Sekar Anindyah Lamase | Fitri Suciati
Ilustrasi wajah seseorang yang terlihat polos dan patut dikasihani (Canva Edit)
Fitri Suciati

Sempat aku bertanya kepada diriku sendiri, bahkan kepada orang-orang di sekitarku apakah aku ini memiliki paras atau wajah yang memelas? Hingga tak satu dua kali orang-orang merasa iba saat bertemu denganku. Bahkan mereka-mereka yang baru pertama kali bepapasan denganku pun selalu menawarkan bantuan yang tak pernah aku minta. 

Yah, mungkin karena penampilan dan gayaku yang terkesan biasa dan polos. Tanpa riasan yang neko-neko dan kepribadianku yang introvert membuatku sering memilih untuk menyendiri saat berada di keramaian. 

Yang benar saja, pengalaman pertama yang membuatku berpikir demikian aku alami ketika aku bekerja di kota besar yang sangat jauh dari tempatku berasal. Saat itu, aku tengah duduk di dalam kereta dan dalam perjalanan pulang setelah berlibur seharian bersama teman-temanku. 

Tanpa kusadari sesosok perempuan yang baru saja masuk ke dalam kereta dan duduk di sebelahku tiba-tiba menawarkan makanan kepadaku. Mungkin karena wajahku yang tampak cemas dan lelah setelah seharian menyusuri taman bermain yang sangat luas.

Yah, hari libur memang sangat menyenangkan dan selalu dinanti setiap orang. Namun, ketika waktu liburmu telah habis dan realita menamparmu dengan kenyataan bahwa besok adalah hari Senin, seketika mood-mu pun berubah dengan sendirinya.

"Wajib masuk rumah jam berapa, Dek?" tanya perempuan di sebelahku sambil tersenyum. 

Aku membalas senyum itu dengan sama ramahnya sekaligus sedikit berbasa-basi. "Jam 9 malam, Kak. Kakak turun di stasiun mana?"

"Stasiun terakhir," sahutnya. 

Sontak aku pun menjawab bahwa aku juga turun di stasiun yang sama. Dari obrolan kecil itu, kami pun saling mengenal lebih, dan memutuskan untuk berteman. Bukan hanya karena kami tinggal di kawasan yang sama, tetapi karena kami juga sama-sama pekerja perantauan yang tengah bekerja dan berjuang jauh dari keluarga. Bekerja jauh dari keluarga membuatmu lebih cepat dekat dengan orang-orang yang merasakan keadaan yang sama.

Hari pun berganti dengan segala lika-liku kesibukanku. Hingga musim berganti dan semakin menggigit kulitku dengan hawa dinginnya. Sebagai seseorang pekerja baru yang belum lama tinggal di daerah dengan cuaca yang begitu menusuk, aku merasa khawatir dan takut tak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan perubahan udara. 

Namun, lagi-lagi Tuhan menjawab rasa cemasku lewat kebaikan seseorang yang tak terduga. Kami awalnya tak dekat, tapi sosok kakak perempuan ini, yang beberapa kali berpapasan denganku saat kami kebetulan belanja di pasar yang sama, dengan lembutnya menawarkan padaku serangkaian baju hangat miliknya yang tak lagi terpakai.

Jaket yang sangat tebal yang bahkan mungkin aku belum mampu untuk membelinya sendiri mengingat gajiku yang sepenuhnya belum terkumpul. Bahkan bos di tempatku bekerja pun tak pernah menaruh peduli apakah pegawai barunya ini memiliki pakaian cukup dan hangat untuk bekerja di sepanjang musim dingin.

Beratnya bekerja di perantauan nan jauh di sana pun perlahan mampu aku atasi dengan tuntutan keadaan, serta orang-orang baik yang muncul dan datang membantuku dengan hangat. Aku menyadari satu hal dan mengambil pelajaran melalui pengalaman yang aku rasakan sendiri. Bahwa berbuat kepada seseorang tanpa mengharap balasan akan mendatangkan kebaikan pada dirimu sendiri di suatu waktu. Entah datangnya dari seseorang yang tak kamu duga atau justru orang yang sangat asing sekalipun. Karena bagiku tak ada kebaikan yang terdengar sia-sia jika kamu melakukannya dengan ikhlas. 

Ini bukan soal paras atau betapa memelasnya wajahnya yang kamu miliki tampak di mata orang lain. Namun, tentang kehangatan dan aura positif yang terus kamu sebarkan di mana pun.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS