Imam Syafi’i pernah berkata “Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat”. Kutipan ini menggambarkan kehebatan sebuah tulisan. Melalui tulisan dan kegiatan menulis, kita ikut andil dalam merekam sebuah kejadian serta menyimpan berbagai bentuk pengetahuan.
Melalui tulisan-tulisan itulah, manusia dapat belajar dan berkembang. Bayangkan, jika tidak ada tulisan yang ditinggalkan dari masa lalu, kita mungkin tak akan tahu apa yang manusia lakukan untuk bertahan hidup, dan sistem pengetahuan macam apa yang mereka gunakan pada zaman dahulu. Sederhananya, kita tidak akan tahu sejarah bangsa jika tidak ada tulisan yang ditinggalkan.
Jangan bayangkan tulisan yang dimaksud adalah tulisan latin seperti yang sedang kalian baca sekarang. Perlu proses penjang untuk akhirnya bangsa kita mengerti dan menggunakan aksara latin secara universal dalam keseharian. Dengan bentuk negara kepulauan yang dihuni lebih dari 300 kelompok etnis dengan lebih dari 750 bahasa daerah dan dialek, sangat memungkinkan jika dahulu banyak pula variasi tulisan yang digunakan. Beberapa tulisan kuno yang berhasil ditemukan dan diidentifikasi di antaranya ada arab pegon, aksara pallawa, Ka-Ga-Nga, lontara, aksara Jawa/Sunda, aksara Bali, Aksara batak, dll.
Zaman dahulu, manusia mengambar lambang-lambang atau menulis menggunakan aksara kuno dengan cara dipahat. Hal tersebut dapat dilihat melalui barang-barang peninggalan, seperti prasasti yang terbuat dari tanduk dan tulang hewan, kayu, batu, lempeng emas, perak, tembaga, hingga perunggu. Selain dipahat, ada pula tulisan kuno yang ditemukan dalam bentuk naskah yang sudah ditulis menggunakan tinta dengan media daun lontar, nipah, bilah bambu, janur kelapa, daluang, dan lain sebagainya.
Keberadaan aksara yang terdapat dalam prasasti dan naskah kuno ini penting untuk dikaji dan diteliti. Sebab, informasi yang ada di dalamnya penting untuk khazanah kebudayaan Indonesia. Sayangnya, banyaknya aksara yang sudah tidak produktif digunakan bahkan sulit untuk dikenali. Hal tersebut menyebabkan keterbacaan terhadap naskah-naskah kuno yang ada menjadi sangat terbatas dan cukup eksklusif. Sehingga nilai-nilai, gagasan, dan informasi yang ada sulit untuk diakses dan diketahui oleh masyarakat luas.
Oleh sebab itu, terdapat ilmu untuk mempelajari tulisan-tulisan kuno, yaitu disebut paleografi. Paleografi sendiri, secara harfiah berarti “tulisan kuno” diambil dari bahasa Yunani “paleos” yang berarti kuno dan “grafia” yang berarti tulisan. Paleografi ini mempelajarai ragam dan variasi bentuk aksara, penanda aksara, kualitas garis atau goresan, hubungan antara alat tulis dan berkas tulisan yang dihasilkan, serta semangat zaman pada masa suatu bentuk aksara hidup dan berkembang.
Ilmu paleografi bertujuan untuk menjabarkan tulisan kuno dan menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisan yang ditemukan. Penjabaran ini perlu dilakukan karena beberapa tulisan sangat sulit untuk dikenali dan dibaca. Kegiatan tersebut, dapat membantu menentukan waktu dan tempat sebuah naskah dibuat. Hal lain yang perlu diperhatikan saat meneliti naskah kuno adalah bahan naskah, panjang dan jarak garis, ukuran kertas, jenis tinta, dan lain-lain. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi siapa pengarang dan berapa usia sebuah naskah.
Tak sampai di situ, untuk menyajikan sebuah naskah yang mudah dibaca, terlebih oleh masyarakat umum, harus dilakukan proses transkripsi dan transliterasi naskah terlebih dahulu. Transliterasi berarti menyunting sebuah teks dari satu jenis tulisan ke tulisan lain, huruf demi huruf, dari abjad yang satu ke abjad yang lain, seperti dari aksara jawa ke latin. Sedangkan transkripsi berarti kegiatan alih ejaan, dengan tujuan menyarankan lafal bunyi unsur bahasa yang bersangkutan.
Naskah kuno yang telah berhasil diidentifikasi semua unsurnya, hingga dapat diketahui pengarang, waktu penulisan, tempat penulisan, usia naskah, serta telah ditranskripsi dan ditransliterasi, akan lebih baik jika kemudian didigitalisasi. Digitalisasi naskah ini bertujuan untuk mengamankan naskah agar tidak punah rusak, atau hilang. Selain itu, digitalisasi ini mempermudah akses untuk pembacaan naskah. Seseorang yang ingin membaca sebuah naskah kuno, tidak perlu pergi ke perpustakaan atau museum, karena versi digitalnya sudah dapat diakses sendiri dari rumah.
Dari penjelasan di atas, tergambar ungensi dari sebuah tulisan dan pengkajian terhadap tulisan yang berasal dari masa lampau. Melalui naskah-naskah kuno, manusia dapat belajar dari masa lalu. Dapat meniru ajaran baik yang ditinggalkan dan mencegah melakukan keburukan seperti yang diceritakan.
Sehebat apapun ingatan akan memudar termakan usia, tapi satu bait tulisan akan tetap utuh tak menua.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Sejarah Singkat Berdirinya PGRI, Diawali dari Perlawanan terhadap Penjajah Belanda
-
Prudential Gandeng OJK dan MES Tingkatkan Literasi Keuangan Perempuan
-
Serba-serbi Carok, Prinsip dan Catatan Peristiwa yang Menyertainya
-
Misteri Kepunahan Hewan Raksasa Terungkap! Ini 6 Penyebabnya
-
Rocky Gerung Sentil yang Doyan Pamer Tas Hermes: Dulu Buat Lindungi Privasi hingga Melawan Rasisme!
Kolom
-
Trend Lagu Viral, Bagaimana Gen Z Memengaruhi Industri Musik Kian Populer?
-
Usai Kemenangan Telak di Pilpres AS, Apa yang Diharapkan Pendukung Donald Trump?
-
Standar Nikah Muda dan Mengapa Angka Perceraian Semakin Tinggi?
-
Indonesia vs Arab Saudi: Mencoba Memahami Makna di Balik Selebrasi Seorang Marselino Ferdinan
-
Matematika Dasar yang Terabaikan: Mengapa Banyak Anak SMA Gagap Menghitung?
Terkini
-
Strategi Mengelola Waktu Bermain Gadget Anak sebagai Kunci Kesehatan Mental
-
Cetak 2 Gol, Bukti "Anak Emas" Tak Sekadar Julukan bagi Marselino Ferdinan
-
Nissa Sabyan dan Ayus Resmi Menikah Sejak Juli 2024, Mahar Emas 3 Gram dan Uang 200 Ribu
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg