Fenomena sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Terlebih lagi bagi masyarakat yang memiliki budaya kental dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat Aceh tidak terlepas dari rutinitas sosial. Ada berbagai kegiatan masyarakat yang menarik, bahkan menjadi fakta sosial. Keseharian dalam masyarakat akan memberi sebuah jawaban dari mengapa atau bagaimana. Bahkan menjadi peredam untuk menghentikan konflik yang seringkali terjadi.
Warung Kopi menjadi sebuah tempat di mana banyak dari kultur, agama, dan kelas masyarakat berkumpul. Aceh dengan fenomena kopi dan warungnya tidak pernah habis dengan karya masyarakat untuk memperkenalkan lebih luas tentang sesuatu yang ada di sana, baik dari kehidupan masyarakatnya, maupun dari segi yang lebih luas. Setiap waktu akan berbeda dari kehidupan sosial yang ada di warung kopi. Perbincangan akan berbeda dan kedamaian akan lebih terasa saat di sana.
Koenjaraningrat memaparkan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi sumber konflik. Salah satunya ketika masyarakat memaksakan agama dan budaya dalam kehidupannya. Kemudian St. Sunardi menjelaskan tentang kekerasan dan menggolongkan dalam tiga tipe. Pertama, kekerasan intern agama yakni merupakan kekerasan dalam agama tertentu. Bisa dikatakan sebagai konflik internal, di mana banyak perbedaan pendapat dan golongan dalam agama yang menimbulkan perpecahan. Kedua, agama dijadikan sebagai penghukum yang dirasakan. Dalam agama tertentu masyarakat telah melanggar ketentuannya. Ketiga, ketika agama mayoritas dalam masyarakat merasa terancam saat agama atau penganut agama lain masuk.
Nah, bagaimana hubungannya dengan warung kopi terkai teori yang dikemukakan oleh kedua intelektual di atas? Terkait hal itu, warung kopi menjadi ikon unik pada masyarakat sosial di Aceh. Sebab masyarakat Aceh punya ikatan dengan warung kopi. Dampaknya warung kopi tersebar di Aceh. Perbincangan yang terdapat di warung kopi bisa berbagai macam topik. Islam adalah mayoritas penganutnya di masyarakat Aceh, pakaian dan pembahasan menjadi cerminan di warung kopi. Selaras dengan berbagai macam usia dan pekerjaan, tidak terlepas soal agama yang ada di warung kopi.
Aceh yang dikenal dengan penerapan syariat Islam, tanpa sadar memaksakan kehendak bagi mereka yang bertentetang dengan norma yang berlaku pada masyarakat Aceh. Terutama bagi pendatang dari luar daerah Aceh, biasanya harus mengikuti budaya dan cara beragama masyarakat setempat, seperti perempuan yang harus memakai jilbab. Namun, tidak semua perempuan melakukannya, sehingga terkadang mejadi bahan cibiran masyarakat. Begitupula dengan perkumpulan anak muda, yang biasanya bercampur oleh lelaki dan perempuan. Jika dilakukan di kampung atau suatu desa, akan menjadi masalah bagi mereka.
Masyarakat kota, tidak terlepas dari hal tersebut, bahkan terkadang lebih parah soal perempuan. Namun uniknya, warung kopi di Aceh, terutama yang berada di kota-kota besar seperti Banda Aceh, menciptakan toleransi budaya dan agama.
Salah satu mahasiswa S3 UNAIR, Imam Zahrawi mengatakan “Syariat islam di Aceh berada diluar warung kopi, Wanita Wanita bebas berekspresi dengan teman lelaki, orang non muslim terutama mahasiswa tidak tertekan tanpa hijabnya di warung kopi”. Di samping itu, warung kopi menyajikan toleransi, seperti jemaah subuh yang berbeda masjid, dan duduk di satu warung yang sama. Pasalnya latar belakang konflik intern agama islam, sudah menjadi keseharian masyarakatnya, maka warung kopi menjadi tempat berkumpul mereka, tanpa harus membuat ‘masjid toleransi’.
Konflik internal agama dalam masyarakat Aceh sudah mengakar ke dalam kehidupan sosial. Bahkan tempat ibadah yang sudah dicap dalam masyarakat sebagai istilah ‘sesat’, akan dihindari, menginjakan kaki saja tidak mau. Ajaran tersebut bukan bergerak dibelakang layar, namun secara jelas diajarkan di setiap tempat masyarakat. Perbedaan pendapat menimbulkan perpecahan, yang bahkan menimbulkan konflik besar. Seperti beberapa bulan yang lalu, konflik organisasi islam di Aceh yang terjadi di Aceh Barat Daya. Dalam skala nasionalnya, bahkan ada konflik yang memang anti pada salah satu organisasi di Indonesia, dan pernah terjadi pembakaran masjid yang didirikan organisasi tersebut oleh masyarakat Aceh di Bireun.
Ruang publik yang tidak terjamah oleh konflik agama bisa dikatakan adalah warung kopi. Demikianlah citra warung kopi bukan tempat untuk sibuk mengurusi hidup orang lain. Untuk sekarang istilah warung kopi bisa berganti dengan istilah kafe, yang hampir sama menyerupai restoran. Namun, di Aceh, jika duduk di tempat yang terdapat kopi, tetap disebut sebagai warung kopi. Memang ada tempat lain seperti pantai, yang dianggap sebagai ruang publik yang bebas berekspresi. Namun bedanya dengan warkop, pantai dibuka pada waktu yang sudah ditetapkan, sedangkan warkop umumnya hingga 24 jam.
Maka dari itu, warung kopi menjadi cerminan masyarakat Aceh yang pecinta kopi dan penghasil kopi terbaik. Selain itu, warung kopi juga mampu menjadi tempat terciptanya toleransi budaya dan agama.
Bisa kita lihat secara langsung, bagaimana warung kopi bukan hanya sekedar tempat untuk duduk dan menikmari kopi saja. Banyak kegitan seperti diskusi dan menjadi tempat berkumpulnya orang orang di sana.
Ruang publik dengan keharmonisan yang seperti ini yang harus dijaga, meskipun tidak semua warung kopi bisa bertoleransi terhadap agama dan budaya, seperti warung kopi yang ada di desa. Setidaknya warung kopi yang berada di kota dan di daerah yang maju, bisa mengedapankan toleransi budaya dan agama.
Artikel Terkait
-
Menag Nasaruddin Umar Bertolak ke Arab Saudi Bahas Operasional Haji 1446 H
-
Hidden Game, Pesona Cafe Bernuansa Minimalis di Kota Jambi
-
Gelar Demo di Depan DPD PKS, Ikatan Santri Jakarta Minta Suswono Ditangkap Buntut Dugaan Penistaan Agama
-
Menhub Proyeksikan 110,67 Juta Orang Wara Wiri Selama Libur Nataru
-
KPK Sebut Pimpinan Baru Punya PR Tunggakan Perkara hingga Terobosan Hukum
Kolom
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Terkini
-
Davide Tardozzi Ternyata Pengagum Berat Marc Marquez: Dia Pembalap Hebat
-
Ulasan Buku Patah Paling Ikhlas, Kumpulan Quotes Menenangkan Saat Galau
-
Akui Man City Sedang Rapuh, Pep Guardiola Optimis Pertahankan Gelar Juara?
-
Laris Banget! Lagu 'Tak Segampang Itu' Tembus 500 Juta Streams di Spotify
-
Motor M1 Masih Bermasalah, Yamaha Minta Maaf ke Alex Rins