Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ardiyanto Pramono
Adegan Film Belenggu (IMDB)

Film 'Belenggu' dirilis ulang di Netflix beberapa waktu. Perilisan ulang film ini setelah dua belas tahun berlalu tentu sangat menarik. Tidak sedikit yang memuji 'Belenggu' yang merupakan karya sutradara Upi Avianto ini sebagai salah satu film 'cult' Indonesia. Ketika rilis, film ini memang tidak mencetak box office namun perlahan semakin banyak penggemar yang mengikuti film ini.

Namun, meski banyak yang menyukai film ini dan mungkin terpengaruh oleh film ini, ada banyak kritik yang bisa disematkan pada film ini. Act 1 dari film ini bisa jadi memberikan kelemahan yang sangat kentara terutama pada pengenalan tokoh. Ketika film dimulai, kita diminta menerima Elang begitu saja. Elang si tokoh utama tidak diramu karakternya dengan baik dan hanya diceritakan sebagai seseorang yang memiliki halusinasi dan gangguan jiwa semata tanpa penjelasan yang kuat.

Penonton dibuat bertanya tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Elang, apakah ia gila? apakah ia dihantui hal hal yang mistis? Hal ini membuat kenikmatan menonton menjadi terganggu. Kalau kita bandingkan dengan film Korea Selatan yang berjudul Memoirs of a Murderer, terlihat jelas kekurangan Belenggu. 

Dalam film Memoirs of a Murderer, kita sudah diberitahu bahwa tokoh utama yaitu Kim Byeong Soo memang mengalami dementia akut sehingga banyak memori dan realita dalam film tersebut tidak sesuai kenyataan. Sementara itu Elang dalam film ini tidak dijelaskan apa kekurangannya dari awal sehingga penonton hanya bisa berasumsi atau bahkan sebenarnya sudah menebak ending cerita dari awal.

Kelemahan kedua adalah banyaknya adegan yang tidak diperlukan sehingga membuat pace menjadi lambat. Selain itu, plot cerita yang terlalu berputar putar seakan menjadi filler dari film ini. Bisa jadi ini adalah subyektivitas pribadi, namun film dengan alur lambatpun sebenarnya bisa membius penonton jika disusun dengan baik. Contoh baik adalah film 'Kala' karya Joko Anwar. Meski film beralur lambat, namun penonton dibuat penasaran dengan adegan demi adegan yang mengundang pertanyaan.

Ketiga, akting Abimana Aryasatya terasa berlebihan di beberapa adegan. Sementara itu karakter lain seperti Djenar seperti tidak memberikan kesan dan pengaruh langsung pada Elang. Djenar seperti berhenti menjadi bagian dari imajinasi Elang semata. Satu satunya karakter yang menarik penonton adalah karakter Jingga dengan kompleksitasnya.

Demikianlah review film 'Belenggu' yang merupakan salah satu film produksi Falcon  Pictures pertama. Meski 'Belenggu' memiliki berbagai kekurangan namun kemudian bintangnya, Abimana, dapat terus berimprovisasi dan menjadi aktor kebanggaan Indonesia. Selain itu Upi juga semakin matang dalam menyusun film dan jauh lebih baik dalam film 'Sehidup tak Semati'.

'Belenggu' akhirnya menjadi film yang kita butuhkan. Bukan sebuah film sempurna namun membuka kemungkinan genre genre baru di Indonesia.

Ardiyanto Pramono