Grasberg adalah tambang emas terbesar di dunia. Lokasinya terletak di dekat Puncak Jaya, Mimika, Papua. Selama lebih dari setengah abad, PT Freeport Indonesia melakukan penambangan terbuka disana.
Menyadur dari miningdataonline, tambang Grasberg menghasilkan lebih dari 1.200 ton emas. Jumlah ini kira-kira setara dengan berat 171 ekor gajah Afrika.
Penambangan terbuka di Grasberg berakhir pada 2019. Namun, Freeport masih melanjutkan penambangan bawah tanahnya. Ini memperpanjang kisah produksi emas dan tembaga terbesar di dunia sekaligus hikayat eksploitasi tanpa ujung di bumi Papua.
Grasberg ditemukan pada era kolonialisme. Menyadur dari miningglobal, pada 1930-an para penjelajah Belanda menemukan “ladang” tembaga di Jayawijaya. Baru pada 1973, Freeport mulai menambang di sana. Ini tidak bisa dilepaskan dari suksesnya serdadu Indonesia menguasai Papua pada 1996.
Pemerintahan Orde Baru saat itu ingin berinvestasi di sektor tambang. AS pun punya keuntungan karena membantu penggulingan pemerintahan Sukarno. Alhasil, rezim Orba mengizinkan investor AS dan blok Barat lainnya untuk masuk ke Papua.
Kenapa pemerintahan Soeharto mengizinkan Freeport mengeksploitasi Grasberg? Jawabannya, tentu saja karena uang.
Dalam kurun 1973-2005, Freeport memberi kontribusi ke keuangan negara 4,4 miliar dolar AS. Nilainya setara dengan Rp 629 triliun jika dikonversi menggunakan kurs saat ini. Keuntungan tersebut menyimpan dampak kerusakan alam yang luar biasa. Riset pada 2003 melaporkan bahwa sistem pembuangan limbah yang kacau mengancam kondisi lingkungan di kawasan tersebut.
Grasberg membuang 25 ribu ton limbah per hari ke aliran sungai dan membuang dua kali lipatnya ke lembah pegunungan. Limbah Freeport juga mencemari lebih dari 83 ribu hektare lepas pantai dan lebih dari 35 ribu hektare daratan. Baru pada 1994, Freeport membuat manajemen limbah dan program daur ulang. Namun, masalah tidak berhenti disini.
Kehidupan suku Amungme dan Komoro yang tinggal di sekitar tambang masih terancam. Suku Amungme dan Komoro yang tinggal di sekitar konsesi tambang, terus-menerus dirugikan, dipinggirkan, dan diabaikan. Selama beberapa generasi, tambang sudah menghilangkan kebudayaan mereka dan memecah suku-suku itu.
Soal ini, Freeport mengaku akan terus memberi kontribusi serta melibatkan masyarakat adat dalam operasionalnya. Pada akhir 2018, lobi pemerintah Jokowi berhasil meloloskan kepemilikan saham mayoritas Indonesia di Freeport.
Nyaris separuh abad Freeport berdiri, kini Indonesia punya 51 persen saham di sana. Namun, apakah itu setimpal dengan hilangnya habitat flora-fauna, serta kebudayaan masyarakat adat setempat?
Baca Juga
-
3 Film dan Drama Korea yang Diperankan Jeon Do-Yeon, Ada Kill Boksoon
-
3 Rekomendasi Anime yang Berlatar pada Abad ke-20, Kisahkan tentang Sejarah
-
3 Rekomendasi Anime Bertema Mafia, Salah Satunya Spy x Family
-
3 Rekomendasi Anime Gore Tayang di Netflix, Mana yang Paling Sadis?
-
3 Rekomendasi Film Bertema Bom Atom, Gambarkan Dampak Buruk Perang Nuklir
Artikel Terkait
Kolom
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Seragam vs Streetwear! Pencarian Diri di Antara Aturan dan Kebebasan
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
Terkini
-
Netflix Buka Suara Soal Yeji ITZY Gabung Alice in Borderland Season 3
-
4 Klub Unggas Sudah Berjaya di Tahun 2025, tapi Masih Ada Satu Lagi yang Harus Dinantikan!
-
Haechan akan Merilis Lagu The Reason I Like You, OST Second Shot At Love
-
Film Animasi KPop Demon Hunters Umumkan Jajaran Pengisi Suara dan Musik
-
Wacana BRI Liga 1 Tambah Kuota 11 Pemain Asing, Ini 3 Dampak Negatifnya