Bimo Aria Fundrika | Harsa Permata
Ilustrasi Lampu Taman (Sumber: filmaria.co.id)
Harsa Permata

Malam sehabis hujan. Rintiknya masih tertinggal di udara, menggantung seperti napas yang belum tuntas. Sore tadi aku membaca koran lokal Yogya.

Satu berita membuat tanganku berhenti membalik halaman: seorang istri dibunuh suaminya sendiri, seorang guru bela diri, di kompleks perumahan kami.

Sejak itu, ritme hidup di kompleks berubah. Pohon rindang ditebang. Lampu taman diwajibkan. Gerbang dipalang dua puluh empat jam. Semua harus terang. Semua harus terlihat.

Annie, istriku, mengalaminya langsung. Saat aku dinas ke luar kota, Bu RT kerap datang ke rumah, meminta kami segera memasang lampu taman.

Pembunuhnya belum tertangkap waktu itu. Polisi bergerak lambat.

Tapi warga sudah sepakat: pelakunya pasti orang luar. Maka keamanan diperketat, dan setiap rumah harus patuh.

Aku dan Annie tak ikut rapat warga. Tapi kami tetap menjalankan keputusan bersama. Gerbang yang dulu terbuka kini ditutup palang putih hitam, dijaga wajah-wajah asing yang tak pernah kutemui sebelumnya.

"Maaf Bu, saya belum bisa pasang lampu taman. Suami saya sedang di luar kota," kata Annie.

"Tidak apa-apa. Nanti saja kalau suaminya sudah pulang," jawab Bu RT cepat, sambil melirik ke halaman rumah.

Annie menceritakan semuanya saat menyusulku ke Solo. Aku bingung. Tugasku belum selesai.

Setelah Solo, aku ke Jakarta, lalu Surabaya. Sepuluh hari penuh di luar Yogya. Aku ingin meminta tolong Pak Kamto, satpam kompleks yang biasa membantu. Tapi rasanya tak enak meminta lewat telepon.

"Tunggu Ayah pulang saja," kata Annie akhirnya.

Hati kecilku gelisah. Bukan soal lampu taman. Tapi karena pembunuh itu belum tertangkap.

Sepuluh hari kemudian, aku turun di Stasiun Tugu dengan tubuh remuk oleh kurang tidur dan kopi. Yogya menyambutku dengan gerimis. Sama seperti malam aku berangkat.

Saat taksi memasuki kompleks, dadaku mengencang. Palang gerbang berdiri angkuh. Penjaganya bukan Pak Kamto, tapi orang asing dengan tatapan curiga. Setiap mobil diperiksa. Setiap wajah diteliti.

Taksi berhenti di depan rumah.

Lampu taman menyala.

Cahaya kuning pucat menyorot taman kecil kami. Daun-daun pucuk merah tampak basah, pohon mangga di sudut halaman sudah rata ditebang. Annie rupanya memasang lampu itu.

Aku melangkah turun. Ada rasa aneh di dada. Seolah lampu itu bukan melindungi, melainkan membuka rumah kami untuk dilihat kegelapan.

Aku mengetuk pintu.

Tak ada sapaan ceria. Yang terdengar hanya suara gerendel yang ditarik berulang kali. Logam beradu. Gugup.

"Ayah?" suara Annie bergetar.

"Ini aku. Sudah pulang."

Pintu terbuka sedikit. Wajah Annie pucat. Matanya melirik ke arah taman.

"Yah," bisiknya.

"Sejak lampu itu dipasang, setiap jam dua pagi aku merasa ada yang berdiri di batas cahayanya."

Aku mencoba tertawa. "Mungkin bayangan pohon tetangga."

Annie menggeleng cepat.

"Pohonnya sudah ditebang. Semua harus terang. Semua harus terlihat."

Malam itu aku tak tidur.

Pukul 01.45, aku duduk di ruang tamu. Lampu taman menembus jendela kaca. Kuning. Dingin.

Pukul dua tepat, lampu itu berkedip.

Tik.

Tik.

Cahaya meredup sesaat, lalu menyala lebih terang.

Di batas cahaya, aku melihatnya.

Sepasang kaki.

Celana kain hitam. Basah. Diam. Tubuh bagian atasnya tenggelam di gelap aspal.

Ketukan pelan terdengar. Bukan dari depan. Dari arah dapur.

"Pak," sebuah suara berat berbisik.

"Lampu tamannya bagus. Tapi terang sekali. Saya susah melihat ke dalam. Jadi saya masuk lewat dapur saja, ya?"

Itu suara Pak Kamto.

Tubuhku membeku.

Aku baru sadar lampu taman dan pohon yang ditebang bukan untuk melindungi kami. Tapi untuk memastikan kami tak punya tempat bersembunyi.

"Ayah, siapa itu?" Annie berbisik di belakangku.

"Jangan bergerak," kataku.

Aku melirik kembali ke taman.

Sosok itu melangkah masuk ke area terang.

Seorang perempuan berdaster robek. Lehernya miring tak wajar. Istri guru bela diri itu. Matanya menatap ke arah dapur. Tangannya menunjuk, gemetar. Ia datang untuk memperingatkan.

Pintu dapur berderit terbuka.

Pak Kamto muncul, menggenggam belati panjang.

"Kompleks ini harus bersih," katanya sambil tersenyum.

"Keluarga yang terlambat pasang lampu adalah noda pertama."

"Buka pintu! Sekarang!" teriakku.

Annie membuka gerendel. Aku mendorong istri dan anakku keluar. "Lari ke rumah Pak RT. Jangan menoleh."

Aku melangkah mundur ke halaman, tepat di bawah lampu taman.

"Di luar terlalu terang," kata Pak Kamto.

"Justru itu," jawabku. "Biar semua orang melihat."

Saat ia menerjang, aku mengayunkan tiang besi lampu duduk ke arah bohlam.

PRANG.

Lampu pecah.

Gelap total.

Dalam kegelapan, sebuah tangan dingin menyentuh bahuku. Mengarahkan lenganku.

"Di sana," bisik suara halus.

Aku menghantam.

Dentum keras. Erangan. Tubuh Pak Kamto tersungkur ke pagar.

Lampu sorot pos keamanan menyala. Teriakan warga mendekat.

Beberapa hari kemudian, semuanya terungkap.

Pak Kamto adalah murid setia sang guru bela diri. Ia membersihkan saksi demi gurunya.

Lampu taman tak kupasang lagi.

"Tidak dipasang, Yah?" tanya Annie.

Aku menggeleng.

"Kadang, gelap justru melindungi. Dan kadang, kita butuh kegelapan untuk tahu siapa yang benar-benar menjaga."

Aku menatap taman gelap itu. Di sana, aku tahu, peringatan itu masih tinggal.