ulasan

(Kamis)-Hindia: Jangan yang Ada Hanya Korban tapi Pelakunya Tidak Ada

(Kamis)-Hindia: Jangan yang Ada Hanya Korban tapi Pelakunya Tidak Ada
Cover Track (kamis) - Hindia (YouTube/Hindia)

Dunia musik Indonesia belakangan ini sedang tidak baik-baik saja. Munculnya klarifikasi hingga penghapusan karya dari band alternatif Sukatani yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” membuktikan bahwa pemerintah saat ini menjadi anti kritik. Namun di tengah huru-hara ini, Daniel Baskara Putra melalui solo project-nya yaitu Hindia merilis mixtape “Doves 25 on Blank Canvas” pada Senin (24/2/2025).

Menariknya lagi beberapa karya yang ada di dalam mixtape ini berisikan kritikan terhadap isu sosial politik di Indonesia. Salah satu track dengan judul “(kamis)” adalah karya yang menarik perhatian, pasalnya track ini berisi wawancara bersama Maria Catarina Sumarsih (Sumarsih), ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1998. 

Track “(kamis)” ini dibuat dengan sederhana tanpa musik dan alunan melodi yang menyedihkan. Isinya hanya cerita Sumarsih tentang Wawan dengan suara yang tenang berhasil menggerakan hati pendengarnya.

Akun X @jolayjali yang juga merupakan aktivis yang turut membersamai Baskara saat proses perekaman track “(kamis)” mengatakan bahwa prosesnya sangat sederhana. “Sesederhana ini prosesnya, Baskara pake hapenya aja. Rispek untuk semua tim yg terlibat untuk pengungkapan kebenaran ini," kata @jolayjali dalam tweet-nya. Walaupun prosesnya sederhana, Baskara mampu menggerakan hati banyak pendengar dengan isi track yang penuh dengan makna.

Kisah Pilu dalam Lirik

Track ini berisi cerita Sumarsih yang menggambarkan sosok anak yang ia cintai hingga keseharian yang hangat setiap harinya. Sosok Wawan diceritakan sebagai anak yang suka membaca buku, kritis dan selalu menghabiskan waktu berbincang saat makan malam bersama ibunya. Obralan tidak jauh-jauh dari perihal politik dan tragedi HAM yang pada masa itu sedang marak-maraknya terjadi. Wawan juga tergabung dalam relawan Kemanusiaan dan mengadvokasi para korban pelanggaran HAM.

“Setiap Wawan datang ke rumah sakit yang diminta adalah obat-obatan untuk teman-temannya yang berdemonstrasi.” sepenggal lirik track “(kamis).” Memperlihatkan kepedulian Wawan terhadap teman-temannya yang turun ke jalan untuk melakukan protes terhadap pemerintah.

Sebelum nyawanya direnggut, Wawan bersama beberapa teman-teman relawan sempat menetralisir gas air mata dengan air hydrant. Kemudian ia melihat mahasiswa yang terluka sehingga ia hendak menolong mahasiswa tersebut. “Pak itu ada korban, boleh ditolong atau tidak?" tanya Wawan kepada aparat dalam cerita Sumarsih.

Setelah mendapatkan persetujuan aparat untuk menolong korban dan melambaikan bendera putih, tubuh Wawan justru ditembak dengan peluru panas saat hendak mengangkat korban. Wawan meninggal dengan keadaan tertembak di dada kirinya dengan id relawan yang masih dikalungkan di lehernya. Setelah dilakukan autopsi, Wawan dinyatakan meninggal karena luka tembak di dada kiri yang menembus hingga jantung dan paru-paru. 

Cinta Ibu Menjadi Cinta Sesama

Dalam penggalan lirik track (kamis), Sumarsih mengatakan bahwa “Saya sangat mencintai Wawan, kami sekeluarga mencintai Wawan, tapi duka cita saya bertransformasi pada cinta terhadap sesama”. Rasa cinta dan sayang dari Sumarsih kepada Wawan inilah yang kemudian melahirkan kepeduliannya dan menciptakan perjuangan mendapatkan keadilan atas pelanggaran HAM dari tragedi terutama Trisakti, Semanggi I dan II.

