Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | YESRUN EKA SETYOBUDI
Ilustrasi makan bergizi gratis (Freepik.com/freepik)

Sejak awal, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah inisiatif yang menyentuh inti permasalahan bangsa. Bayangkan, anak-anak kita tunas-tunas masa depan sering kali harus belajar dengan perut keroncongan.

Data dari Kementerian Kesehatan dan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menunjukkan bahwa 41 % siswa di Indonesia mengalami kelaparan saat belajar.

Sebuah fakta yang tak hanya menyayat hati, tetapi juga menghambat konsentrasi dan prestasi akademik mereka. Inilah mengapa program ini hadir, dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan tujuan mulia: mengatasi masalah gizi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, khususnya anak-anak dan ibu hamil.

Program ini mulanya dikenal sebagai "program makan siang gratis", namun kemudian diperluas menjadi pemberian makanan bergizi gratis dua kali sehari, yakni pagi dan siang hari. Sasarannya pun meluas tidak hanya pelajar tetapi juga balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Perluasan cakupan dan frekuensi ini mencerminkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap masalah gizi. Namun, ambisi besar ini jika tidak diimbangi dengan perencanaan teknis dan logistik yang matang, berpotensi mengencerkan fokus dan efektivitas program.

Jika cakupan awal saja sudah menuai kritik serius terkait anggaran transparansi dan implementasi, maka peningkatan skala ini secara logis akan memperbesar tantangan yang ada.

Di balik narasi megah tentang Indonesia Emas 2045 yang dimulai dari perut anak-anak realitas di lapangan pelan-pelan berubah bentuk dari harapan menjadi kelelahan. Ini menjadi titik awal pertanyaan mendalam: mengapa sebuah program dengan niat sebaik ini justru menuai begitu banyak kritik dan menghadapi tantangan fundamental?

Salah satu sorotan paling tajam adalah skala anggaran yang digelontorkan. Alokasi awal Rp71 triliun untuk tahun 2025 sudah fantastis. Lembaga Fitch Ratings bahkan memperkirakan biayanya bisa mencapai 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya, setara sekitar Rp450 triliun.

Angka ini bukan main-main, apalagi ketika Badan Gizi Nasional (BGN) sendiri sudah mengajukan tambahan Rp50 triliun karena anggaran Rp71 triliun diperkirakan hanya cukup hingga Oktober atau November 2025. Ini adalah cerminan beban fiskal luar biasa besar yang berpotensi mengganggu keseimbangan dan keberlanjutan fiskal negara.

Kekhawatiran semakin menjadi ketika melihat kritik dari FIAN Indonesia yang menyebut program ini cacat sejak awal dan berpotensi gagal. Salah satu alasan utamanya adalah proses perencanaan program ini tidak transparan, tanpa keterlibatan dan partisipasi aktif serta bermakna dari publik.

Desain dan perencanaan dilaporkan terjadi di dalam Istana, menciptakan kabut tebal di atas sebuah kebijakan yang seharusnya terang benderang. Ketiadaan transparansi ini bukan hanya masalah administratif, melainkan akar masalah yang menyebabkan ketidakjelasan skema, potensi korupsi, dan ketidaktepatan alokasi anggaran.

Jika publik tidak tahu bagaimana keputusan dibuat atau dana dialokasikan, mereka tidak bisa mengawasi. Kurangnya pengawasan ini secara langsung menciptakan celah bagi penyimpangan dan korupsi, bahkan berpotensi menjadi state capture corruption.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI)Faisal Basri, juga meragukan anggaran Rp15.000 per anak yang kemudian turun menjadi Rp10.000 per porsi setelah penetapan anggaran Rp71 triliun.

Beliau menyebut, “grand design-nya masih acak-acakan” dan “terkesan sentralistik untuk seluruh Indonesia”, padahal harga dan karakteristik pangan di setiap wilayah berbeda.

Jika anggaran dipukul rata untuk wilayah dengan biaya hidup dan ketersediaan pangan lokal yang beragam, efisiensi dan efektivitasnya akan diragukan. Ini cerminan ketidakmatangan perencanaan yang mengabaikan realitas geografis dan sosial ekonomi Indonesia yang beragam.

Beban anggaran yang sangat besar ini juga menimbulkan konsekuensi serius. Lembaga Moody's Investors Service mengingatkan bahwa, jika program ini tidak dikelola dengan baik bisa berdampak pada keseimbangan anggaran negara.

Bahkan, demi mendanai program ini pemerintah telah melakukan pemotongan anggaran di berbagai sektor termasuk pendidikan tinggi yang memicu aksi demonstrasi mahasiswa bertajuk #IndonesiaGelap.

Jika dana untuk pendidikan tinggi dikurangi, kualitas pendidikan dan riset di masa depan bisa terancam. Ini menunjukkan bahwa, meskipun MBG bertujuan mulia untuk SDM cara pendanaannya bisa jadi mengikis fondasi SDM di area lain, menciptakan efek bumerang yang tidak diinginkan.

Realitas di lapangan sering kali jauh dari janji-janji manis. Kritik terhadap rasa menu makanan yang "tidak enak" dan "hambar" menjadi sorotan, meskipun Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, bersikukuh bahwa "ahli gizi yang hitung" menunya.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah temuan langsung dari Komisi IX DPR RI, yang menyebut pernah menemukan ulat dalam menu MBG dan nasi yang keras. Ini bukan lagi soal preferensi rasa, tetapi soal standar kebersihan dan kualitas dasar yang sangat fatal.

Kejadian semacam ini tidak hanya berpotensi menimbulkan trauma bagi penerima manfaat, tetapi juga mengikis kepercayaan publik.

