“Ingat aku dalam setiap gerakmu. Tanamkan namaku di dasar hatimu. Dan jagalah pandanganmu. Aku tahu gadis-gadis Mesir cantik-cantik.”
Kalimat itu kau ucapkan tepat di detik keberangkatanku meraih beasiswa S-2 ke Negeri Kinanah. Kau mengatakannya tanpa senyum, seolah tahu jarak akan menjadi ujian yang paling kejam.
Aku mengangguk, menggenggam tanganmu lebih lama dari biasanya, lalu menunduk agar kau tak melihat mataku yang basah.
Nasihat itu kukantongi. Janji itu kugenggam erat. Aku bersumpah takkan menduakanmu.
Sebulan lalu kita baru saja menutup bulan madu. Kau masih meninggalkan aroma sabun kesukaanmu di leher bajuku ketika aku memelukmu di Bandara Juanda.
Air matamu jatuh diam-diam di dadaku.
“Cepat kembali,” katamu. Aku menjawab dengan kalimat yang bahkan kini terdengar seperti kebohongan yang sopan, “Perpisahan akan mengajarkan kita nikmatnya rindu.”
Aku berangkat dengan keyakinan penuh. Sebagai alumnus terbaik Filsafat, aku tak sanggup menolak amanah almamater untuk belajar Aqidah dan Filsafat di Al-Azhar. Aku ingin membanggakanmu. Aku ingin pulang sebagai lelaki yang utuh.
Bulan-bulan pertama di Lembah Nil, namamu tak pernah benar-benar meninggalkanku.
Aku menyebutmu dalam doa. Menyapamu dalam sepi. Saat malam menyergap, bayanganmu menari di langit-langit kamar asrama.
Aku tidur dengan punggung menghadap jendela, seperti kebiasaan kita dulu, seolah kau masih ada di sisiku.
Namun setahun berlalu, dan kesepian punya cara sendiri untuk meruntuhkan keyakinan.
Aku masih merindukanmu, tetapi bersamaan dengan itu, perasaan lain menyusup pelan, nyaris tanpa suara. Keinginan sederhana. Mengenal seseorang. Tidak lebih.
Namanya Fatna.
Kami sering bertemu, awalnya tanpa sengaja. Di perpustakaan. Di forum mahasiswa. Di lorong fakultas.
Beberapa hari kemudian aku tahu ia putri seorang kiai di dekat pondokku dulu di Madura. Caranya bicara tenang. Pakaiannya sederhana. Ada keteduhan yang membuatku lupa bahwa aku seharusnya menjaga jarak.
Pertemuan-pertemuan berikutnya lebih sering disengaja. Kami bertemu atas nama organisasi, berbagi referensi, saling meminjam buku.
Fatna adalah perempuan Indonesia pertama yang benar-benar dekat denganku di negeri ini. Tak lama, orang-orang mulai menyebut kami sepasang sahabat karib. Gosip tumbuh dengan cepat, seperti lumut di dinding lembap.
Padahal aku belum pernah mengucap cinta. Belum pernah memberi isyarat. Kata “belum” bagiku berarti tertunda, bukan batal. Dan justru di situlah kesalahanku berakar.
Aku bahkan sempat merencanakan sebuah pengakuan. Malam tanpa atap. Bintang sebagai saksi. Aku membayangkan memutar rekaman sajak cintaku dari tape recorder tua.
Dalam khayalku, Fatna akan tersipu, mengangguk pelan, lalu tangan kami bertaut. Malam itu hanya milik kami berdua.
Dua hari sebelum rencana itu, aku membaca sebuah buku miliknya. Dari sela halamannya, sesuatu terjatuh ke lantai. Sebuah foto. Lelaki muda berpeci nasional, mendekap Al-Qur’an, menatap kamera dengan tenang.
Dadaku berdebar. Aku tak tahu mengapa, tapi ada rasa yang tiba-tiba runtuh.
Saat kami bertemu di sebuah rumah makan kecil, aku mengeluarkan foto itu dari saku.
“Ukhti,” kataku pelan.
Aku memang selalu memanggilnya demikian, dan ia menyapaku Akhi, bukan Aqil.
“Aku menemukan ini di bukumu.”
“Apa, ya? Uang?” tanya dia sembari tersungging.
“Ini!” jawabku dengan sekonyong-konyong menyerahkan foto itu ke hadapannya.
Dia terperangah, namun kemudian berangsur-angsur surut.
“Foto siapa itu, Ukhti?” tambahku melanjutkan.
