Adolescence: Menguak Kondisi Psikis Remaja dalam Tragedi Mengerikan

Sekar Anindyah Lamase | Anggia Khofifah P
Adolescence: Menguak Kondisi Psikis Remaja dalam Tragedi Mengerikan
Adolescence (IMDb)

Bagaimana mungkin seorang bocah SMP tega membunuh temannya sendiri? Pertanyaan mengerikan ini coba dijawab oleh 'Adolescence', salah satu serial paling kuat tahun ini.

Dikemas dalam format one long take dan bercerita secara real-time, serial ini bukan hanya sebuah drama psikologis, tapi juga menjadi tontonan wajib bagi para orang tua, guru, dan siapa saja yang ingin memahami kondisi psikis remaja di dunia yang semakin tak terkendali.

Serial ini berkisah tentang seorang remaja 13 tahun yang tiba-tiba ditangkap polisi di rumahnya sendiri atas dugaan pembunuhan terhadap teman sekolahnya.

Dari sini, kita diajak menyelami berbagai aspek sosial yang turut membentuk kejiwaan anak-anak, termasuk dampak berbahaya toxic masculinity, budaya yang cenderung menyalahkan korban, hingga masyarakat yang kerap membela pelaku meskipun fakta sudah jelas terpampang.

Dalam empat episode berdurasi sekitar satu jam, 'Adolescence' mengandalkan dialog intens yang menyebar petunjuk lewat percakapan di ruang interogasi, sekolah, tahanan, hingga mobil.

Alih-alih mencari tahu siapa pelaku—karena sudah terungkap sejak awal—serial ini lebih menitikberatkan pada motif di balik tindakan keji tersebut.

Setiap episodenya meninggalkan perasaan tak nyaman, membuat kita perlahan-lahan mengenal siapa sebenarnya si tersangka.

Yang membuat 'Adolescence' begitu mencengkeram adalah seluruh elemen yang bekerja dengan sempurna. Skripnya rapi, menyuguhkan banyak insight berharga tentang bagaimana masyarakat memengaruhi kondisi mental remaja.

Namun, nyawa terbesar dari serial ini ada pada performa luar biasa para pemainnya. Stephen Graham sebagai ayah yang hancur dan Owen Cooper sebagai tersangka benar-benar menyajikan akting yang memukau. Emosi kita akan dibolak-balik mulai dari kemarahan, ketakutan, hingga kehancuran total.

Selain menggambarkan dampak peristiwa ini pada banyak orang, serial ini juga membuat kita sadar bahwa di dunia yang semakin kacau, kita tidak akan pernah tahu dari mana seorang "monster" akan muncul.

Salah satu keunggulan utama 'Adolescence' adalah teknik sinematografi yang luar biasa. Semua adegan direkam dalam satu pengambilan gambar panjang, memberikan efek imersif yang membuat kita seolah menjadi saksi langsung dari kejadian-kejadian menegangkan.

Tidak ada potongan atau transisi yang memberikan ruang untuk bernapas; setiap adegan terus berlanjut, memperkuat perasaan terjebak dalam situasi yang menegangkan.

Salah satu episode yang paling mengesankan terjadi di sekolah, di mana para detektif mencari bukti dan mencoba memahami bagaimana kejahatan ini bisa terjadi.

Di tengah pencarian, kita melihat berbagai reaksi dari murid-murid lain—ada yang berduka, ada yang takut, dan ada pula yang justru menjadikannya bahan candaan.

Episode ini dengan cerdas menunjukkan betapa tidak siapnya institusi pendidikan dalam menghadapi kompleksitas permasalahan remaja.

Namun, episode yang paling menghantui adalah sesi interogasi antara Jamie dan psikolog yang ditugaskan untuk menilai kondisinya.

Percakapan mereka perlahan mengungkap kengerian yang tersembunyi di balik wajah polos seorang anak berusia 13 tahun. Dengan kamera yang terus berputar mengitari dua karakter ini, kita tidak diberi kesempatan untuk berpaling.

Pada akhirnya, 'Adolescence' bukanlah tontonan yang mudah. Serial ini meninggalkan perasaan gelisah berkepanjangan, mengajak kita untuk merenungkan betapa rumitnya dunia remaja dan bagaimana lingkungan sosial turut membentuk mereka.

Dengan naskah yang brilian, teknik sinematografi yang inovatif, serta akting yang luar biasa, 'Adolescence' menjadi salah satu serial terbaik yang pernah saya tonton tahun ini. Kamu bisa menyaksikannya di Netflix, ya!

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak