M. Reza Sulaiman | Harsa Permata
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam seremoni penyerahan uang hasil penagihan denda administratif kehutanan dan penyelamatan keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (24/12/2025). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd]
Harsa Permata

Teatrikal Dini Hari di Depan Tumpukan Triliun

Dini hari, 17 Desember 2025, Istana Merdeka menyaksikan sebuah pemandangan yang tak biasa. Di hadapan tumpukan aset korupsi senilai Rp6,6 triliun yang berhasil dirampas KPK, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato emosional. "Saya bersumpah, saya rela mati untuk rakyat saya," ucapnya dengan nada kolosal yang menggetarkan.

Di satu sisi, publik disuguhi tontonan keberhasilan hukum yang fantastis, namun di sisi lain, pernyataan "rela mati" pada pukul dua pagi itu menyisakan tanda tanya besar: apakah ini sebuah heroisme tulus ataukah sekadar teatrikal politik untuk menutupi realitas rakyat yang kian terhimpit?

Kenaifan ala Baladewa dalam Puncak Kekuasaan

Jika kita membedahnya melalui lensa pewayangan, sosok Prabowo saat ini lebih mendekati karakter Baladewa ketimbang Kresna yang penuh muslihat. Baladewa adalah ksatria yang jujur, emosional, dan sering kali melihat dunia secara hitam-putih. Ia sering kali tampak "naif" karena kejujurannya justru menjauhkannya dari realitas muslihat dan tipu daya yang dimainkan oleh orang-orang dalam lingkaran kekuasaannya.

Pertanyaannya, benarkah Prabowo tidak paham realitas lapangan? Padahal, secara statistik, ia termasuk presiden yang cukup rajin turun ke bawah dibanding pendahulu-pendahulunya. Namun, kenaifan itu muncul saat pidato-pidatonya di media mengesankan seolah-olah ia hidup dalam idealisme militer yang kaku, sementara birokrasi di bawahnya mungkin sedang sibuk bermain mata dengan kepentingan lain.

Apakah ia benar-benar naif karena hati yang bersih, ataukah ia sedang "dinaifkan" oleh sistem yang sengaja mengisolasi informasi untuknya?

Kepungan Sengkuni di Lingkaran Dalam

Dalam politik, seorang pemimpin yang naif sering kali berpotensi dimanfaatkan begitu rupa oleh para Sengkuni modern. Sengkuni dalam konteks ini bukan lagi satu orang dengan kaki pincang seperti karakter dalam pewayangan Jawa, melainkan sistem oligarki dan lingkaran dalam yang lihai membisikkan laporan "asal Bapak senang".

Mereka membiarkan fokus Sang Presiden hanya tertuju pada narasi-narasi besar seperti swasembada pangan dan sumpah rela mati, sementara di tingkat teknis, kebijakan ekonomi justru sering kali bertentangan dengan kesejahteraan mayoritas rakyat.

Akan sangat berbahaya jika seorang pemimpin terlalu asyik menjadi seolah-olah ksatria naif yang cinta tanah air, selayaknya "Ksatria Kumbakarna" yang rela gugur demi bangsa, tetapi mungkin tidak mau tahu bahwa musuh sesungguhnya bukanlah penyerbu dari luar—yaitu Sri Rama dan balatentara kera—melainkan rayap-rayap di dalam rumahnya sendiri. Musuh itu adalah Rahwana yang telah melakukan adharma dengan menculik dan menyekap istri Sri Rama, Dewi Sinta.

Sumpah rela mati di depan Rp6,6 triliun uang korupsi akan menjadi ironi jika instrumen hukum di bawahnya masih tebang pilih dan para Sengkuni baru tetap leluasa berpesta di balik punggungnya.

Rakyat Butuh Sistem, Bukan Martir

Sikap naif—baik itu asli maupun pura-pura—memiliki risiko yang sama besarnya. Jika ia asli, maka sang pemimpin adalah korban dari isolasi informasinya sendiri. Jika itu pura-pura (seperti strategi calculated naivety), maka itu adalah upaya untuk menghindari tanggung jawab atas kegagalan sistem. Masyarakat Indonesia yang dewasa seharusnya sudah melampaui fase memuja kepahlawanan tanpa isi seperti ini.

Kita seharusnya sudah mulai bertanya secara kritis: buat apa seorang pemimpin rela mati jika sistem yang ditinggalkannya tetap membiarkan rakyatnya lapar?

Adil sejak dalam pikiran, seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia, berarti kita harus berani melihat bahwa kebaikan personal seorang pemimpin tidaklah cukup tanpa ketegasan untuk memberangus para Sengkuni yang mengepungnya. Panggung pukul dua pagi itu memang dramatis, namun realitas rakyat di pasar, di sawah, dan di pabrik jauh lebih nyata daripada sekadar sumpah di depan tumpukan aset rampasan.

Kesimpulan: Menanti Keberanian Sang Ksatria

Pada akhirnya, sejarah akan menulis Prabowo bukan berdasarkan seberapa sering ia bersumpah setia, melainkan dari seberapa berani ia memangkas tangan-tangan "Sengkuni" —atau serakahnomics, meminjam kata-kata Prabowo— yang selama ini menyandera kebijakan nasional. Indonesia tidak butuh pemimpin yang hanya rela mati; Indonesia butuh pemimpin yang berani membuat sistem hukum benar-benar hidup.

Tanpa keberanian itu, sumpah di depan tumpukan triliun hanyalah menjadi dongeng pewayangan yang pahit di telinga rakyat yang sedang berjuang bertahan hidup.