"Merdeka hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!" - Bung Karno.
Ucapan Bung Karno di atas memang perlu direnungkan. Kita memang sudah merdeka secara De Facto dan De Jure pada tanggal 17 Agustus 1945, saat Presiden pertama Republik Indonesia membacakan naskah proklamasi kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta Pusat.
Sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, saat itu juga Jepang telah menyerah kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Deretan pejuang-pejuang Indonesia pun sebenarnya sedang menyiapkan berbagai strategi untuk merdeka. Sebab Jepang sebelumnya sudah berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tak tentu kapan waktunya.
Menengok lagi ke belakang, dibentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai forum untuk menyusun bagaimana pemerintahan negara Indonesia nanti. Dibahas akan dibentuk negara seperti apa, dan sistem pemerintahan apa, yang cocok digunakan oleh Indonesia setelah merdeka dari penjajah.
Dalam sidang BPUPKI tersebut, dibahas soal dasar negara yang kemudian bernama Pancasila. Kekinian, tanggal sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, yang merumuskan dasar negara, dijadikan acuan sebagai hari lahir Pancasila. Namun, perlu kiranya kembali sedikit melirik mengenai fenomena dan dinamika yang terjadi saat sidang BPUPKI itu.
Tentu kita tahu beberapa tokoh-tokoh penting ikut dalam sidang BPUPKI. Ada deretan nama-nama yang muncul untuk berpidato dan menyampaikan gagasan mengenai dasar negara yang nantinya digunakan oleh Indonesia.
Tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin menyampaikan usulannya mengenai dasar negara Indonesia. Namun pidato Muhammad Yamin menimbulkan sedikit ketidaksepakatan dari para peserta sidang, hingga akhirnya pelaksanaannya pun ditunda. Hal yang sama juga dialami oleh Soepomo saat gilirannya berpidato. Soepomo tidak mampu memberikan jawaban yang pas atas pertanyaan dari ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat. Dan lagi-lagi sidang kembali ditunda.
Sampai pada 1 Juni 1945, barulah giliran Bung Karno berpidato. Bukannya terlalu mengagungkan Bung Karno, memang nyatanya beliau berhasil memikat hati para peserta sidang dan juga ketua sidang Radjiman Wedyodiningrat. Dengan gaya kharismatik, beliau pun berpidato secara runut dan membuat para peserta sidang terpuaskan.
Selain itu, pidato Bung Karno memang pas untuk menjawab pertanyaan dari ketua sidang. Nah, ada dua pertanyaan besar dari ketua Radjiman Wedyodiningrat, yakni kenapa Indonesia harus merdeka dan apa dasar Indonesia Merdeka?
Bung Karno menjelaskan bahwa negara Indonesia sudah lama dijajah bangsa asing, dan kini sudah saatnya lepas dari penjajahan tersebut.
Waktu itu masih banyak rakyat Indonesia yang belum tahu membaca, masih di atas jurang kemiskinan, dan dipenuhi problem-problem lainnya, tetapi Ir Soekarno ngotot memerdekakan Indonesia terlebih dulu.
Bung Karno menjelaskan, Indonesia harus merdeka terlebih dahulu atas penjajahan bangsa lain. Setelah lepas dari penjajahan tersebut, barulah Indonesia memerdekakan rakyatnya. Karena bagi Bung Karno, tidaklah dapat mencerdaskan rakyat Indonesia kalau bangsanya sendiri belum merdeka.
Artinya Bung Karno menanamkan rasa percaya diri untuk membangun bangsa Indonesia. Bahkan Bung Karno mengambil sampel seperti Saudi Arabia, Tiongkok, Mesir yang sebenarnya belum siap merdeka, tetapi berhasil memerdekakan bangsanya terlebih dahulu.
Kemudian pertanyaan kedua dari ketua sidang, Bung Karno pun mampu menyodorkan Pancasila sebagai dasar negara "philosofische grondslag". Usulan itu diterima semua pihak. Melalui keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, hari lahir Pancasila ditetapkan, yakni tanggal 1 Juni 1945.
Pada pidato 1 Juni, Bung Karno mengatakan kalau kemerdekaan hanyalah 'jembatan emas'. Di sebarang jembatan itulah Indonesia akan menyusun kemerdekaan yang sesungguhnya. Menuju pada dunia yang sama rasa sama rata, dan dunia sama ratap sama tangis.
Nah, bercermin pada kondisi sekarang, justru penerapan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 belumlah terkristalisasi dengan baik. Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara, namun prakteknya masih banyak yang keluar dari koridor etis. Tentu tidak asing problem seperti kemiskinan, pendidikan, keadilan dan kesejahteraan, belumlah dirasakan sepenuhnya oleh warga negara Indonesia sampai sekarang ini.
Dengan demikian, menjadi tanggungjawab generasi saat ini, untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa, mampu membawa Indonesia untuk merdeka secara utuh dan sempurna. Karena para pendahulu telah mengantarkan kita ke seberang jembatan emas, untuk melanjutkan cita-cita bangsa ini.
Jadi, tergantung dari sikap generasi sekarang. Apakah generasi mau melanjutkan cita-cita saat berada di atas jembatan emas? Ya, kalau bukan generasi saat ini lalu siapa lagi. Generasi mesti berjuang walaupun dalam bayang-bayang bahaya di atas jembatan emas itu. Namanya juga jembatan ya tentulah ada bahayanya.
Tag
Baca Juga
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
Artikel Terkait
Kolom
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Indomie Double Plus Nasi Adalah Cara Saya Menyiasati Kemiskinan
-
Kecemasan Kolektif Perempuan dan Beban Keamanan yang Tak Diakui
-
Dari Pesisir Malang Selatan, Cerita tentang Penyu dan Kesadaran
Terkini
-
Review Film Wicked: For Good, Penutup Epik yang Bikin Hati Meleleh
-
Komunitas Aksaraya Semesta Bangkitkan Cinta Buku Fisik di Kalangan Gen Z
-
Stereotip Mekanik Kotor: Masih Relevankah di Era Modern?
-
Bukan Sekadar Musibah, Ini Alasan Ustadz Felix Sebut Perusak Hutan Pelaku 'Dosa Besar'
-
Teknologi Augmented Reality dalam Meningkatkan Pengalaman Belajar