Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Eshanova
Ilustrasi isolasi atau karantina COVID-19 - (Pixabay/Alexey_Hulsov)

Semenjak kemunculan pertamanya pada tahun 2019 di Wuhan, China, kini penyebaran Covid-19 telah menjamah hampir di seluruh negara dan merenggut banyak korban. Namun, bertambahnya angka pasien positif Covid-19 ini juga disambut dengan kabar bertambahnya pasien yang dinyatakan sembuh. 

Tentu untuk mencetak hasil tersebut tidak hanya diperlukan usaha dari tenaga kesehatan saja, melainkan juga datang dari diri sendiri, yaitu mereka para pejuang negatif Covid-19.  

Auditya (20), mahasiswi, membagikan ceritanya sebagai pejuang negatif Covid-19 yang menjalani masa isoman (isolasi mandiri) selama 23 hari. Awalnya Dita, panggilan akrab Auditnya, tidak menyangka akan terpapar Covid-19.

Gejala umum yang dirasakan seperti flu saat itu ia anggap wajar karena cuaca yang sedang tidak mendukung dan debu bisa menjadi faktor penyebab flu. Namun selang beberapa hari, Dita mulai merasakan demam dan sakit di tenggorokannya.

Kakeknya yang saat itu juga tinggal bersamanya dan terkonfirmasi positif Covid-19, menjadi salah satu alasan Dita untuk mencoba melakukan swab test. Mengetahui hasil yang dinyatakan positif Covid-19, Dita tetap berusaha positive thinking dan melakukan isoman.

“Ya tetep positive thinking aja. Percaya kalau cuma sakit biasa. Bentar lagi juga pasti sembuh gitu,” ujarnya.

Sebagai pejuang negatif, selain berupaya untuk lekas sembuh, Dita juga berupaya untuk menjaga orang di sekitarnya agar tidak terpapar Covid-19. Seperti mencuci tangan dan kaki sehabis keluar rumah (untuk berjemur) dan memakai masker.

“Ya kalau habis keluar terus sampai rumah itu langsung ke kamar mandi buat cuci tangan, cuci kaki. Biar nggak bawa kuman buat orang rumah. Terus juga dengan nggak sering-sering keluar. Pakai masker jangan lupa kalau mau keluar dari rumah. Terus jaga kesehatan juga karena sebelum orang lain diri kita harus sehat dulu,” ujarnya.

Saat ditanya perihal motivasi terbesarnya untuk lekas sembuh, dengan semangat Dita menjawab dia hanya ingin keluar rumah mengendarai motor meskipun tidak tahu ke mana tujuannya.

“Motivasi terbesar adalah aku pingin keluar. Keluar dalam artian kayak naik motor jalan-jalan mbuh gak onok tujuane sing penting muter-muter. Terus ketemu temen-temen. Sumpah ya berhari-hari di kamar, di rumah itu stress banget, terus bosan".

Dita juga menambahkan, selama masa isoman ia sangat berterima kasih kepada handphonenya. Ia juga mengaku bahwasannya jika terlepas dari hp maka bisa melamun dan overthinking.

Kabar dari orang sekitarnya yang terpapar positif Covid-19 dan meninggal dunia mengakibatkan kekhawatiran berlebih yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, Dita memanfaatkan hiburan yang ada di ponsel untuk meningkatkan imun dan menjauhkan overthinking.

Kisah serupa juga dialami Inez Shabrina, seorang Ibu yang baru saja melahirkan putranya pada tanggal 9 Juli 2021. Selang selama seminggu, 15 Juli 2021, Inez mulai merasakan badannya menggigil tetapi suhu badannya panas mencapai 39,50 C. Selain itu, nyeri lambung yang dirasakan membuat nafsu makan kian berkurang.

Kondisi yang terus menurun, akhirnya keluarga menyarankan untuk melakukan PCR swab test. Mengetahui hasilnya, Inez mengaku sempat tidak menyangka jika dinyatakan positif Covid-19. Terlebih lagi seminggu sebelum dinyatakan positif, Inez baru saja melahirkan.

“Aku gak nyangka. Sesuatu yang kayak ‘hah ternyata aku kena Covid’. Pertama kali tahu hasilnya positif ya kaget. Terus itu kan juga habis lahiran. Padahal baru senang-senang gendong bayi tapi harus terpisah selama dua minggu lebih. Itu sih yang bikin nyesek,” ujarnya.

Sampai pada tanggal 21 Juli 2021, bertemu dengan salah satu dokter yang mendalami ilmu tentang probiotik. Melalui hasil wawancara Sabtu (21/8/2021), Inez juga menjelaskan dokter tersebut menyarankan untuk setop mengonsumsi antibiotik dan hanya mengonsumsi probiotik. Kemudian, menghirup uap air yang telah dimasak dan ditetesi minyak kayu putih.

Upaya lain yang dilakukan adalah latihan pernapasan dengan menarik napas dalam-dalam lalu ditahan sampai beberapa detik kemudian dikeluarkan. Berjemur, makan dan minum air putih yang banyak juga menjadi rutinitas yang tidak boleh terlewatkan.

Inez juga menambahkan kehadiran sang buah hati menjadi motivasi terbesarnya untuk lekas sembuh. Meskipun selama masa isoman bertempat di kamar yang berbeda, tetapi rutinitas video call dengan sang buah hati membuatnya semakin bersemangat untuk segera bertemu langsung dengan anaknya kembali.

Dari kedua cerita di atas tentunya dapat kita lihat bahwa perjuangan mereka sebagai pejuang negatif melalui berbagai upaya tidaklah mudah. Upaya tersebut mereka lakukan untuk diri sendiri, dan juga orang di sekitarnya.

Eshanova