Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Diana Priska Damayanti
Proses lomba mewarnai siswa SDN 02 Junrejo

Sekolah merupakan institusi pendidikan yang memiliki sistem kompleks dan dinamis. Selain menjadi wadah proses pendidikan, saat ini sekolah dijadikan alat untuk mencapai pendidikan bermutu, memenuhi standar nasional pendidikan dan menjadi bagian integral masyarakat yang akan berhadapan langsung dengan kondisi nyata di masyarakat.

Sebagai lembaga utama pendidikan, sekolah diharapkan dapat mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi lulusan yang berkualitas sehingga dapat memberi kontribusi dalam pembangunan bangsa. Sementara itu, meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi sorotan sistem pendidikan nasional karena upaya tersebut termasuk ke dalam mata rantai dari upaya yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas nasional. Disinilah fungsi sekolah agar dapat menghasilkan manusia yang berkualitas, berkepribadian baik yang pada dasarnya memiliki menifestasi dari manusia yang produktif dengan kreativitas tinggi, tidak bergantung dan mandiri. 

Tanggung jawab itu membuat sebagian besar masyarakat terutama orang tua beranggapan bahwa sekolahlah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya sehingga mereka sepenuhnya menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah.

Kini sekolah juga kerap kali dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan individu di masa depan, karena mengonsumsi pelajaran dari sekolah berjenjang dianggap menjadi alasan tingginya derajat seseorang di tengah masyarakat. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, maka semakin berkualitas sumber daya manusia. Asumsi tersebut menjadikan masyarakat mengidentikkan sekolah sebagai kewajiban yang sangat didambakan dan perlu dilaksanakan, bahkan dalam skala internasional posisi sekolah di berbagai negara dijadikan sebagai penentu peringkat atau kasta-kasta yang diurutkan berdasarkan jumlah rata-rata masyarakat bersekolah.

Maka dari itu, adanya anggapan bahwa kegagalan sekolah adalah bukti bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang rumit, mahal, mustahil dan hanya diperuntukkan untuk orang-orang tertentu pun sangat mungkin terjadi. Disamping itu, asumsi-asumsi yang telah menjadi sebuah tolak ukur masyarakat bisa saja mendorong anak memiliki keinginan belajar hanya agar diakui di lingkungan masyarakatnya dan karena terbiasa akan hal itu. Anak dapat beranggapan bahwa belajar tentang dunia lebih bernilai daripada belajar dari dunia, jika tidak sekolah maka anak akan merasa tidak diakui keberadaanya.

Hal ini berkaitan dengan kritik Ivan Illich terhadap institusi pendidikan. Pendidikan memang harus menjadi garda terdepan dalam menyikapi masalah sosial di masyarakat, termasuk mengenai sekolah. Sebagai pemikir yang humanis dan religius, Illich mendefinisikan pendidikan secara luas. Baginya, pendidikan adalah segala sesuatu yang berpengaruh pada proses perkembangan dan pertumbuhan. Pengalaman belajar seseorang sepanjang hidupnya merupakan bentuk dari pendidikan karena bagi Illich, pendidikan sama dengan hidup. Menurut Illich, pandangan sekolah saat ini dirancang bahwa kualitas kehidupan bergantung pada apa yang telah mereka pelajari di sekolah, melalui proses pendidikan berjenjang yang bertahap, dan hanya guru yang dapat memimpin tahap itu. Sekolah seolah-olah dijadikan sebagai tolak ukur puncak tertinggi pencapaian seseorang dalam pendidikan namun hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki berbagai kemampuan yang mumpuni.

Dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah berpedoman pada kurikulum pendidikan yang telah di atur sedemikian rupa. Menurut Illich, sekolah adalah proses yang dikhususkan untuk umur tertentu yang berkaitan dengan guru dengan berdasar pada tiga premis, yaitu anak hadir di sekolah, anak belajar di sekolah dan anak hanya bisa diajar di sekolah. Sekolah menuntut kehadiran purna waktu dalam kurikulum wajib. Anak juga tidak diajarkan untuk mengembangkan kegiatan belajar atau mengajarkan keadilan karena para pendidik lebih menekankan pada pengajaran yang sudah ada dalam paket-paket pengajaran sertifikat mengajar. Sekolah hanya mengandalkan asumsi yang ditanamkan pada murid bahwa pendidikan berharga hanya bila diperoleh melalui sekolah dan melewati proses konsumsi berjenjang. 

Berlakunya sistem pendidikan yang diungkapkan Illich telah dan masih terjadi di Indonesia bahkan hampir seluruh dunia saat ini. Illich pun menyatakan perlu dipertanyakan, sebenarnya apa yang menjadi ide tentang wajib sekolah yang telah berlaku hampir di seluruh dunia. Karena menurutnya, sistem pendidikan formal telah menjalani tiga fungsi umum, antara lain; fungsi sebagai gudang mitos masyarakat, fungsi pelembagaan kontradiksi mitos tersebut dan lokus ritual yang mereproduksi dan menyelubungi perbedaan antara realitas dan mitos.

Dalam kaitannya dengan keberhasilan individu di masa depan, saat ini Bangsa Indonesia masih terbilang kurang dalam memahami pendidikan yang sebenarnya. Masyarakat masih percaya bahwa mitos yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari bergantung pada sekolah.

Pertama, mitos nilai terlembaga. Masyarakat menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga yang berpengaruh terhadap proses belajar manusia, yang kemudian proses belajar ilmu pengetahuan dari sekolah dapat tercatat dan terukur melalui gelar dan ijazah. Pada mitos ini belajar yang ternilai merupakan hasil dari kehadiran di kelas. Kedua, mitos pengukuran nilai. Penanaman sistem segala hal dapat diukur telah masuk ke dalam dunia mereka, bahwa prestasi siswa dan nilai hasil dari pelajaran merupakan standar keberhasilan siswa di sekolah. Ketiga, mitos paket nilai. Kurikulum berfungsi sebagai barang komoditas. Keempat, mitos kemajuan yang berkesinambungan. Sekolah menanamkan keharusan siswa untuk selalu meningkatkan nilainya dengan kompetisi yang ketat. 

Harusnya, semakin majunya pendidikan maka lembaga pendidikan perlu menghancurkan asumsi-asumsi yang telah beredar luas di masyarakat. Lembaga pendidikan harus menjadi saluran yang memudahkan pelajar agar dapat bebas berkembang sesuai dengan kemauan dan bakatnya masing-masing tanpa adanya batasan dari pihak manapun. Banyaknya jebakan demi jebakan mitos yang identik terjadi di sekolah dapat menyebabkan siswa tidak percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri, sekolah menjadi sebuah kewajiban yang belum tentu mereka sukai dan ingin mereka lakukan namun sistem pendidikan tersebut bisa saja menimbulkan polarisasi sosial, polusi fisik dan ketidakberdayaan psikologis individu. 

Sebenarnya menurut beberapa pendapat, definisi belajar dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang dilakukan individu secara disengaja maupun tidak disengaja sehingga terjadi perubahan dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak bisa membaca menjadi bisa membaca, yang tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan dan sebagainya.

Perubahan individu dalam berinteraksi dengan lingkungan yang baik maupun tidak baik merupakan proses yang juga mengandung arti belajar di dalamnya. Belajar tentu tidak hanya dapat dilakukan di sekolah dan hasil belajar di sekolah tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan individu dalam proses belajar. Nilai-nilai yang telah diberikan sekolah merupakan nilai yang dikuantifikasikan, sekolah seolah juga dapat mengukur imajinasi dan manusia itu sendiri. Padahal perkembangan diri dan kepribadian yang ada pad diri manusia bukanlah sesuatu yang dapat diukur dengan ukuran maupun kurikulum apapun. Maka dari itu, pembenahan dalam sistem pendidikan dan sikap masyarakat sangat diperlukan.

Diana Priska Damayanti

Baca Juga