Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Hafizh Ramadhan
Kawasan Grasberg Mine milik PT. Freeport Indonesia (PTFI ) di Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Minggu (15/2).

Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia. Lokasinya terletak di dekat Puncak Jaya, Mimika, Papua. Selama lebih dari setengah abad, PT Freeport Indonesia melakukan penambangan terbuka disana.

Menyadur dari miningdataonline, tambang Grasberg menghasilkan lebih dari 1.200 ton emas. Jumlah ini kira-kira setara dengan berat 171 ekor gajah Afrika.

Penambangan terbuka di Grasberg berakhir pada 2019. Namun, Freeport masih melanjutkan penambangan bawah tanahnya. Ini memperpanjang kisah produksi emas dan tembaga terbesar di dunia sekaligus hikayat eksploitasi tanpa ujung di bumi Papua.

Grasberg ditemukan pada era kolonialisme. Menyadur dari miningglobal, pada 1930-an para penjelajah Belanda menemukan “ladang” tembaga di Jayawijaya. Baru pada 1973, Freeport mulai menambang di sana. Ini tidak bisa dilepaskan dari suksesnya serdadu Indonesia menguasai Papua pada 1996.

Pemerintahan Orde Baru saat itu ingin berinvestasi di sektor tambang. AS pun punya keuntungan karena membantu penggulingan pemerintahan Sukarno. Alhasil, rezim Orba mengizinkan investor AS dan blok Barat lainnya untuk masuk ke Papua.

Kenapa pemerintahan Soeharto mengizinkan Freeport mengeksploitasi Grasberg? Jawabannya, tentu saja karena uang.

Dalam kurun 1973-2005, Freeport memberi kontribusi ke keuangan negara 4,4 miliar dolar AS. Nilainya setara dengan Rp 629 triliun jika dikonversi menggunakan kurs saat ini. Keuntungan tersebut menyimpan dampak kerusakan alam yang luar biasa. Riset pada 2003 melaporkan bahwa sistem pembuangan limbah yang kacau mengancam kondisi lingkungan di kawasan tersebut.

Grasberg membuang 25 ribu ton limbah per hari ke aliran sungai dan membuang dua kali lipatnya ke lembah pegunungan. Limbah Freeport juga mencemari lebih dari 83 ribu hektare lepas pantai dan lebih dari 35 ribu hektare daratan. Baru pada 1994, Freeport membuat manajemen limbah dan program daur ulang. Namun, masalah tidak berhenti disini.

Kehidupan suku Amungme dan Komoro yang tinggal di sekitar tambang masih terancam. Suku Amungme dan Komoro yang tinggal di sekitar konsesi tambang, terus-menerus dirugikan, dipinggirkan, dan diabaikan. Selama beberapa generasi, tambang sudah menghilangkan kebudayaan mereka dan memecah suku-suku itu.

Soal ini, Freeport mengaku akan terus memberi kontribusi serta melibatkan masyarakat adat dalam operasionalnya. Pada akhir 2018, lobi pemerintah Jokowi berhasil meloloskan kepemilikan saham mayoritas Indonesia di Freeport.

Nyaris separuh abad Freeport berdiri, kini Indonesia punya 51 persen saham di sana. Namun, apakah itu setimpal dengan hilangnya habitat flora-fauna, serta kebudayaan masyarakat adat setempat?

Muhammad Hafizh Ramadhan