Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Eshanova
Ilustrasi diri sebagai pahlawan (Miguel Bruna/ Unsplash.com)

Apa yang kalian pikirkan pertama kali ketika mendengar kata pahlawan? Mayoritas pasti akan menjawab pahlawan adalah seseorang yang berhasil mengusir penjajah, seseorang yang berjasa bagi negara dan seseorang yang suka membantu orang lain.

Sederhananya pahlawan adalah orang yang diidentikkan dengan melakukan perbuatan baik. Sekecil apapun perbuatan baik yang kamu lakukan pasti dapat memberikan dampak yang besar bagi orang lain. Contohnya, saat ujian berlangsung ada temanmu yang tidak membawa pensil untuk mengerjakan ujiannya. Beruntungnya, saat itu kamu membawa dua pensil. Lalu, kamu meminjamkan salah satu pensilmu kepada temanmu sehingga ia bisa mengerjakan ujian.

Lantas apa yang terjadi apabila kamu tidak meminjamkannya? Kemungkinan terburuk ia tidak dapat mengerjakan ujian dan tidak lulus. Membayangkan kemungkinan terburuk tersebut, tentu perbuatan kecilmu itu memberikan dampak yang besar bagi temanmu dan ia akan menyebut dan mengingatmu sebagai seorang pahlawan.

Namun pada masa kini seseorang dapat menjadi pahlawan dengan cara yang sederhana dan mudah, yaitu dengan menghargai diri sendiri. Bagaimana bisa saya disebut sebagai pahlawan? Memang apa yang saya lakukan? Pertanyaan seputar itu pasti muncul dalam benak kalian.

Sebenarnya setiap hari kita adalah pahlawan. Kuncinya adalah berbuat baik kepada diri sendiri. Seperti yang kita ketahui, di era ini masyarakat kian berlomba-lomba menyetarakan standar keberhasilan orang lain dengan standar keberhasilan diri sendiri. Hal seperti ini sebenarnya bagus karena menunjukkan bahwa kita ingin berkembang dan menjadi lebih baik kedepannya.

Sayangnya ada beberapa kasus ditemui mereka yang merasa tidak memiliki kemampuan dan merasa tidak dapat bersaing dengan yang lain akan menganggap dirinya selalu kurang dan tidak bisa apa-apa hingga berujung insecure. Insecure itu sendiri merupakan istilah yang menggambarkan perasaan cemas, takut, tidak percaya diri, dan merasa tidak mampu secara berlebihan.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri dalam lingkungan keluarga, tempat tinggal, dan pergaulan selalu ada tekanan yang dapat menghantui pikiran kita, misalnya tuntutan dari orang tua yang mengharuskan anaknya berprofesi dokter, omongan menyakitkan dari tetangga, bullying dan body shaming dari lingkungan pergaulan, dan lain sebagainya. Hal tersebutlah yang dapat menjadi pemicu seseorang mengalami overthinking,mental breakdown, bahkan self harm.

Coba bayangkan ketika seseorang melakukan self harm hingga dapat merenggut nyawanya. Tentu tidak hanya keluarga, dan teman yang ditinggalkan. Melainkan, ia juga meninggalkan cita-cita, masa depan, dan kebagiaannya.

Padahal, setiap perbuatan dan usaha yang telah kita lakukan patut diapresiasi. Bagus atau tidaknya hasil itu menjadi urusan terakhir, setidaknya sudah ada kemauan dalam diri untuk maju dan menjadi lebih baik. Selain itu, perihal tuntutan, omongan, dan perlakuan yang tidak mengenakkan jadikanlah sebagai motivasi kalian untuk menjadi lebih dari sekedar ekspektasi mereka.

Dengan kita menikmati setiap proses, menerima hasil akhirnya, dan mampu mengendalikan emosi untuk tidak melukai diri sendiri, maka kita sudah menjadi pahlawan karena kita mau berbuat baik kepada diri sendiri dengan menghargai apa yang telah kita miliki dan apa yang telah kita usahakan.

Eshanova