Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Budi
Ilustrasi yang sedang Wisuda. (Pixabay)

Bisa menjadi mahasiswa tentu suatu kebanggaan yang perlu untuk disyukuri. Bagaimana tidak, dari sekian juta banyaknya penduduk Indonesia, tetapi tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang bisa menyandang status sebagai seorang mahasiswa.

Berdasarkan data Kemenristekdikti ada sekitar 4.500 jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia entah swasta maupum negeri, tetapi hanya sekitar 7.500.000 siswa yang bisa mendaftar di kampus sebagai mahasiswa.

Artinya dalam satu Perguruan Tinggi saja jumlah rata-tata mahasiswa baru yang mendaftar setiap tahunnya hanya berkisar 1.666 saja, itu menandakan bahwa partisipasi untuk berkuliah oleh masyarakat kita masih tergolong rendah/minim.

Maka marilah bersyukur atas nikmat menjadi mahasiswa karena Tuhan telah menitipkannnya. Mungkin saja diluar sana, saudara-saudara kita sangat ingin untuk berkuliah, namun banyaknya kendala sehingga kenginan tersebut tidak mereka dapatkan.

Sedangkan kita yang sudah menyandang status sebagai mahasiswa kadangkala menodai kemahasiswaan tersebut dengan tidak mampu bertanggungjawab berdasarkan pada fungsi yang diembangnya.

Selama kurang lebih empat tahun berkuliah, selama itu pula perjuangan dan harapan dari orang-orang terdekat akan terus mengalir seperti halnya anggota keluarga. Termasuk orangtua yang sebagian besar mengharapkan kepada anaknya yang mahasiswa agar bisa cepat selesai, lalu setelah itu segera mendapatkan pekerjaan, seperti bekerja di kantoran atau pun di perusahaan. Atau dalam bahasa kasarnya tidak menanggung lagi nasib yang sama dari orangtua.

Namun, kadang kala timbul anggapan aneh dari orang-orang bahwa mahasiswa yang selesai kuliah otomatis akan mendapatkan pekerjaan yang bisa diandalkan. Ketika pekerjaan tersebut bisa jauh lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan orangtuanya, dalam tanda kutip ada level peningkatan. Hal seperti ini terjadi sebagian besar pada masyarakat yang golongan bawah. Woi, emangnya kuliah tujuannya hanya kerja nantinya?

Saya sih masih kurang sepakat kalau tujuan kuliah semata-mata untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Walaupun saya sadari juga pasti kita semua sangat membutuhkan pekerjaan, karena manusia pasti kok butuh yang namanya makan.

Tetapi, terkesan keliru kalau berkuliah justru tidak dinikmati prosesnya hanya gara-gara fokus pada pekerjaan saja. Saya pikir persoalan pekerjaan itu bisa menjadi urasan belakang, intinya usaha dulu dengan cara belajar keras maka pekerjaan juga akan datang menghampiri.

Kejadian yang sering juga terjadi setelah selesai wisuda maka selanjutnya akan bekerja. Bisa mendapatkan pekerjaan yang bisa diandalkan seperti bekerja di kantoran. Beda halnya mahasiswa yang sudah wisuda dan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan pekerjaan orangtuanya yang sudah berjalan lama itu, justru sering dilabeli kuliahnya hanya sia-sia saja.

Mengapa? kok yang sudah sarjana masih melanjutkan pekerjaan orangtuanya, apa bedanya orangtuanya yang tidak kuliah dengan anaknya yang sarjana? kan tidak ada perubahan.

Makanya saya tidak heran-heran saja jika timbul ocehan dari tetangga, "sudah kuliah kok ujung-ujungnya jadi petani lagi, kok kerjaan orang tuanya yang terus dilanjutkan, jadi anak kantoran kek. Seandainya dari dulu kerja begitu bersama orangtua dan tidak usah kuliah, pasti sudah lama berhasil." Nah, anggapan seperti itu memang menggelitik telinga orang-orang yang sudah wisudah.

Bayangkan orang seperti itu yang sudah jelas bekerja tetapi masih dicap tidak sebanding dengan pekerjaan dan kuliahnya. Apalagi mahasiswa yang sudah wisudah namun belum bisa mendapatkan pekerjaan, atau dalam istilah populernya yang trend didengar adalah mahasiswa sarjana pengangguran.

Hal seperti itu masih banyak terjadi dalam konteks masyarakat kita. Realitas bahwa mahasiswa yang sudah sarjana justru menambah pengangguran baru. Tanpa berpikir mungkin saja rejeki belum waktunya atau pun bisa saja masih berada pada masa fase persiapan menjemput pekerjaan.

Tetapi kondisi berkata lain dimana orang-orang sering saja mengklaim bahwa percuma kuliah jika sudah lulus namun tidak langsung bekerja. Emangnya loe pikir tolak ukur kesuksesan seorang sarjana itu pekerjaannya saja?

Maksud saya seperti ini, mahasiswa yang sudah lulus kuliah bukan berarti perjuangannya itu sudah selesai. Tentu mereka juga akan bersusah payah bagaimana cara bisa bekerja, pasti mereka juga sudah tidak mau lagi membebani orangtuanya, sudah cukup rasanya mengongkosinya selama berkuliah yang kurang lebih empat tahun lamanya itu.

Bisa saja kan usaha/kerja keras yang dialami harus berjalan lama, sehingga kita melihat hanya pada sisi bahwa mereka tidak bekerja padahal dibalik itu ternyata berada pada fase penjemputan.

Sebenarnya yang perlu dihilangkan dalam benak pikiran kita kalau yang sudah lulus kuliah maka langsung bekerja terutama bekerja di kantoran. Emangnya semua lulusan mahasiswa itu kerjanya di kantor saja, tentu tidak kan.

Faktanya banyak juga sarjana yang bekerja di bidang pertanian, melanjutkan usaha orangtua dengan bekal ilmu yang sudah didapatkan pada bangku perkuliahan. Saya pikir itu kan lebih baik.

Jadi, stoplah menganggap kalau mahasiswa yang sudah selesai wisudah maka selanjutnya pasti akan bekerja terutama kerja di kantor. Anggapan seperti itu terasa konyol dan sangat mengganggu persepsi masyarakat. Lulusan sarjana bukan hanya bekerja di kantor saja, tetapi semua bidang bisa ia tempati, gitu lho.

Budi