“Ini Gus Rasyid Mustafa. Dia tunanganku. Putra dari kiai Akhi di Madura. Kiai Mustafa,” jawabnya yang serta-merta membuatku salah tingkah.
Tubuhku nyaris runtuh di tempat. Lidahku kelu. Dunia seakan menyempit ketika aku tahu, Fatna telah memiliki calon suami.
Lebih menyakitkan, lelaki itu bukan orang asing. Loraku dulu. Anak yang terakhir kuingat masih canggung dan kurus. Kini ia berdiri tegap dalam foto itu, dada bidang, wajah matang. Aku tak lagi mampu mengenalinya, selain dari fakta pahit bahwa ia telah lebih dulu sampai.
Sejak hari itu aku menghilang dari hidup Fatna. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan. Aku tak ingin mencederai ketenangannya, tak ingin merebutnya dari putra seorang kiai. Dan ia pun lenyap begitu saja. Tak ada pesan. Tak ada tanda. Barangkali perasaanku telah terbaca. Barangkali memang harus begitu.
Aku kembali sendirian. Tanpamu. Tanpa siapa pun.
Hari-hari berjalan seperti lorong kosong. Siang terasa panjang, malam menekan dada. Berbulan-bulan kulalui tanpa sepucuk surat darimu, tanpa dering telepon tengah malam yang dulu kerap menghidupkanku.
Tawamu yang dulu seperti hujan kini tinggal gema. Wejanganmu yang dulu menegakkan kini sekadar ingatan yang kian menipis.
Aku mencoba berbaik sangka. Barangkali ponselmu rusak. Barangkali kau kehabisan pulsa. Barangkali kau terlalu sibuk membantu Umi.
Aku menggantungkan harapan pada kemungkinan-kemungkinan kecil, seperti orang yang menunggu perahu di sungai yang sudah kering.
Beberapa gadis mulai mendekat. Ada yang terang-terangan menawarkan hati. Namun setiap kali, janji padamu muncul seperti tembok. Aku menolak tanpa menoleh. Tak ada yang istimewa. Atau mungkin aku tak ingin melihat.
Hingga suatu sore di Kedutaan Besar RI Kairo, saat rapat organisasi usai, sepasang mata menahanku. Gadis itu tersenyum. Senyum yang terasa akrab.
Namanya Wilda. Putri Duta Besar.
Ia mirip denganmu. Cara bicaranya, warna kulitnya, tinggi tubuhnya. Dan ketika ia tersenyum, lesung pipit itu menghantam ingatanku seperti kilat. Aku kembali mencium pipimu. Kembali mengecup bibirmu di malam yang jauh.
Aku tak berbohong. Saat menatap Wilda, rasanya kau berdiri di hadapanku.
Aku mulai sering menemuinya. Ia singgah ke flatku, aku menemaninya menyusuri Luxor, Aswan, Montazah, Sinai. Kami berfoto di bawah Piramida, di depan Sphinx.
Setiap langkah terasa sah, karena yang kucari bukan dia, melainkan bayanganmu.
Suatu malam aku bertanya dalam hati, dengan suara yang nyaris seperti doa:
Apakah Tuhan mengirimnya sebagai penggantimu?
Kini aku tahu jawabannya.
Ia bukan pengganti. Ia hanya cermin. Dan aku jatuh cinta pada pantulan yang salah.
Maka sebelum aku benar-benar mengisi ruang kosong di hati Wilda, izinkan aku mengaku, Riesta.
Izinkan aku berselingkuh.
Bukan dengan tubuh.
Melainkan dengan rinduku sendiri
Baca Juga
-
Handphone Dikendalikan Makhluk Gaib
-
CERPEN: Banjir di Hari Pernikahan
-
5 Tablet dengan RAM Besar Ramah Kantong, Spek Dewa Harga Mulai Rp 1 Jutaan
-
4 HP dengan Kamera Selfie Terbaik Rp 1 Jutaan, Bisa Bantu Ibu Rumah Tangga Ngonten Facebook
-
Realme Narzo 90 Baru Debut di India: Usung Baterai Badak, Triple Sensor Mirip iPhone 16 Pro
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Trailer Live-Action Look Back Resmi Dirilis Adaptasi Manga Tatsuki Fujimoto
-
Dari Warisan Kolonial ke Kota Sporadis: Mengurai Akar Banjir Malang
-
Marsha Aruan Kunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed di Dubai, Netizen: Mualaf?
-
Aktor James Ransone Tutup Usia di Umur 46 Tahun, Ini Penyebabnya!
-
7 Teknik Jepang untuk Atasi Overthinking yang Bisa Kamu Coba