Sumarsih bersama beberapa keluarga korban membentuk aksi Kamisan yang merupakan keberlanjutan dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Aksi Kamisan rutin diselenggarakan sejak 18 Januari 2007 hingga sekarang. 

Setiap aksi kamisan, para masa aksi menggunakan pakaian serba hitam dan juga payung hitam. Aksi Kamisan merupakan aksi damai yang dilakukan keluarga korban pelanggaran HAM dengan berdiri di depan istana kepresidenan dan menyuarakan tuntutan agar para korban mendapatkan keadilan.

Dalam track “(kamis),” Sumarsih mengatakan bahwa warna hitam yang selalu dikenakan saat aksi kamisan bukan hanya menjadi sebuah simbol duka bagi para keluarga korban namun juga menjadi lambang keteguhan. 

“Jangan yang ada hanya korban tapi pelakunya tidak ada” menjadi penutup dari track “(kamis).” Penutup yang menyimbolkan hingga saat ini korban dan keluarga korban tak kunjung mendapatkan keadilan atas pelanggaran HAM yang merenggut nyawa banyak orang pada masa itu.

Sosok di Balik Track “(kamis)”

“Yah, emang kalo punya power dan digunakan untuk sesuatu yang lebih besar sih gunanya banyak” kata akun X @felixdass mengomentari track “(kamis)” milik Hindia. Kekuatan yang dimiliki oleh Baskara sebagai seorang musisi yang memiliki base pendengar yang cukup banyak, dimanfaatkan untuk menyuarakan isu-isu yang ada di Indonesia.

“(kamis)” bukan karya pertama Baskara yang menyuarakan bobroknya sistem pemerintah di Indonesia, sebelumnya sudah banyak karya yang diciptakan untuk mengkritik dan mengangkat isu sosial politik melalui karya musik. 

Bersama dengan band-nya yaitu .Feast, baskara juga turut menyuarakan kritik terhadap isu sosial politik yang kerap terjadi di Indonesia. Bentuk kritik tersebut dapat dilihat di beberapa karya .Feast seperti “Peradaban”, “Kami Belum Tentu”, “Bintang Masa Aksi”, “Gugatan Rakyat Semesta”, dan lain sebagainya. 

Tak hanya mengkritik melalui karya, namun Baskara Juga kerap turun kejalan menyuarakan keresahannya sebagai rakyat Indonesia. Salah satunya adalah pada saat Aksi Kamisan ke-600 (9/2019), Baskara Putra turut serta dalam masa aksi dan membawakan lagu “Kami Belum Tentu” yang juga menceritakan tentang masa pemerintahan 1998.

Selain itu, Baskara juga aktif menanggapi isu sosial politik pada akun X-nya yaitu @wordfangs. Dari latar belakang inilah, tak heran jika Baskara kerap membawakan lagu-lagu yang berisikan kritikan termasuk track (kamis) ini. 

“Ga semua orang bisa bikin lagu, ga semua orang bisa berkarya, ga semua orang punya kesempatan lebih untuk melakukan hal yang kita lakukan saat ini, berdiri disini menyuarakan suara orang-orang yang ga bisa menyuarakan suaranya. Jadi jika orang-orang ini ga di bolehin berjuang bersama (musisi) sampai kapan berjuang sendiri aja sudah 600 kamisan,” kata Baskara saat Aksi Kamisan ke-600 (source: YouTube/Hasief Ardiansyah). 

Melalui track "(kamis)," Hindia tidak hanya menyuarakan kisah pribadi Sumarsih dan Wawan, tetapi juga menggugah kesadaran kita tentang pelanggaran HAM yang masih membayangi Indonesia. Karya ini menjadi tamparan bagi pemerintah yang hingga saat ini belum kunjung memberikan jawaban dan keadilan pada korban aksi keji pada tahun 1998 . 

Namun, dengan kondisi pemerintahan yang antri kritik ini, akankah track “(kamis)” akan mengalami hal serupa dengan lagu “Bayar, Bayar, Bayar” milik Sukatani?

Dapatkan informasi terkini dan terbaru yang dikirimkan langsung ke Inbox anda