Bimo Aria Fundrika | Rizky Pratama Riyanto
Ilustrasi rindu (Unsplash/Alexander Lam)
Rizky Pratama Riyanto

Namaku Meilian. Aku lahir dan tumbuh di tanah Jawa, dari keluarga sederhana yang mengajarkanku arti bertahan sejak aku belum benar-benar mengerti hidup.

Menjadi anak sulung bukan pilihan, melainkan peran yang harus kuterima sejak kecil. Mandiri lebih cepat, kuat lebih awal, dan jarang diberi ruang untuk mengeluh.

Di pundakku, harapan keluarga ditumpuk diam-diam. Aku diharapkan menjadi penopang, menjadi kebanggaan, menjadi alasan keluarga ini bisa naik derajat. Padahal, aku hanya seorang anak yang juga ingin lelah dan dipeluk.

Aku tinggal bersama kakek dan nenek. Ayah dan bunda bekerja sebagai karyawan swasta dan jarang berada di rumah. Meski usia kakek dan nenek semakin renta, rumah kami selalu terasa hangat, terutama karena kakek. Kakek adalah dunianya tawaku. Setiap sore, ia mengajakku berjalan kaki, menggenggam tanganku erat seolah takut aku tersesat.

“Kamu mau jajan apa?” tanyanya hampir setiap kali.

Aku selalu menolak. Aku tahu uangnya terbatas. Aku tahu obat-obatan kakek lebih penting daripada gorengan di tanganku. Namun kakek tak pernah benar-benar mendengarkan penolakanku. Ia tetap membelikan jajanan, seolah ingin menukar rasa sakitnya dengan senyumku.

Ayah berbeda. Sejak menikah dengan bunda, ia perlahan menjauh dari rumah. Pulang larut, jarang bicara, dan semakin asing. Bunda tetap tersenyum, meski matanya sering sembab. Aku melihatnya. Aku selalu melihatnya.

Aku teringat masa ketika demam berdarah hampir merenggut nyawaku. Demam tinggi, mimisan, muntah darah. Bunda tak tidur berhari-hari, memelukku di ranjang rumah sakit dengan wajah penuh cemas.

Ayah sibuk dengan ponselnya. Ketika bunda memohon agar aku segera dibawa ke rumah sakit, ayah menolak dengan nada kasar dan dingin.

Dokter berkata aku nyaris terlambat diselamatkan.

“Ayah hampir saja membuatmu kehilangan nyawa,” kata seseorang suatu hari.

Namun aku tetap menyayanginya. Entah kenapa, hati anak selalu memaafkan sebelum sempat bertanya.

Aku tumbuh tanpa pelukan ayah. Setiap melihat teman-temanku bercanda dengan ayah mereka, dadaku terasa sesak. Aku iri, lalu merasa bersalah karena iri. Dunia terasa tidak adil. Mereka lahir dari keluarga yang utuh, sementara aku tumbuh dari pertengkaran yang tak pernah selesai.

Lalu kakek jatuh sakit. Asam lambungnya semakin parah. Setiap pulang sekolah, aku dan nenek menyuapinya nasi sedikit demi sedikit. Tangannya gemetar. Tubuhnya melemah. Hingga suatu hari dokter berkata tak bisa berbuat banyak. Infus tak menemukan pembuluh darahnya.

Kakek pulang dan tak pernah bangun lagi.

Sejak itu, rumah menjadi sunyi. Tak ada tawa sepulang sekolah. Tak ada tangan hangat yang menggenggamku. Dunia terasa terlalu besar untuk anak sepertiku.

Bunda berubah. Marahnya mudah meledak. Aku sering keluar rumah sore hari, berjalan sendiri di kompleks, memotret langit dan pepohonan dengan kamera ponsel. Fotografi menjadi caraku bernapas.

Saat rapor dibagikan, aku gagal. Nilai-nilaiku turun. Bunda kecewa. Aku hancur. Aku merasa gagal menjaga keluarga tetap utuh.

Pertengkaran ayah dan bunda semakin sering. Suatu malam, aku terbangun oleh suara ribut. Aku mengintip dari balik pintu kamar. Nenek tak sanggup melerai. Aku hanya bisa menangis, terduduk di lantai.

Ketika pertengkaran usai, bunda menangis di sofa. Aku menghampirinya, menghapus air matanya, berpura-pura tak tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya mengambilkan segelas air.

Kini aku belajar berpikir dewasa sebelum waktunya. Aku merelakan kemungkinan ayah pergi demi bunda tak terus terluka. Namun di saat yang sama, aku tetap merindukan ayah dan kakek.

Di sepertiga malam, aku mengeluh dalam doa. Aku ingin tangan kakek kembali menggenggamku. Aku ingin ayah pulang tanpa marah.

Karena sejauh apa pun luka itu, rindu selalu menemukan jalannya pulang.