Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budianto Sutrisno
Ilustrasi siswa SMP Belajar (instagram/nadiemmakarim)

Akhir-akhir ini, protes keras terhadap penambangan nikel di Raja Ampat berhasil menarik perhatian publik dalam skala besar. Media sosial dipenuhi dengan kecaman, aktivis lingkungan turun ke jalan, dan berbagai elemen masyarakat bersatu menentang kerusakan ekosistem laut yang dikenal sebagai ”Amazon Laut”.

Namun, di sisi lain, ada tragedi sunyi yang terjadi di ruang-ruang kelas di seluruh Nusantara: kerusakan sistem pendidikan yang tak kalah memprihatinkan, tetapi hampir tidak mendapatkan respons yang sama dari masyarakat.

Kontras yang mencolok

Fenomena ini menunjukkan kontras yang sangat mencolok. Ketika terumbu karang rusak akibat penambangan, ribuan orang bergerak untuk bersuara.

Namun, saat siswa SMP kesulitan membaca secara lancar, siswa SMA tidak memahami operasi matematika dasar seperti perkalian dan pembagian, atau bahkan tidak tahu ibu kota provinsi di negara mereka sendiri, respons publik cenderung apatis.

Yang lebih mengejutkan lagi, ketika kurikulum diubah berkali-kali dalam waktu relatif singkat—dari KTSP ke Kurikulum 2013, lalu ke Kurikulum Merdeka—banyak pihak justru menyambutnya dengan antusias.

Data dari berbagai survei pendidikan menunjukkan realitas yang memprihatinkan. Asesmen Nasional 2022 mengungkapkan bahwa hanya sekitar 50% siswa yang berhasil mencapai kompetensi minimum dalam literasi, dan angka ini bahkan lebih rendah untuk numerasi.

Di beberapa daerah, ditemukan siswa kelas 9 SMP yang masih terbata-bata membaca teks sederhana. Di tempat lain, terdapat siswa SMA yang kesulitan menghitung 15 X 8 tanpa kalkulator.

Lebih mengejutkan lagi, survei informal di media sosial menunjukkan adanya remaja yang tidak tahu bahwa Bandung adalah ibu kota Jawa Barat dan Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah.

Terdapat alasan mendalam di balik perbedaan respons ini. Kerusakan alam cenderung memicu reaksi emosional yang lebih kuat, karena sifatnya yang lebih mudah dipahami.

Pertama, dampaknya langsung terlihat dan sangat visual. Foto-foto terumbu karang yang hancur, air laut yang keruh, atau ikan-ikan yang mati, bisa langsung membangkitkan rasa empati dan kemarahan.

Kedua, efeknya terasa dalam rentang waktu singkat. Nelayan merasakan penurunan hasil tangkapan secara langsung, sementara wisatawan kehilangan pemandangan yang indah.

Di sisi lain, kerusakan pendidikan lebih bersifat abstrak dan dampaknya baru terasa dalam jangka panjang. Siswa yang kesulitan membaca tidak langsung menciptakan ”foto viral” yang bisa menarik simpati.

Konsekuensi dari rendahnya kualitas pendidikan—seperti menurunnya daya saing bangsa, meningkatnya kemiskinan, dan lemahnya inovasi—baru akan terasa bertahun-tahun kemudian saat generasi tersebut memasuki dunia kerja.

Faktor psikologi sosial

Fenomena ini juga bisa dijelaskan dari sudut pandang psikologi sosial. Kerusakan alam memiliki ”musuh” yang jelas dan nyata: perusahaan tambang, kebijakan pemerintah yang kontroversial, atau individu tertentu. Hal ini memudahkan masyarakat untuk menentukan siapa yang harus mereka protes.

Sementara itu, kerusakan pendidikan melibatkan sistem yang rumit dengan banyak pihak, seperti guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kementerian, orang tua, bahkan siswa itu sendiri. Sulit untuk menentukan siapa yang harus disalahkan dan bagaimana cara memperbaikinya.

Selain itu, terdapat fenomena diffusion of responsibility atau penyebaran tanggung jawab. Ketika masalah melibatkan banyak pihak, setiap individu merasa kurang bertanggung jawab untuk bertindak. Orang tua menyalahkan sekolah, guru menyalahkan kurikulum, pemerintah menyalahkan anggaran, dan siklus ini terus berulang tanpa tindakan penyelesaian yang nyata.

Paradoks pergantian kurikulum                                                                     

Satu hal yang cukup mengkhawatirkan dalam pandangan penulis, adalah bagaimana banyak orang menyambut baik perubahan kurikulum yang terjadi terlalu sering. Ini mencerminkan pola pikir ”rumput tetangga selalu tampak lebih hijau”—selalu beranggapan bahwa yang baru pasti lebih baik.

Namun, penelitian di bidang pendidikan menunjukkan bahwa stabilitas dalam sistem adalah kunci untuk mencapai keberhasilan. Negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, seperti Finlandia dan Singapura, misalnya, jarang sekali melakukan perubahan drastis pada kurikulum mereka.

Seringnya pergantian kurikulum justru menimbulkan kebingungan di lapangan. Para guru harus terus beradaptasi dengan sistem baru sebelum mereka benar-benar menguasai yang lama.

Siswa pun menjadi ”kelinci percobaan” dari berbagai eksperimen pendidikan. Sayangnya, karena dampaknya tidak langsung terlihat, masyarakat cenderung tidak mempermasalahkan hal krusial ini.

Urgensi mengubah perspektif

Bagi penulis, sekaranglah saatnya kita mengubah cara pandang kita terhadap krisis pendidikan. Jika kerusakan lingkungan dianggap sebagai bencana yang memerlukan tindakan cepat, kerusakan dalam pendidikan seharusnya dipandang dengan urgensi yang sama.

Generasi yang tidak mendapatkan pendidikan yang baik akan menciptakan masalah yang jauh lebih rumit di masa depan: korupsi, kemiskinan, konflik sosial, dan bahkan kerusakan lingkungan yang lebih parah akibat kurangnya kesadaran.

Masyarakat perlu menyadari bahwa investasi dalam pendidikan itu sama pentingnya dengan menjaga lingkungan. Keduanya adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa.

Diperlukan gerakan sosial dalam skala besar untuk menuntut perbaikan kualitas pendidikan, konsistensi dalam kebijakan pendidikan, dan akuntabilitas dari semua pihak yang terlibat dalam sistem pendidikan.

Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat menjadi negara yang tidak hanya memiliki alam yang lestari, tetapi juga sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budianto Sutrisno