Hikmawan Firdaus | Ancilla Vinta Nugraha
CRSL Land Festival 2025 - Day 1 (Instagram/@crsl.landfest)
Ancilla Vinta Nugraha

Hari pertama CRSL Land Festival 2025 sukses digelar di Lapangan Kenari, Yogyakarta, Sabtu (27/9/2025). Area festival menghadirkan tiga panggung sekaligus: Main Stage, Second Stage, dan Mini Stage.

Ribuan penonton berduyun-duyun hadir sejak sore, mengenakan kaos band favorit, membawa kamera digital, hingga mengibarkan bendera dengan nama fandom masing-masing di tengah keramaian. 

Sorak sorai penonton terdengar bahkan sebelum musik dimulai, menandakan antusiasme tinggi terhadap deretan musisi yang tampil. 

Malam itu, Lapangan Kenari berubah menjadi ruang perayaan musik, tempat berbagai genre dan energi bertemu dalam satu rangkaian pertunjukan.

Sing-Along Pecah di Setiap Panggung

Momen Sing-Along saat Pertunjukan Nadin Amizah (Instagram/@crsl.landfest)

Salah satu momen paling terasa di hari pertama CRSL Land Festival adalah ketika ribuan penonton larut dalam nyanyian bersama. Dari Main Stage hingga Second Stage, penonton tak sekadar menonton, tapi ikut jadi bagian pertunjukan. 

Sejak sore, penonton sudah diajak bernyanyi bersama. Adrian Khalif yang tampil di awal berhasil memecah suasana dengan lagu “Sialan”. Meski matahari masih tinggi, penonton tak ragu ikut bersuara lantang, menjadikan set pembuka ini terasa meriah. 

Setelah itu, giliran Skandal yang bikin suasana makin hangat. Band asal Jogja ini mengalirkan energi khas lewat lagu-lagu andalan mereka, membuat penonton lokal ikut antusias bernyanyi bersama. 

Suasana selanjutnya juga semakin pecah saat Nadin Amizah membawakan “Perempuan Gila”. Hampir seluruh lapangan bergema oleh suara penonton yang menyanyi seirama, menciptakan harmoni kolektif yang menggetarkan.

Bagi sebagian penonton, momen itu terasa sangat istimewa. “Nadin nggak pernah gagal bikin penonton terpukau. Akhirnya my dream come true,” ujar Princess (19), salah satu penggemar Nadin Amizah. 

Menjelang senja, giliran Sal Priadi yang menghadirkan momen tak terlupakan. Lagu “Gala Bunga Matahari” ia bawakan tepat saat langit Jogja berubah jingga. Cahaya matahari yang meredup berpadu dengan sorot lampu panggung, menciptakan nuansa dramatis sekaligus romantis. Ribuan penonton ikut bernyanyi sambil mengangkat ponsel, seakan sunset menjadi latar panggung alami yang menambah magis penampilannya. 

Menurut salah satu penggemar Sal Priadi, Bunga (20), menyebut penampilan Sal selalu memberi kesan berbeda. “Bukan cuma nyanyi, tapi juga stage act yang memukau dan merasakan sesuatu yang berbeda,” tuturnya.

Sing-along tidak berhenti sampai di situ. Begitu malam turun, energi justru semakin meluap. Feast lewat “Tarot” dan “Nina” jadi salah satu penampilan paling lantang. Penonton berteriak mengikuti lirik, sementara tangan-tangan terangkat ke udara, membuat suasana terasa padat dan penuh tenaga.

Tak lama kemudian, giliran The Panturas yang membuat area depan panggung bergetar saat “Sunshine” dimainkan. Penonton melompat tanpa henti, namun tetap bernyanyi bersama mengikuti ritme surf-rock yang riang. 

Puncak sing-along terjadi saat Hindia menutup crowd dengan “Everything U Are”. Hampir seluruh lapangan ikut bernyanyi, dari barisan depan hingga paling belakang. 

Malam Berubah Jadi Gelombang Moshing

Crowd Surf saat Penampilan The Panturas (Instagram/@crsl.landfest)

Jika sing-along memberi ruang bagi ribuan orang bernyanyi bersama, momen moshing menghadirkan energi yang berbeda dengan lebih liar, intens, dan meledak-ledak.

The Panturas jadi salah satu pemicu utamanya. Begitu “Queen of the South” mengalun, barisan depan panggung seketika berubah jadi arena moshpit. Tubuh-tubuh berdesakan, sebagian melompat ke udara, dan gelombang energi seolah bergerak dari kanan ke kiri mengikuti dentuman drum dan gitar.

Tak berhenti di situ, “Tafsir Mistik” justru memunculkan adegan yang lebih bergelora dengan crowd surfing. Beberapa penonton diangkat tinggi-tinggi oleh kerumunan, melayang di atas tangan ratusan orang, sebelum akhirnya mendarat kembali dengan sorakan riuh. 

Tak hanya The panturas, Saat Skandal naik panggung, energi penonton juga langsung memuncak. Di tengah sing-along, beberapa penonton juga melakukan crowd surf, menambah riuh suasana sore itu.

Meski atmosfer begitu padat, suasana tetap terasa hangat. Penonton saling menjaga di tengah moshing, memastikan semua yang ikut tetap aman. Suasana terasa padat, tapi tetap terkendali berkat solidaritas antar penonton yang saling menjaga. 

Ragam Suara dari Tiga Panggung

Penampilan White Chorus (Instagram/@crsl.landfest)

Selain sing-along dan moshing yang mendominasi, CRSL Land Festival juga menyuguhkan variasi genre di setiap panggung. Di Second Stage, White Chorus tampil dengan set penuh warna. Nuansa electro-pop yang mereka usung memberi kontras segar dibanding dentuman di panggung utama. 

Bagi sebagian penonton, White Chorus justru menjadi salah satu highlight yang tak boleh dilewatkan. Keenan (20), menyebut kehadiran band itu di CRSL terasa spesial. “Pertama kali nonton mereka live di Jogja, akhirnya kesampaian setelah lama dengerin,” ungkapnya. 

Hal senada juga disampaikan Rival (20) yang merasa White Chorus menawarkan sesuatu yang segar. Meski crowd yang hadir tidak sebanyak saat Hindia atau Feast tampil, ia merasa band ini berani menawarkan sesuatu yang berbeda lewat eksplorasi genre seperti electro pop, UK garage, hingga dream pop. 

Sementara itu, Main Stage ditutup oleh Tuan Tigabelas x Jogja Hip Hop Foundation. Perpaduan beat hip hop dengan lirik berbahasa Jawa langsung mengundang sorakan dan gerakan kompak dari penonton. 

Di sisi lain, Mini Stage menghadirkan suasana berbeda. Sigger, Tone Fayatune, hingga Yogyakarta Young Soul mengisi slot dengan gaya lebih santai. Musik mereka jadi teman bagi penonton yang rehat di area tenant food and beverage, menciptakan kesan festival yang tak hanya padat aksi di panggung utama, tapi juga punya ruang hangat untuk sekadar menikmati musik sambil makan dan bercengkerama.

Hari pertama CRSL Land Festival 2025 ditutup dengan euforia yang masih terasa hingga langkah terakhir penonton meninggalkan Lapangan Kenari. Dari sing-along, moshing, hingga ragam aksi di tiga panggung, tiap momen menghadirkan memori yang tak terlupakan. 

Meski malam telah usai, tentunya euforia akan terus bergema. Sampai jumpa di hari kedua!