Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad
Ilustrasi Keberagamaan (pexels/Pok Rie)

Judul tulisan ini terinspirasi dari pembicaraan dalam podcast Deddy Corbuzier dengan bintang tamu Gus Najih. Dalam episode tersebut, Gus Najih mengungkapkan bahwa saat ini, kita tengah mengalami fenomena pasar bebas ustaz.

Berbeda dengan status lainnya, status ustaz memang sangat gampang untuk diklaim. Sebagai contoh, bila ada orang yang mengaku dirinya polisi tapi ternyata bukan, kemungkinan besar ia akan ditangkap. Lain ceritanya bila dia mengaku dirinya ustaz. Dia tidak akan ditangkap, malah sangat mungkin dia akan mendapat umat.

Begitulah realita yang terjadi saat ini. Tak sedikit orang yang dengan tanpa pikir panjang langsung membaiat dirinya sebagai ustaz. Ada yang hari ini baru saja hijrah, besoknya tiba-tiba ngisi pengajian.

Ada yang menulis di bio media sosialnya bahwa dirinya ustaz, tapi bekalnya ternyata Google, bukan literatur (kitab) keislaman. Mengerikan sekali sebenarnya realita ini. Orang bisa dengan mudahnya menggaungkan ceramah keagamaan hanya dengan mengandalkan kemampuan public speaking.

Bila kita tak pandai-pandai memilih guru atau ustaz, yang ada bukan kebenaran yang kita dapat.Bisa-bisa kita malah dapat sesat. Ya gimana lho, para ustaz dadakan, para ustaz yang tak jelas latar belakangnya ini sering berfatwa hanya berdasar terkaan semata.

Mereka tidak bicara dengan ilmu. Inilah yang justru menanamkan ke-mudharat-an di tengah masyarakat. Mereka yang tak tahu apa-apa seringkali menjadi korban dari hal termaktub. Miris sekali.

Saya sendiri pun bisa mengumumkan bahwa diri saya ini adalah ustaz. Bekalnya sederhana, hanya sedikit kemampuan berbahasa Arab, saya bisa mengajak orang untuk percaya dengan ajaran saya. Sangat bebas kan?

Namun, tentu hal tersebut tak bisa dibenarkan. Bagaimana pun, status ustaz itu tidak bisa berasal dari klaim diri sendiri. Status ustaz itu didasarkan pada penilaian masyarakat terhadap kapasitas pribadi kita.

Tentunya juga harus didukung dengan latar belakang pendidikan keagamaan yang memadai. Nggak mungkin kan masyarakat menyematkan status ustaz pada orang yang tak pernah mengenyam pendidikan agama?

Lantas, bagaimana mengatasi problematika pasar bebas ustaz ini? Jawabannya sederhana, kaum moderat tak boleh tinggal diam. Begini, fenomena pasar bebas ustaz ini berbanding lurus dengan fenomena terorisme atas nama keagamaan. Maksudnya gimana?

Para teroris seringkali merupakan korban dari ajaran guru atau ustaz yang salah. Mereka belajar agama pada orang-orang yang justru bukan menuntun mereka, melainkan menjerumuskan mereka. Akibatnya, mereka melakukan perbuatan atas nama Islam. Namun, sebenarnya yang terjadi adalah mereka justru memperburuk citra Islam.

Oleh sebab itulah, kaum moderat harus menyuarakan pemikirannya. Bila kaum moderat hanya diam saja, maka korban ajaran ustaz ekstremis ini akan semakin menjamur.

Guna tetap menjaga citra baik Islam, kaum moderat harus lantang bersuara. Pastinya dilakukan dengan cara yang santun lah ya. Nggak boleh pakai kekerasan atau cara yang merugikan. Analoginya sederhana, bila api di lawan dengan api, maka ia akan jadi semakin membara. Jadi, api harus dilawan dengan air supaya ia padam.

Persis seperti analogi di atas. Bila kaum ekstremis menampilkan Islam dengan wajah yang mengerikan dan menakutkan, maka kita harus menunjukkan bahwa Islam seluruhnya adalah keindahan dan kedamaian.

Bahkan, seandainya mau ditelisik dari segi bahasa, Islam sendiri memiliki akar kata “aslama” yang berarti menyelamatkan. Kata ‘menyelamatkan’ membutuhkan objek, menimbulkan pertanyaan “Siapa yang diselamatkan?”. Jawabannya adalah penghuni seluruh alam.

Hal tersebut selaras dengan tujuan diutusnya Nabi saw yakni untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ingat, Nabi Muhammad SAW itu bukan pribadi pembunuh. Beliau adalah pribadi penyantun dan penyayang.

Sebagai umatnya, semestinya kita meneladani karakter beliau. Bukan malah melakukan yang sebaliknya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim bahkan beliau mengaku sendiri, bahwa beliau diutus bukan untuk menjadi pelaknat, melainkan menjadi rahmat. Jadi, sampai sini sudah jelas kan?

Mohammad