Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Fadhil raihan
Ilustrasi atlet. (Unsplash)

Olahraga merupakan salah satu bidang industri yang sedang berkembang pesat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dikutip dari Kompas, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Korea Selatan, Italia, dan China menjadikan olahraga sebagai salah satu industri unggulan sebagai pemasok devisa negara. Perkembangan industri olahraga global juga tercatat dalam buku Industri Olahraga (2019) karya dari Sigit Nugroho yang menyebutkan penerimaan pasar olahraga global pada tahun 2017 mencapai 91 miliar dollar AS. Angka tersebut meningkat sebesar 95,5% dari tahun 2005.

Di Indonesia sendiri, perkembangan industri olahraga berkembang pesat, salah satu penyumbang terbesarnya adalah olahraga sepak bola. Berdasarkan laporan dari AT Kearney, sepak bola menyumbang 40% dari total industri olahraga nasional. Salah satu sumber pemasukan dari industri olahraga adalah jasa penjualan kegiatan yang terdapat dalam tayangan pertandingan olahraga.

Tayangan pertandingan olahraga menjadi salah satu tayangan hiburan bagi masyarakat. Baik tayangan secara langsung, maupun yang disajikan dalam produk siaran. Dari pertandingan olahraga tersebut, industri olahraga memperoleh pemasukan dengan menjual tiket pertandingan, hak siar di media massa, ataupun dari layanan streaming. 

Pemasukan dari jasa penjualan kegiatan tersebut menjadikan atlet sebagai komoditas yang dieksploitasi. Banyaknya pertandingan olahraga sebagai sumber pemasukan berjalan lurus dengan semakin banyaknya fisik atau tenaga yang harus terkuras dari para atlet. Badan penyelenggara kejuaraan olahraga kerap membuat sebuah kompetisi yang memiliki jadwal padat demi tujuan industri. Banyaknya kompetisi yang dijalankan membuat jadwal bagi atlet semakin padat. Akibatnya, atlet menjadi salah satu korban yang terus dieksploitasi demi memenuhi tujuan tersebut.

Jadwalnya padat tersebut juga dikeluhkan oleh salah satu bintang sepak bola Real Madrid, Toni Kroos. Dalam podcast “Einfach mal Luppen” yang digagas oleh adiknya, Felix Kroos, pemain tim nasional Jerman tersebut menyampaikan bahwa Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) dan Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) memperlakukan pemain sepak bola seperti layaknya boneka. 

Padatnya jadwal sepak bola di luar kompetisi domestik membuat Toni Kroos mempertanyakan keputusan FIFA dan UEFA yang hanya mementingkan keuntungan tanpa melihat kondisi atlet yang kerap dieksploitasi. Jadwal padat dari kompetisi klub ditambah dengan jadwal padat dari kompetisi dan laga persahabatan antarnegara. Padatnya jadwal tersebut membuat para atlet hanya memiliki waktu untuk beristirahat.

Dari cabang olahraga lain dapat dilihat pada padatnya jadwal kompetisi basket Amerika Serikat atau yang biasa dikenal dengan National Basketball Association (NBA). Dalam satu musim kompetisi, setiap tim di NBA memainkan pertandingan sebanyak 82 laga. Laga tersebut dapat bertambah jika tim lolos ke babak selanjutnya.

Padatnya jadwal kompetisi juga dapat dilihat pada kompetisi e-sports Mobile Legends Bang Bang Premier League (MPL) Indonesia. MPL Indonesia hanya mempertandingkan delapan tim yang masing-masing timnya memainkan 14 pertandingan dalam satu musim reguler. Tim yang lolos pada babak selanjutnya akan memainkan game yang lebih banyak dalam satu pertandingan dibanding musim reguler.

Pada MPL Indonesia musim ini, jumlah babak setiap pertandingan bertambah dari musim sebelumnya. Jadwal yang semakin padat ini menunjukkan bahwa MPL Indonesia kerap menguras tenaga atletnya untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Belum lagi tambahan jadwal padat lainnya dari kompetisi yang berbeda dalam jarak waktu satu bulan.

Jasa penjualan pertandingan olahraga ini menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi industri olahraga. Bukan tanpa alasan jadwal pertandingan olahraga selalu padat, khususnya pada olahraga yang memiliki banyak penggemar.

Semakin banyak pertandingan, maka semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Namun, hal tersebut nampaknya hanya menguntungkan dari sisi pihak penyelenggara. Sedangkan atlet hanya semakin dieksploitasi dan dikuras tenaganya untuk melayani kerakusan pihak penyelenggara.

Pihak penyelenggara tidak bisa menjadikan kebutuhan masyarakat akan hiburan sebagai alasan jadwal yang semakin padat. Pemeran utama dari industri olahraga adalah atlet. Maka sudah sejatinya atlet harus diperlakukan secara adil. Jadwal padat hanya akan merugikan atlet yang mana berpotensi besar menyebabkan cedera.

Badan-badan dan organisasi olahraga seharusnya melihat situasi ini sebagai hal yang harus diperbaiki. Olahraga seharusnya menjadi bidang yang dapat menghibur, baik dari sisi atlet sebagai pelaku, maupun sisi masyarakat sebagai penikmat. Pihak penyelenggara dan badan organisasi olahraga harus mengesampingkan kepentingan industri dan bisnis. Para pemilik klub olahraga juga seharusnya menyadari akan hal tersebut bahwa industri olahraga ini kerap mengeksploitasi atlet.

Seperti yang kita tahu, tujuan dari olahraga adalah untuk kesehatan. Dengan jadwal pertandingan yang semakin padat, bukankah bertentangan dengan kesehatan dan kebugaran para atlet? Tidakkah para pihak penyelenggara menyadari akan kerakusannya? 

Organisasi olahraga sudah seharusnya mulai memperhatikan kondisi para atlet dengan menampung aspirasi dan pendapatnya. Dalam perencanaan kompetisi, sudah seharusnya para atlet mulai dilibatkan untuk menentukan jadwal yang lebih baik.

Pihak penyelenggara dapat membuat suatu kompetisi yang memiliki jadwal tidak terlalu padat, tetapi berkualias. Selama ini, atlet hanya dijadikan sebuah boneka yang harus siap menjalani segala kompetisi untuk memenuhi kerakusan pemilik klub dan pihak penyelenggara. 

Atlet bukanlah sebuah robot yang tidak memiliki rasa letih dan kekuatan fisik yang selalu prima. Atlet juga membutuhkan waktu untuk kembali memulihkan kebugarannya. Jangan sampai jadwal yang semakin padat membuat para generasi penerus atlet enggan untuk terjun dalam dunia olahraga. Jangan sampai kerakusan penyelenggara dan pemilik klub menghambat pertumbuhan olahraga.

Muhammad Fadhil raihan