Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah “me time”, bukan? Digadang-gadang sebagai pelarian atau relaksasi duniawi, me time jadi sebuah budaya yang kini mendarah daging dan lekat dengan masyarakat.
Istilah ini sangat ramai digunakan oleh Gen Z. Dengan keadaan masa kini yang semakin sibuk, belum lagi tingginya tuntutan dari lingkungan sosial, tentu saja membuat siapa pun yang mengalaminya merasa tertekan.
Tekanan itulah yang nantinya akan memengaruhi kesehatan mental. Manusia mana sih yang ingin kesehatan mentalnya terganggu? Oleh karena itu, me time jadi salah satu sarana pelepas penat yang dapat menyesuaikan preferensi tiap orang.
Misalnya, si A lebih senang menghabiskan waktu luang setelah bekerja di rumah dengan menonton drama Korea, sedangkan si B lebih senang pergi berbelanja.
Akan tetapi, pernah tidak terlintas dalam pikiran kalau me time juga bisa menjadi konsumerisme terselubung? Waduh, kenapa bisa begitu, ya?
Budaya Self-Care yang Dipopulerkan oleh Industri dan Media
Dari namanya saja self-care memang merujuk pada perilaku merawat diri. Istilahnya sih “dari kita untuk kita”, yakni bahwa merawat diri dapat berpengaruh baik untuk kesehatan mental dan fisik.
Sayangnya, interpretasi self-care kini terlihat semakin melenceng dari arti sebenarnya. Mulanya berawal dari kegiatan ramah lingkungan dan aman kantong pelajar. Sekarang self-care direpresentasikan atau identik dengan konsumsi produk atau penggunaan layanan tertentu.
Kegiatan self-care yang dipopulerkan oleh industri dan media berupa pembelian produk skincare, pergi ke spa, berbelanja, terapi, staycation, dan masih banyak lagi.
Memang tidak semua industri, media, ataupun masyarakat menyetujui. Namun, transisi pemaknaan arti self-care yang terjadi secara halus ini juga menjadi bukti bahwa industri dan media punya tujuannya sendiri.
Self-Reward yang Dikapitalisasi
Sebelumnya sudah disinggung nih bahwa industri dan media punya tujuannya sendiri atas peralihan makna self-care yang terjadi secara halus. Maksudnya bagaimana, ya?
“Self-reward”, “Kamu Layak Memanjakan Diri”, atau narasi serupa lainnya memang punya nilai positif yang mengingatkan kita untuk beristirahat sejenak, sisakan waktu tenang di akhir pekan untuk merawat diri, dan tidak selalu memaksakan produktivitas. Narasi-narasi serupa itu seolah jadi pengingat kalau satu hari tenang tanpa aktivitas produktif bukan hal kriminal kok.
Akan tetapi, sadar atau tidak, narasi tersebut juga sering kali dijadikan strategi marketing oleh industri dan media. Self-reward seakan jadi target empuk untuk mereka masuk dan menawarkan beragam produk atau layanan yang dikemas sebagai self-care.
Perhatikanlah iklan-iklan yang sering kamu temui di jalan atau media sosial. Kebanyakan copywriting-nya bermain pada ranah emosional. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual pengalaman, perasaan nyaman, sekaligus perasaan berhak mendapatkan sesuatu yang istimewa.
Mulanya sebagai kebutuhan, lama-kelamaan dipoles jadi bentuk penghargaan diri. Dari sinilah muncul standar sosial yang terbentuk secara kultural bahwa merawat diri harus diiringi konsumsi dan transaksi suatu produk atau layanan tertentu.
Tidak sampai di situ saja, muncul pula justifikasi atas perasaan bersalah karena mengeluarkan banyak uang dalam satu waktu. “Tidak apa-apa, namanya juga self-reward.” Hanya satu kalimat, tetapi efeknya bisa jadi berkepanjangan.
Pada akhirnya, me time berupa self-care ataupun self-reward memang hak dan preferensi setiap orang. Me time bukanlah sebuah hal yang fatal, tentu saja tidak. Sebagai makhluk perasa, kita perlu waktu tenang untuk menata kembali pikiran dan mengapresiasi diri yang sudah bekerja keras.
Akan tetapi, ada baiknya juga kita bertanya kembali, apakah me time yang dilakukan itu benar-benar untuk diri kita sendiri? Atau justru memenuhi ekspektasi yang didikte oleh media dan industri?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Teka-Teki Terakhir: Novel Indonesia Rasa Terjemahan yang Penuh Kehangatan
-
Novel Peniru dan Pembunuhan Tanpa Jasad: Uji Moral dan Permainan Psikologis
-
Review Novel Pasta Kacang Merah: Terkait Luka Panjang Penyintas Lepra
-
Ulasan Novel CADL: Lipogram tanpa Huruf E dengan Keunikannya
-
Review Buku Cermin Dua Arah, Sebuah Fiksi Mini yang Bermakna Ganda
Artikel Terkait
-
Tren Self-Care Masa Kini: Hadirkan Ketenangan Lewat Tanaman di Rumah dan Kantor
-
Mengubah Ritual Membersihkan Alat Makeup Jadi Momen Self-Care yang Menyenangkan
-
4 Rekomendasi Kafe buat Me Time di Jogja, Bisa Healing Tenang Saat Akhir Pekan
-
Lagi Banyak PHK, Tapi Orang Masih Doyan Belanja buat Self-Care
-
Energi Sosial Habis, 8 Alasan Orang Butuh Me Time Seharian Setelah Bersosialisasi
Kolom
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Tragedi Sunyi Pendidikan Indonesia: Saat Nikel Lebih Viral dari Siswa SMP Tak Bisa Baca
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
-
Gunakan Aplikasi Pengawas saat Ujian Daring, Yakin Siswa 100% Jujur?
Terkini
-
7 Rekomendasi Film Romantis Korea yang Bikin Baper dan Terharu
-
Harus Jalani Kualifikasi Piala Asia untuk Edisi 2027, Malaysia Benar-Benar Tak Beruntung!
-
Gigit Jari! Indonesia Open 2025 Buktikan Bulutangkis Indonesia Merosot Tajam?
-
Ulasan Novel The Manor of Dreams: Perseteruan Keluarga Demi Sebuah Warisan
-
Balap Liar Bukan Tren Keren: Psikologi UNJA Ajak Siswa Buka Mata dan Hati