Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Ilustrasi foto melakukan kejahatan digital (Pexels/Michail Nilov)
Ryan Farizzal

Di ruang kelas bawah tanah Akademi Bayang, cahaya neon merah menyala redup. Dua puluh siswa duduk melingkar, mata mereka berkilat seperti pisau tajam. Guru kami, Profesor Vex, berdiri di depan, mantel hitamnya berkibar meski tanpa angin. "Hari ini," katanya dengan suara serak, "kita belajar seni pengkhianatan. Ingat, penjahat sejati tak pernah setia—kecuali pada dirinya sendiri."

Aku, Jax, siswa nomor satu, tersenyum sinis. Di sebelahku, Lena, gadis berambut merah yang selalu memandangku dengan iri. Kami bersaing sejak hari pertama. Kurasa kelas ini sangat unik: bukan ujian biasa, tapi simulasi kejahatan real-time. Setiap minggu, kami diberi misi. Gagal berarti diusir. Sukses berarti naik peringkat. Tapi hari ini, Profesor Vex mengumumkan twist: "Kalian akan berpasangan. Satu pasangan, satu target—mencuri data rahasia dari server akademi. Tapi, salah satu dari kalian harus mengkhianati yang lain untuk mendapatkan bonus poin."

Ruangan bergemuruh tawa gelap. Aku dipasangkan dengan Lena. "Bagus," gumamku. "Akhirnya kesempatan menghabisi sainganku." Lena mengedipkan mata. "Jangan terlalu yakin, Jax. Aku tahu rahasiamu—kamu tak pernah benar-benar jahat. Masih ada hati nurani di balik topengmu itu."

Malam itu, kami merencanakan di kamar asrama yang lembab. Alur cerita kami seperti labirin: Lena akan hack firewall, aku menyusup fisik ke ruang server. Tapi konflik mulai muncul. "Kenapa kita tak curang saja?" tanya Lena. "Aku bisa sabotase bagianmu, ambil semua kredit." Aku tertawa. "Itu namanya pengkhianatan prematur. Tunggu saat tepat." Dia memelotot. "Kau selalu begitu, Jax. Berpura-pura superior. Aku tahu latar belakangmu—ayahmu polisi, 'kan? Kau di sini cuma untuk balas dendam, bukan jadi penjahat sungguhan."

Kata-katanya menusuk. Benar, aku bergabung karena ayahku dibunuh oleh penjahat. Tapi aku tak mau jadi pahlawan; aku ingin jadi monster yang lebih besar. "Dan kau?" balasku. "Putri mafia yang diusir keluarga. Kau di sini karena tak punya pilihan lain." Lena bangkit, wajahnya memerah. "Setidaknya aku jujur pada kejahatanku. Kau? Kau pura-pura!"

Pagi berikutnya, simulasi dimulai. Kami menyusup ke gedung simulasi, hati berdegup. Lena di depan komputer, jarinya menari di keyboard. "Firewall down," bisiknya. Aku menyelinap ke ruang server, tapi tiba-tiba alarm berbunyi. "Apa ini?" gumamku. Lena! Dia memicu alarm sengaja. "Pengkhianat!" teriakku melalui earpiece.

Tapi alur berbalik. Saat aku berlari keluar, Profesor Vex muncul, tersenyum. "Bagus, Lena. Kau khianati dia lebih dulu." Aku terperangah. "Tapi misi belum selesai!" Lena tertawa. "Misi? Ini tes pengkhianatan, idiot. Aku curi datamu saat kau lengah." Konflik pun memuncak: aku serang Lena, tapi dia tangkis dengan pisau lipat. "Kau lemah, Jax! Tak pantas jadi penjahat!"

Dalam kekacauan, aku ingat pelajaran sebelumnya—seni manipulasi. Aku berpura-pura kalah, biarkan Lena mengambil data. Saat dia menyerahkannya ke Profesor, aku aktifkan virus yang kuselipkan di earpiece-nya. Data terhapus, alarm sungguhan berbunyi. "Apa?!" jerit Lena. Profesor Vex menggeleng. "Jax, kau khianati dia dari awal. Bonus ganda."

Ruangan berubah jadi arena. Siswa lain bergabung, alur cerita pecah jadi fragmen: flashback ke minggu lalu, saat aku mencuri kode Lena; flashforward ke graduasi, di mana aku jadi pemimpin.

Lena ditangkap oleh penjaga simulasi. "Kau menang kali ini," desisnya. "Tapi konflik kita belum selesai." Aku tersenyum. "Itulah keindahan kelas ini—penjahat tak pernah berhenti."

Profesor Vex tepuk tangan. "Lulusan terbaikku. Tapi ingat, di dunia nyata, pengkhianatan tak ada bonus poin." Aku keluar, hati dingin. Kelas ini mengubahku: dari pemula menjadi monster. Tapi Lena? Dia kabur malam itu, mencuri identitasku. Alur pun berlanjut dan sekarang aku menjadi buruan.

Akhirnya, aku sadar: kelas ini bukanlah kelas menjadi penjahat, tapi malah menjadikannya korban. Konflik antar kami hanyalah permulaan. Dunia di luar? Labirin lebih besar.