dan para ulama ke penjajah.

Sampai akhirnya Buya mengakui kekeliruan yang membuat dirinya sangat bersalah. Buya pun mengakui dengan jujur (yang tidak lain merupakan nilai seorang penulis) jika apa yang dilakukan mungkin kurang pas saat itu. Kejujuran Buya yang disampaikan ini, membuat film tidak hanya berisikan 'hal-hal baik' mengenai sosok sastrawan besar Sumatera ini.

"Apa yang saya lakukan juga untuk melindungi masyarakat ulama," ujar Buya sebagai alasan Buya yang memilih berkompromi dengan Gubernur Jepang.

Sampai dengan akhir film yang diproduksi Falcon Pictures ini, terasa cukup menjawab rasa rindu para perantau dari rangkuman perjalanan Buya Hamka dari pinggiran kampung di Danau Meninjau, bertemu jodoh, bersekolah ke Mesir, dan merasakan pergulatan politik tanah air.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak