Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | M Bakti Putra
Ilustrasi kampus (unsplash)

Isu pembelajaran tatap muka di tingkat perguruan tinggi pada awal tahun ajaran  2021 mencuat. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disusun empat mentri, pembelajaran tatap muka dapat dilakukan mulai Januari 2021. Keputusan ini membuat penulis berpendapat tidak setuju, karena masih ada beberapa pertimbangan yang masih rancu dan dikhawatrikan dapat menjadi bumerang bagi pihak penyelenggara dalam hal ini khususnya kampus di Indonesia.

Setidaknya memiliki lima alasan utama yang menjadi pertimbangan mengapa penulis tidak setuju perkuliahan di bulan Januari 2021 dilakukan secara offline. Alasan yang pertama adalah faktor tertular virus Covid-19 ini semakin tinggi. Menggunakan sistem tatap muka ini justru dapat membuka peluang penularan semakin besar karena mahasiswa di setiap universitas ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Pertama, sebagian besar wilayah kota di Indonesia pada akhir tahun 2020 mengalami peningkatan kasus positif Coronoa yang cukup signifikan. Hal ini juga menjadi kehawatiran penulis apabila pembelajaran kembali digulirkan secara normal. Karena dengan begitu, mahasiswa dari daerah zona hijau atau pun zona merah akan saling berpindah dan bertemu di satu tempat. Dalam artian, pemberlakuan peraturan daerah masing-masing untuk mencegah penyebaran virus menjadi sia-sia.

Kedua, ancaman lain yang memungkinkan terjadi adalah lingkungan sekitar kampus yang otomatis menjadi ramai karena mahasiswa kembali belajar secara normal. Hal ini memang menjadi tanggung jawab masing-masing individu, namun dengan berkumpulnya kembali mahasiswa di lingkungan kampus tidak menutup kemungkinan kebiasaan anak muda terjadi, sebagai contoh kegiatan malam minggu dan kumpul bersama teman-teman.

Perlu dipertimbangkan kembali mengenai protokol kesehatan apa yang akan dilakukan pihak kampus untuk menunjang pembelajaran offline ini. Sebagai tambahan informasi dan contoh, kampus swasta UNPAR Bandung sudah membuat keputusan untuk memperpanjang kuliah online mereka di semester baru. Langkah ini tentunya penulis harapkan bisa diikuti oleh seluruh universitas yang ada di Indonesia.

Fasilitas di setiap perguruan tinggi di Indonesia ini tidaklah sama. Universitas negeri dan swasta memiliki kesanggupan yang berbeda-beda dalam menerapkan protokol kesehatan jika mana pembelajaran tetap berlangsung secara tatap muka. Ditambah lagi biaya operasional pasti bertambah untuk menjaga protokol kesehatan berlangsung di lingkungan kampus.

Kapasitas kelas yang belum tentu mampu untuk menampung seluruh mahasiswa saat digulirkannya sistem pembelajaran sesuai protokol kesehatan juga menjadi hambatan. Misalkan, salah satu kampus menerapkan sistem pembelajaran secara shiftting atau bergilir diperlukan perhitungan jam perkuliahan dan tenaga pengajar. Hal ini juga akan memakan waktu yang sangat banyak.

Ketiga, selain itu pasien Covid-19 akhir-akhir ini meningkat tajam di kota-kota besar seperti Kota Bandung berubah menjadi zona merah. Kurangnya kesadaran sebagian besar masyarakat Kota Bandung ini menjadi salah satu faktornya. Bahkan, ruang isolasi di kota tersebut pada umumnya sudah penuh oleh pasien.

Keempat, penulis tidak setuju adalah belum adanya vaksin Covid-19 di Indonesia. Tidak jelasnya kapan vaksin Merah Putih akan rampung menjadi bahan yang harusnya dipertimbangkan.

Vaksin Sinovac yang baru saja dipesan pemerintah Indonesia dari Tiongkok konon masih harus diuji kembali. Tentunya ini menyita waktu yang lama. Dikhawatirkan munculnya klaster atau gelombang korban virus ini bertambah  sebelum adanya vaksin yang teruji.

Kelima, adalah dikarenakan penulis yang juga merupakan mahasiswa tingkat akhir sedang menyusun skripsi. Hal ini juga menjadi pertimbangan karena semester berikutnya penulis hanya difokuskan untuk menyelesaikan tugas akhir. Masalah adaptasi dengan pengerjaan sistem daring sepertinya sudah dilewati selama semester tahun ini berjalan. 

Terakhir, adanya pertimbangan mengenai biaya yang dikeluarkan selama kuliah online cenderung lebih hemat dibandingkan dengan kuliah offline.  Dikarenakan tempat kuliah penulis yang masih satu kota dengan tempat tinggal, tidak diperlukan biaya untuk menyewa kosan. Pengeluaran tertinggi yang penulis rasakan saat ini hanya biaya internet. Apalagi pemerintah sudah menyupsidi kuota bagi pelajar di Indonesia.

Kesimpulannya penulis beropini tidak setuju dengan pembelajaran di awal tahun ajaran 2021 secara tatap muka. Pertimbangan skala besar dan kecil harus diperhitungkan secara matang-matang oleh pihak universitas dan pemda setempat. Hal ini diharapkan dapat menjadi acuan pihak terkait dalam pengambilan keputusan.

Oleh: M Bakti Putra ( Mahasiswa S1 Digital Public Relations Telkom University )

M Bakti Putra

Baca Juga