Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ardiyanto Pramono
Ilustrasi Resign.[Pexel/Ron Lach]

Beberapa orang menunda rencana mereka untuk resign dari pekerjaan mereka karena menunggu Tunjangan Hari Raya (THR). Berhubung THR telah cair, apakah ini saat yang tepat untuk resign? Apalagi kantor yang ada selama ini kelewat toxic. Jobdesk tidak jelas, supervisor emosional, budaya eksploitatif dan berbagai masalah lainnya kerap menjadi pembenaran untuk kita memutuskan resign.

Jujur, mungkin saja resign kita dapat dimengerti. Orang orang yang mendengarkan kita juga akan memahami alasan kita untuk resign. Banyak orang akan mengatakan bahwa mereka manusia dan layak untuk dihormati. Keputusan untuk pamit ini adalah salah satu upaya untuk menjaga harga diri agar seseorang menjadi manusia dan merupakan bentuk menghargai diri sendiri. Persetan dengan perusahaan yang tidak bisa menghargai pekerjanya.

Di tengah kontroversi itu, saya justru mengatakan bahwa resign sebagai bentuk perlawanan dan bentuk unjuk kekuatan pada perusahaan sebagai sikap yang tidak bijak. Pasalnya, di tengah kondisi ekonomi yang seperti ini dimana banyak pengangguran kompeten, kita akan segera tergantikan dengan mudah. Tidak hanya tergantikan dengan mudah, bisa saja kita masuk pool ke orang orang yang kompeten, tapi kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kecil kemungkinan juga perusahaanmu berubah karena kamu mundur.

Mengundurkan diri itu sebenarnya sah saja asal itu selaras dengan kepentinganmu. Lalu, kepentingan macam apakah yang perlu kamu pertimbangkan. Pertama, pastikan dulu bahwa rencana pengunduran dirimu itu bermanfaat untuk rencana jangka menengah dan panjangmu. Sengaja saya tidak menyebut rencana jangka pendek karena rencana jangka pendek kerap kali didasarkan pada basis emosional semata, bukan karena kamu membuat keputusan itu berdasarkan konsekuensi logis.

Ada beberapa jenis resign yang dapat dimengerti, salah satunya karena kamu sudah memiliki cukup otot finansial untuk bertahan dan kamu merasa tidak berkembang secara pribadi dan kemampuan di pekerjaanmu saat ini. Jangan senang kalau kamu merasa nyaman dengan pekerjaanmu. Kalau kamu merasa nyaman, berarti pekerjaan itu sebenarnya tidak memberikan kamu kemajuan. Jika tidak ada kemajuan, maka kamu akan menyesal di jangka panjang karena waktu dan energi sangat penting untuk bertumbuh. Lebih baik tidak nyaman di usia 20an ketimbang baru tidak nyaman di usia 40an. Hal seperti ini perlu menjadi pertimbangan. Selain faktor faktor tadi, resign yang dapat dimengerti adalah karena kamu sudah punya peluang pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Jika dasarnya begitu, maka undur dirilah dengan sukacita karena kamu memang layak untuk mendapatkannya.

Tapi ketika kamu mundur akibat emosi, otot finansialmu bisa saja lemas karena kekurangan gizi. Selain itu kamu lebih banyak menghabiskan waktu melakukan hal hal tidak produktif karena ya memang kamu tidak tahu harus melakukan apa apa. Selain itu, seperti yang saya sebutkan tadi. Perusahaanmu toh akan tetap baik baik saja tanpa kamu. Malah kamu yang sekarang hanya tersenyum kecut.

Jangan senang jika orang mengaku memahami alasanmu mundur. Orang mungkin paham kenapa kamu mundur, tapi selanjutnya, apakah mereka akan menolongmu? Mereka akan menjadi pendukungmu tapi tidak banyak pendukung yang terlibat dalam peperanganmu sendiri. Oleh karena itulah, sebelum benar benar mundur dari sebuah korporasi, kamu harus bertanya, apa yang ingin kamu capai? Apakah yang kamu lakukan ini benar benar sesuai dengan tujuan, visi hidupmu, atau jangan jangan kamu hanya mencari kenyamanan? Orang orang yang mencari kenyamanan ini—ironisnya—justru menjadi orang yang paling susah bertahan di dunia. Namun orang orang yang hidup dalam tujuan, mampu menghadapi berbagai kesulitan.

Ardiyanto Pramono