Ada satu berita pilu dari Bandung yang rasanya lebih dari sekadar headline. Seorang ibu muda (34) ditemukan tewas gantung diri setelah diduga meracuni kedua anaknya yang masih kecil, salah satunya bahkan baru berusia 11 bulan.
Di lokasi, polisi menemukan surat wasiat dalam bahasa Sunda yang isinya menyayat hati, menceritakan semua tekanan dan kesulitan yang ia hadapi.
Tragedi ini sontak membuat netizen mengaitkannya dengan "monster" tak terlihat yang sering kali diremehkan: baby blues dan depresi pasca-persalinan. Ini bukan lagi soal berita kriminal, ini adalah sebuah alarm keras bagi kita semua.
Beda Tipis tapi Krusial: Baby Blues vs. Depresi Pasca-persalinan
Bagi para ibu baru, istilah baby blues pasti sudah nggak asing. Ini adalah fase "rewel"-nya si ibu, yang biasanya muncul 1-2 minggu setelah melahirkan.
Gejalanya bisa macam-macam: gampang nangis tanpa sebab, overthinking, gampang tersinggung, sampai merasa nggak sanggup jadi ibu. Seharusnya, fase ini akan mereda dengan sendirinya jika si ibu dapat dukungan penuh dari pasangan dan keluarga.
Nah, ceritanya jadi beda kalau sudah masuk ke ranah depresi pasca-persalinan (postpartum depression). Ini bukan lagi "rewel biasa", ini sudah masuk level yang jauh lebih serius dan berbahaya. Gejalanya bisa muncul lebih lama, bahkan saat si anak sudah mulai besar.
Tanda-tandanya pun lebih kelam:
- Kehilangan minat total pada hal-hal yang dulu disukai.
- Rasa lelah yang luar biasa, meskipun sudah istirahat.
- Sulit tidur, padahal badan capek banget.
- Merasa sangat tidak pantas dan gagal menjadi seorang ibu.
- Dan yang paling mengerikan: muncul pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan si buah hati.
Bayangkan jika semua ini terjadi di tengah tekanan masalah ekonomi dan minimnya dukungan dari orang-orang terdekat. Rasanya seperti terjebak di ruangan gelap sendirian.
"Ibu Harus Kuat": Stigma Sialan yang Jadi Racun
Salah satu hal yang sering banget kita lupakan adalah fakta sederhana ini: ibu juga manusia. Mereka punya perasaan. Mereka bisa capek, stres, dan merasa overwhelmed.
Sayangnya, stigma "ibu harus kuat" yang ditanamkan masyarakat justru jadi racun. Stigma ini membuat banyak ibu muda merasa bersalah dan ragu untuk jujur bilang, "Aku capek," atau "Aku nggak kuat."
Padahal, justru di momen-momen itulah mereka paling butuh pertolongan dan perhatian.
Depresi pasca-persalinan itu bukan tanda kelemahan atau kegagalan. Ini adalah kondisi medis yang nyata dan butuh penanganan serius, sama seperti penyakit fisik lainnya.
Jadi, Kita Harus Gimana?
Tragedi pilu di Bandung ini adalah pengingat yang menyakitkan. Ada dua hal penting yang bisa kita lakukan.
1. Untuk Para Ibu di Luar Sana:
Kalau kamu merasakan tanda-tanda di atas, tolong, jangan pendam sendirian. Beranikan diri untuk cerita ke pasanganmu, sahabatmu, atau siapa pun yang kamu percaya. Dan yang paling penting, jangan pernah takut atau malu untuk mencari bantuan profesional.
Menghubungi psikolog atau layanan kesehatan mental itu adalah bentuk cinta terbesar untuk dirimu sendiri dan keluargamu.
2. Untuk Kita Semua sebagai Support System:
Kalau kamu punya teman, istri, saudara, atau kenalan yang baru saja melahirkan, jangan cuek. Jangan cuma nanya, "Anaknya sehat?" tapi tanyakan juga, "Kamu gimana? Kamu baik-baik aja?"
Kadang, mereka tidak butuh nasihat. Cukup dengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi. Tawarkan bantuan nyata, sekecil apa pun itu.
Mungkin dengan menjaga bayinya sebentar agar ia bisa tidur, atau membawakan makanan biar ia tidak perlu repot masak. Tunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.
Kesehatan mental seorang ibu sama pentingnya dengan kesehatan fisiknya. Jangan sampai ada lagi surat wasiat yang harus ditemukan. Karena menjadi ibu bukan berarti harus jadi pahlawan super yang berjuang sendirian.
Penulis: Flovian Aiko
Baca Juga
-
Mengenal Neophobia: Ketika Rasa Takut pada Hal Baru Menjadi Hambatan
-
Cillian Murphy Diincar Kembali Main dalam Film Ketiga 28 Years Later
-
Lolos ke Semifinal SEA Games 2025, Garuda Muda Harus Ucapkan Terima Kasih kepada Vietnam!
-
Raih 100 M di Usia 19 Tahun, Ini yang Membuat Suli Beda dari Anak Seusianya
-
Richelle Skornicki dan Adegan Dewasa di Pernikahan Dini Gen Z: Antara Akting dan Perlindungan Anak
Artikel Terkait
-
Bukan Cuma Buat Ghosting, Ini Alasan Sebenarnya Jutaan Orang Matikan Centang Biru WhatsApp
-
FYP Penuh Berita Rusuh Bikin Auto Cemas? Ini Cara Biar Nggak Mental Gak Ikutan Chaos
-
Biblioterapi: Cara Praktis Atasi Gangguan Mental Melalui Aktivitas Membaca
-
Ikuti Saran Diet ChatGPT, Pria Ini Justru Masuk RSJ dan Nyaris Keracunan
-
'Gangguan Jiwa' COVID-19: Riset Ungkap Tekanan Mental Akibat Kesepian saat Pandemi
Health
-
Mengenal Neophobia: Ketika Rasa Takut pada Hal Baru Menjadi Hambatan
-
Terbukti Ampuh! 7 Manfaat Mindfulness yang Jarang Diketahui
-
Waspada, 10 Kebiasaan Ini Bisa Mengganggu Penglihatan dan Rusak Kesehatan Mata Anda
-
Ternyata Sesederhana Ini! Rutinitas Malam yang Ampuh Cegah Gula Darah Naik
-
Mata Perih Kayak Kena Semprot Merica? Ini 6 Cara Simpel Atasi Sindrom Mata Kering
Terkini
-
Cillian Murphy Diincar Kembali Main dalam Film Ketiga 28 Years Later
-
Lolos ke Semifinal SEA Games 2025, Garuda Muda Harus Ucapkan Terima Kasih kepada Vietnam!
-
Raih 100 M di Usia 19 Tahun, Ini yang Membuat Suli Beda dari Anak Seusianya
-
Richelle Skornicki dan Adegan Dewasa di Pernikahan Dini Gen Z: Antara Akting dan Perlindungan Anak
-
Tepis Isu Nepotisme, Wulan Guritno Beberkan Proses Casting Shaloom Razade