Scroll untuk membaca artikel
Munirah | reza gunadha
Ilustrasi ujaran kebencian. (Suara.com)

Gelombang pasang demokratisasi yang melanda Indonesia sejak pendulum sejarah bergerak dari arah zaman otoritarianisme ke era reformasi, ternyata menyimpan banyak problematika dalam praksisnya. Salah satunya adalah, merebaknya ujaran kebencian yang bermuara pada aksi intoleransi.

Bak bara dalam sekam, ujaran kebencian sudah ada sejak era arkais, dan menjadi penyebab merebaknya perang-perang penaklukan atas nama superioritas agama maupun ras—yang sejak lama menjadi selaput bagi kepentingan penumpukan keuntungan ekonomi.

Dalam setiap zaman, ia mampu diredam, tapi tak pernah padam. Menunggu siapa saja yang mampu memantiknya kembali menjadi kobaran api kekisruhan, bahkan petaka.

Tapi, mengidentifikasi serta membuat resolusi guna mengatasi ujaran kebencian dan aksi intoleransi pada era demokratis seperti di Indonesia kekinian, merupakan persoalan pelik. Tak semudah ketika kasus serupa terjadi di negeri beriklim non-demokratis alias otoriterian.

Ketika hidup di bawah rezim otoriterian, ujaran kebencian dan aksi intoleransi sebagai muara tunggalnya relatif lebih mudah teridentifikasi.

Sebab, kedua hal tersebut biasanya dimanfaatkan penguasa otoriter sebagai mekanisme memutasikan konflik antagonistik antara pengkritik dengan rezim, ke arah perseteruan horizontal. Pendek kata, hanya ada satu aktor tunggal penyebaran kebencian: penguasa.

Sebaliknya, ketika hidup di era demokratis, isu ujaran kebencian dan aksi intoleransi terserak dan berada di luar lingkar kekuasaan pemerintah. Bahkan, ujaran kebencian digunakan untuk mendeligitimasi pemerintahan yang berkuasa.

Uniknya lagi, aksi intoleransi yang berdasarkan ujaran kebencian membuncah ketika nyaris berbagai spektrum politik kembali mementas di atas panggung, dan media-media massa tumbuh bak jamur di musim penghujan.

Secara prosedural, pembuatan banyak perangkat hukum diyakini mampu mengatasi persoalan tersebut. Namun, hukum yang secara praktis adalah konsekuensi politik, justru rentan dijadikan alat untuk menyuburkan ujaran kebencian itu sendiri.

Misalnya, ketika pemerintah menerapkan regulasi yang ekstra ketat mengenai ujaran kebencian atau suatu hal, maka hal tersebut justru dijadikan pembenaran oleh kaum intoleran bahwa mereka tengah terancam, sehingga merupakan pilihan logis bagi mereka untuk melawan.

Sebaliknya, ketika regulasi tersebut dibuat longgar, terdapat banyak celah bagi kaum intoleran untuk terhindar dari sanksi. Pun mereka mampu memaksimalkan hukum yang longgar itu untuk dijadikan pembenaran, bahwa pemerintah melakukan pembiaran kelompok lain untuk merendahkan keyakinan mereka.

Persoalan-persoalan tersebut muncul sebagai suatu konsekuensi logis, karena hukum secara hakikat adalah alat koersif, sehingga setiap kelompok yang kontra, dipastikan bakal mencari celah untuk ”mengakali” hukum.

Lantas, apakah ujaran kebencian yang melahirkan aksi intoleransi tersebut tak akan pernah berakhir, sehingga masyarakat terus berada dalam labirin kecemasan?

Hukum sebagai alat koersif tak bisa diterapkan secara efektif—artinya mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas—kalau tak didukung oleh perangkat persuasif.

Tentunya, ketika negara direpresentasikan sebagai lawan oleh kelompok penyebar ujaran kebencian dan aksi toleransi, maka peran persuasif tersebut bisa diemban oleh media-media massa.

Namun, tugas tersebut tak mudah dijalankan oleh media massa. Terdapat banyak persoalan yang merintanginya. Problematika internal media seperti terus merembesnya kekuatan modal dan politik di firewall atau ”dinding api” redaksi media, menjadi persoalan tersendiri yang belum terselesaikan.

Bahkan, Indonesia menyimpan sejarah kelam mengenai media massa saat muncul kerusuhan SARA di Ambon, pada awal abad milenium. Kala itu, sejumlah perusahaan media justru menerbitkan surat kabar yang yang ditujukan untuk membela masing-masing kubu bertikai—demi terus mendapat pelanggan dan pembaca di masa konflik.

Isi surat kabar kala itu sangat berbeda mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah bentrokan berdarah. Bukannya bersandar pada objektifitas, justru menyajikan berita mengenai peristiwa yang dianggap benar oleh salah satu kubu afiliasinya.

Alhasil, media massa yang seharusnya bisa berperan sebagai penengah melalui prinsip jurnalisme damai, justru ikut memanas-manasi perseteruan.

Tak hanya itu, Thomas Hanitzsch (Populist Disseminators... The Journalistic  Field and Autonomu in 18 Countries; 2011) yang pernah meneliti tipologi jurnalistik di Indonesia, menuturkan terdapat kecenderungan jurnalis Tanah Air sebagai ”fasilitator oportunis” yang justru menyuburkan ujaran kebencian dan aksi intoleran.

