Dalam perayaan 10 tahun debut SEVENTEEN, Woozi mempersembahkan lagu solo berjudul 'Destiny', sebuah Korean ballad emosional yang penuh makna.
Lagu yang terdapat dalam album 'Happy Burstday' ini menjadi semacam surat terbuka tentang kehidupan akan harapan, serta bagaimana seseorang berdamai dengan takdir dalam segala bentuknya, baik suka maupun duka.
Lagu dibuka dengan, “The day I first met the world, was a day when the tip of my nose was cold.” Frasa ini menggambarkan kelahiran sang tokoh utama, hari ketika ia pertama kali merasakan dunia yang dingin namun juga penuh kehangatan.
Woozi menceritakan perasaan saat pertama kali mengenal cinta dari senyum dua orang, kemungkinan besar orang tuanya, yang membuatnya merasa dicintai sejak hari pertama ia lahir.
Seiring waktu, suara berubah, masa remaja tiba, dan mimpi mulai tumbuh. Namun, perubahan ini juga membawa perasaan sepi dan pencarian jati diri.
“I thought I was alone, but one day when I looked around? I learned that we were together.” Lirik ini bisa diartikan sebagai momen ketika Woozi menyadari bahwa dia tidak sendiri, bahwa ada keluarga, SEVENTEEN, bahkan Carat yang menemani sepanjang perjalanan.
Bagian reff berulang seperti mantra, “I didn't believe in fate, because I thought it would only hurt.” Ini menyuarakan keraguan dan rasa takut terhadap takdir.
Woozi menggambarkan bagaimana kepercayaan pada sesuatu yang tidak pasti, seperti harapan dan takdir, justru bisa menjadi sumber luka. Ia menertawakannya setiap hari, tapi di balik senyum itu masih ada rasa sakit yang belum sembuh. "In case it was fals hope, I thought it would hurt."
Lirik berikutnya mengajak kita merenung, “A lot of sadness and pain must also be destiny, right?” Woozi mencoba berdamai dengan luka dan menjadikannya bagian dari perjalanan. Ia ingin percaya bahwa semua rasa sakit akan berlalu layaknya sebuah hujan.
Bagian ini adalah bentuk penerimaan bahwa takdir memang tidak selalu indah, tapi tetap penting. Bahwa setiap kejadian di masa lampau akan membentuk siapa kita hari ini.
"Or any unknown future is destiny, I want to believe it's destiny." Alih-alih merasa takut menghadapi apa yang belum terlihat, ia mencoba menanamkan harapan bahwa semua akan bermakna pada waktunya. Semua adalah bagian dari takdir yang harus dijalani.
Melodi yang ditulis serta surat yang disusun satu demi satu menjadi simbol memori dan pengalaman yang tak akan terhapus meski waktu telah berlalu. “Even on a rainy day when I was drenched, not a single word was erased.” Ada kekuatan besar dalam kenangan yang tetap hidup dalam diri seseorang, yang bagi Woozi, semuanya adalah bagian dari takdir.
Di bagian penutup, sebuah lirik menyuarakan keraguan. “What if the things I believed were love, turn out to be wounds?” Ini menggambarkan ketakutan akan cinta yang ternyata membawa luka, bukan rasa bahagia. Mampukah ia tetap menjalani hidup seperti sekarang jika kenyataan tersebut benar? "Will I be able to live like I do now? As if nothing happened?"
Woozi tidak memberi jawaban pasti, ia hanya akan terus menerima. Lagu ini menjadi bukti bahwa ia memilih untuk tetap percaya. Percaya bahwa perasaan sakit, harapan yang tidak pasti, serta kebenaran akan cinta merupakan bagian dari takdir, yang mungkin saja memiliki makna lain di dalamnya.