Masalah operasional juga menjadi sorotan tajam. Dapur-dapur umum, yang seharusnya menjadi tulang punggung distribusi makanan, di beberapa daerah malah tutup karena polemik tunggakan Rp1 miliar dan relawan yang bekerja tanpa bayaran.

Ini adalah bukti nyata kegagalan operasional yang mendasar, di mana rantai pasok dan dukungan bagi pelaksana di lapangan terputus.

Akibatnya, banyak makanan yang terbuang sia-sia, sementara anak-anak yang seharusnya mendapat manfaat dari program ini justru tidak mendapatkan apa-apa. Ini adalah ironi yang menyedihkan. Kekhawatiran akan ladang korupsi terbuka lebar dan potensi state capture corruption semakin diperkuat oleh masalah transparansi.

Program Makan Bergizi Gratis seharusnya lebih dari sekadar mengisi perut. Ia adalah kesempatan emas untuk membangun fondasi gizi dan pendidikan yang berkelanjutan. Namun, ditemukan adanya kritik yang kuat terkait kurangnya integrasi program MBG dengan kurikulum pendidikan.

FIAN Indonesia, misalnya, menyarankan agar pemerintah belajar dari pengalaman pahit Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) tahun 2010–2011, yang menunjukkan betapa pentingnya mengintegrasikan program pangan dengan kurikulum sekolah.

Ketiadaan integrasi ini menunjukkan bahwa desain kebijakan MBG masih bersifat transaksional sekadar memberi makan daripada transformasional membangun kapasitas, kemandirian, dan keberlanjutan.

Pentingnya pendekatan holistik yang tidak hanya memberi makan, tetapi juga mendidik tentang gizi dan pangan lokal sering kali terabaikan. Ada gagasan brilian untuk merancang program secara berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dalam proses produksi makanan, seperti urban farming, peternakan kecil, atau pelatihan keterampilan memasak.

Pendekatan ini tidak hanya akan mengurangi risiko ketergantungan pada bantuan pemerintah, tetapi juga secara nyata menstimulasi pertumbuhan ekonomi lokal dan menciptakan kemandirian pangan di tingkat komunitas.

Meskipun analisis ini telah menguraikan berbagai tantangan, Program Makan Bergizi Gratis tetap memiliki potensi besar untuk menjadi pilar penting bagi masa depan Indonesia. Kuncinya adalah merancang kebijakan yang adaptif dan berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

Pertama, perlu ada reformasi total dalam proses perencanaan. Transparansi mutlak diperlukan, dengan melibatkan partisipasi aktif dan bermakna publik termasuk akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Ini akan memastikan desain yang lebih responsif terhadap kebutuhan riil di lapangan, bukan hanya dari dalam Istana.

Kedua, skema pendanaan harus dievaluasi ulang secara cermat, dengan prioritas pada efisiensi dan akuntabilitas. Saran dari CISDI untuk menyusun prioritas target pada daerah 3T dan dengan beban stunting tertinggi adalah langkah krusial untuk memastikan anggaran tepat sasaran dan tidak terbuang sia-sia pada kelompok yang tidak membutuhkan.

Ketiga, mekanisme pengawasan harus diperketat secara independen. Pelibatan UMKM lokal dan penggunaan produk pangan lokal hingga 85% harus menjadi mandat yang kuat untuk menstimulasi ekonomi lokal dan meminimalisasi risiko korporasi besar yang hanya mencari keuntungan.

Keempat, kualitas makanan harus menjadi prioritas utama, bukan hanya hitungan ahli gizi di atas kertas. Survei menu favorit dan yang kurang disukai harus menjadi dasar penyesuaian yang berkelanjutan, dengan mempertimbangkan preferensi lokal dan palatabilitas anak. Makanan bergizi harus juga enak dan aman, tanpa ulat atau nasi keras.

Kelima, integrasi program dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi pilar utama. Mengembangkan kurikulum gizi yang berkelanjutan dan melibatkan masyarakat dalam proses produksi makanan akan mengubah program ini dari sekadar bantuan menjadi investasi jangka panjang dalam kapasitas dan kemandirian bangsa.

Program Makan Bergizi Gratis adalah sebuah inisiatif dengan niat yang sangat baik sebuah investasi pada generasi masa depan Indonesia. Namun, niat baik saja tidak cukup. Desain kebijakan yang lemah, kurangnya transparansi, beban fiskal yang masif, dan implementasi yang bermasalah telah menggerogoti potensi keberhasilan program ini.

Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis ini adalah cermin bagi setiap kebijakan publik: bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari besarnya anggaran atau luasnya cakupan tetapi dari seberapa adaptif transparan akuntabel dan partisipatif implementasinya.

Ini adalah panggilan untuk berani melakukan koreksi, mendengarkan suara dari lapangan baik dari ahli gizi, ekonom, masyarakat sipil, hingga keluhan sederhana dari seorang siswa dan melibatkan semua pihak dalam merancang solusi.

Analisis ini menyimpulkan bahwa integritas kebijakan publik adalah kunci keberhasilan. Niat baik tanpa tata kelola yang kuat akan selalu berujung pada kekecewaan. Mari kita jaga asa untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui generasi yang sehat dan cerdas.

Namun, mari kita perbaiki cara kita melangkah. Ini adalah panggilan untuk perbaikan yang mendesak, bukan penghentian. Karena masa depan bangsa ini sesungguhnya, dimulai dari piring-piring makanan bergizi yang benar-benar sampai dan termakan oleh anak-anak kita.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

YESRUN EKA SETYOBUDI