Jurnalis ”fasilitator oportunis” tersebut biasanya bermitra dengan kaum elite—yang paling tidak—menjadi kelompok paling mumpuni menggunakan isu ujaran kebencian untuk menyerang kelompok lawannya. Pendek kata, jurnalis ”fasilitasor oportunis” kian menjelma sebagai pewarta ”fasilitator kebencian”.

Belum selesai persoalan itu, kelompok-kelompok intoleran juga mampu menciptakan beragam media sendiri untuk menyokong gerakannya. Baik membuat media-media massa serupa media mainstream, dan juga mampu memaksimalkan media-media sosial yang tengah digandrungi masyarakat.

Anjing Penjaga pada Era Pascakebenaran

Pada tataran abstraksi, fenomena merebaknya ujaran kebencian yang menyebabkan aksi intoleran itu menunjukkan peradaban tengah menapaki era baru yang disebut “pascakebenaran” atau “post-truth”.

Bahkan, Kamus Oxford mendaulat diksi “pascakebenaran” atau “post-truth” sebagai Word of The Year tahun 2016.  Sebab, istilah itu begitu mencuat untuk merespons kampanye Donald Trump pada Pilpres AS dan referendum Brexit di Inggris, yakni di mana “fakta objektif  kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, ketimbang pengaruh emosi dan keyakinan pribadi.”

Dengan kata lain, era pascakebenaran bisa disebut sebagai “situasi ketika banyak orang tak lagi menganggap suatu fakta tak lagi relevan dalam membentuk suatu perilaku atau aksi yang mereka yakini sebagai keniscayaan.”

Kebangkitan aksi intoleransi dan merebaknya kekuatan politik populis sayap kanan di Indonesia maupun belahan dunia lain, setidaknya memostulatkan setiap kelompok atau orang memunyai kapasitas untuk memunyai kebenarannya masing-masing.

Tak ada kebenaran tunggal. Kebenaran berada pada lingkup pendulum relativitas. Artinya, siapa pun yang mampu menyajikan opini berargumenasi rigor atau kokoh, maka itulah yang dianggap benar. Inilah era “perang opini”.

Melalui pemahaman mengenai pascakebenaran inilah, maka masih banyak orang yang meyakini hoaks berisi ujaran kebencian sebagai suatu fakta objektif dan benar.

Terkait hal tersebut, bahkan Cherian George, seorang profesor Ilmu Jurnalisme di Hong Kong Baptist University, mengakui, hoaks-hoaks ujaran kebencian—terutama penghinaan terhadap agama—tidak dapat dimusnahkan. Namun, hal itu dapat dieliminasi dari arus utama politik.

Sebab, ketika ujaran kebencian telah berkelindan dengan politik, maka aksi intoleransi kerap dipakai untuk meraup keuntungan sepihak.

George lantas memberikan suatu formula untuk meyingkirkan ujaran kebencian dari pentas politik. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan kalau menerapkan pluralisme asertif yang menggabungkan mekanisme hukum, kepemimpinan politik, aktivisme kewargaan, dan kerja sama media.

Namun, solusi George itu terbilang masih bersifat prolegomena, yakni suatu pengantar umum untuk dibahas lebih detail sehingga mampu diimplementasikan sesuai dengan situasi objektif di Indonesia.

Terlebih mengenai bagaimana agar terdapat kerja sama yang baik dari beragamnya lanskap media massa di Indonesia, untuk mengeliminasi ujaran kebencian.

Setiap media, karena terdapat friksi-friksi internal akibat kuasa modal dan politik, tetap memunyai prinsip yang nyaris sama, yakni melawan ujaran kebencian. Sebab, isu seperti itu tetap tak disukai oleh para pengiklan maupun kredibelitas politik medianya.

Prinsip itu secara umum terimplementasi dalam tiga dasar kekuatan media, yakni kemampuan untuk terus memverifikasi kebenaran, akurasi, serta objektifitas.

Agar ketiga hal ini bisa dilakukan secara efektif, maka diperlukan aspek suplemen tapi sangat penting: independensi media massa. Media diharapkan kembali menjadi ”anjing penjaga” (watchdog journalism).

Suka tidak suka—setuju atau tidak—iklim negeri demokratis ikut memberikan kesempatan bagi media-media yang mengusung tujuan tertentu bahkan menyiarkan ujaran kebencian. Efek sentrifugal media pada era demokratis itulah yang sebenarnya harus mampu dieliminasi ketika media-media massa arus utama kembali menjadi ”anjing penjaga”.

Ketika media massa kembali menyalak sebagai ”anjing penjaga”, maka fokus utamanya adalah menyibak tabir penipuan ganda dari ujaran kebencian.

Penipuan lapis pertama yang harus dibongkar adalah, kebohongan atau hoaks yang selalu inheren dalam setiap propaganda kelompok penyiar ujaran kebencian.

Sementara penipuan lapis kedua yang menjadi target pembongkaran adalah, motif serta kepentingan tersembunyi—baik ekonomi maupun politik—yang duduk berdiam di balik layar.

reza gunadha