Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rafi Alvirtyantoro
Ilustrasi orang yang perfeksionis. (Pexels/VK Studio)

Kesempurnaan mungkin ingin dimiliki oleh sebagian orang. Tidak hanya dengan diri sendiri, tetapi juga lingkungan dan orang-orang sekitarnya harus sempurna.

Memiliki sifat perfeksionis mungkin menguntungkan beberapa orang dan membantu dalam beberapa hal. Namun di balik nikmat yang didapat, perfeksionisme juga memiliki dampak buruk yang cukup menbuat hidupmu berubah.

Merangkum Psychology Today, berikut adalah tiga alasan untuk kamu berhenti menjadi perfeksionis.

1. Jalur Cepat Menuju Depresi

Sifat perfeksionis tidak hanya menuntut diri kamu untuk terlihat sempurna, tetapi ada juga orang yang ingin orang lain juga melakukan hal tersebut. Bahkan, ada juga yang merasa bahwa orang lain menuntutmu untuk tampil sempurna. Hal-hal tersebut bisa saja membuatmu depresi jika tidak terwujud.

Sebuah studi menyimpulkan bahwa perfeksionisme dalam banyak kasus menyebabkan depresi. Ini bisa menjadi peringatan untukmu agar tidak membiarkan kecenderungan menjadi masalah dan merusakmu.

2. Membuat Kesepian

Orang-orang yang memiliki sifat perfeksionis pasti memiliki tujuannya masing-masing dan cara untuk menunjukkannya. Ada yang sengaja menunjukkan kesempurnaannya untuk mengesankan orang, seperti seorang narsisis.

Ada juga yang terlihat mengindari sebuah kegiatan yang bisa menunjukkan kekurangannya hingga menghindar dari percakapan tentang kesulitan atau kesalahan seseorang. Maka dari itu, seorang yang perfeksionis cenderung melakukan isolasi sosial saat merasa tidak sempurna.

Kamu mencoba untuk memenuhi harapan dari realitas yang sebenarnya sulit untuk diwujudkan, sehingga mengasingkan diri dari orang lain di dalam prosesnya. Terkadang juga ada beberapa orang yang memilih menjauhimu karena memiliki sifat perfeksionis yang cenderung ke arah narsisis.

3. Dapat Diwarisi oleh Keturunanmu

Dalam studi terbaru, psikolog Martin Smith dan Simon Sherry menemukan bahwa orang-orang yang melaporkan memiliki orang tua yang tanpa henti mendorong anaknya untuk menjadi lebih baik cenderung lebih berorientasi pada diri sendiri, orang lain, dan perfeksionisme yang ditentukan secara sosial.

Para orang tua yang seperti itu masuk ke dalam sifat perfeksionis yang ingin melihat orang lain tampil sempurna. Mereka menuntut dan membesarkannya secara kritis dengan sifat perfeksionis yang dimilikinya sehingga sang anak juga ikut terbiasa dan terdampak dari cara orang tua yang membesarkannya.

Kamu harus bisa mengendalikan sifat tersebut agar tidak terbawa jauh dan mendapatkan dampak buruknya.

Itulah alasan-alasan agar kamu berhenti untuk menjadi perfeksionis. Semoga informasi di atas bisa membantumu dalam mengatasi hal tersebut.

Rafi Alvirtyantoro