Di lorong-lorong sekolah menengah atas, aturan bagaikan pagar besi yang mengurung langkah para siswa. Seragam harus rapi, rambut tak boleh melewati kerah, dan pendapat? Oh, sering kali hanya diizinkan mengintip dari balik buku pelajaran. Namun, begitu melangkah ke gerbang kampus, dunia seolah membuka pintunya lebar-lebar.
Kebebasan berekspresi bagai angin sepoi yang membelai, mengundang ide-ide liar untuk menari. Perbedaan ini bukan sekadar soal aturan, melainkan bagaimana jiwa muda dibentuk—atau justru dibungkam—dalam ruang yang seharusnya menjadi ladang kreativitas. Pertanyaannya, apakah pagar ketat sekolah membunuh imajinasi, atau justru kebebasan kampus yang kadang kebablasan?
Kebebasan berekspresi, menurut Kinanti, Harahap, dan Sitorus dalam artikel Kebebasan dan Tanggung Jawab Muatan Pesan (2025), adalah hak sekaligus tanggung jawab yang harus diimbangi dengan kesadaran etis. Di kampus, mahasiswa diberi ruang untuk menyuarakan opini, baik melalui orasi, karya seni, maupun cuitan di media sosial.
Namun, kebebasan ini bukan tanpa risiko. Tanpa pengendalian, ekspresi bisa berubah menjadi pedang bermata dua: memicu kreativitas atau malah menabur konflik. Di SMA, sebaliknya, aturan ketat sering kali memaksa siswa untuk menelan pendapat mereka. Bukankah ironis, di tempat yang seharusnya mengajarkan berpikir kritis, suara justru dipasung demi “disiplin”?
Bayangkan sekolah sebagai sangkar burung. Siswa adalah burung-burung kecil yang sayapnya dipotong pendek agar tak terbang terlalu jauh. Aturan seragam, jam masuk, hingga larangan berdiskusi tentang topik “sensitif” sering kali dirancang untuk menjaga ketertiban, tapi efeknya? Kreativitas tersumbat. Seorang siswa yang ingin menulis puisi tentang ketidakadilan mungkin hanya akan mendapat teguran karena “tidak sesuai kurikulum”. Padahal, seperti yang ditulis oleh Kinanti dkk. (2025), kebebasan berekspresi adalah kunci untuk membangun pemikiran kritis dan inovasi. Jika sekolah terus menutup pintu imajinasi, bagaimana generasi muda bisa belajar terbang?
Sementara itu, kampus adalah langit terbuka. Di sini, mahasiswa bebas melukis dinding-dinding pikiran mereka dengan warna-warni ide. Demonstrasi, diskusi terbuka, bahkan mural satir di sudut kampus menjadi pemandangan biasa. Tapi, kebebasan ini punya sisi gelap. Tanpa tanggung jawab, opini yang dilontarkan bisa jadi racun—menyebar hoaks atau memicu polarisasi. Seperti burung yang terlalu lama dikurung, mahasiswa yang baru lepas dari SMA kadang bingung mengendalikan sayap mereka. Kebebasan yang tiba-tiba diberikan bisa membuat mereka terbang liar, tanpa arah, atau malah jatuh terjerembab.
Dampaknya pada kreativitas? Jelas terlihat. Di SMA, aturan ketat sering kali membuat siswa takut bereksperimen. Seorang pelukis muda mungkin ragu mencoret kanvas dengan warna berani karena takut dianggap “melanggar”. Sebaliknya, di kampus, kebebasan memungkinkan mahasiswa mencipta tanpa takut dihakimi. Namun, kebebasan yang berlebihan tanpa bimbingan bisa membuat karya mereka kehilangan makna, seperti lukisan yang penuh warna tapi tak punya cerita. Keseimbangan adalah kuncinya: sekolah perlu melonggarkan tali kekang, tapi kampus harus mengajarkan bagaimana terbang dengan bijak.
Lalu, bagaimana menyatukan kedua dunia ini? Sekolah bisa belajar dari kampus: berikan ruang untuk diskusi terbuka, biarkan siswa menulis esai tentang isu sosial atau menggelar pameran seni tanpa takut ditegur. Sebaliknya, kampus perlu menanamkan tanggung jawab sejak dini, agar kebebasan tak berubah menjadi anarki. Pendidik, baik di sekolah maupun kampus, adalah penutur cerita yang harus mengarahkan tanpa mendikte. Mereka harus menjadi angin yang mendorong layar, bukan jangkar yang menahan kapal.
Kebebasan berekspresi adalah napas bagi kreativitas. Sekolah yang terlalu kaku menciptakan robot, bukan pemikir. Kampus yang terlalu bebas melahirkan chaos, bukan karya. Keduanya perlu belajar satu sama lain: sekolah harus memberi ruang untuk bernapas, dan kampus harus mengajarkan cara menghembuskan napas dengan makna. Seperti burung yang belajar terbang, jiwa muda perlu kebebasan untuk mencoba, tapi juga arahan untuk tidak tersesat. Bukankah di situlah letak keindahan—di antara batas dan kebebasan, di mana kreativitas bisa menari tanpa takut jatuh?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Belanja Cerdas dengan Cashback! Cara Belanja Hemat di Era Digital
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
-
Nilai Nomor Sekian! Yang Penting Tetap Waras dan Tugas Kelar, Setuju?
-
Transformasi Pola Komunikasi Keluarga dari Telepon Rumah ke Chat dan Video Call
-
Detak di Pergelangan! Bagaimana Smartwatch Merawat Jiwa Kita?
Artikel Terkait
-
Tangis Pecah, Dedi Mulyadi Jadikan Siswa Yatim Piatu di Barak Militer Sebagai Anak Angkat
-
Seragam vs Streetwear! Pencarian Diri di Antara Aturan dan Kebebasan
-
Tak Cukup Sekadar Lulus, Kampus Masa Kini Harus Hadirkan Pendidikan Siap Kerja
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
10 Kampus Favorit di Indonesia, Bisa Jadi Pertimbangan Calon Mahasiswa Baru
Kolom
-
Aturan Cuma Buat Rakyat? Menggugat Hak Istimewa Rombongan Pejabat di Jalan Raya
-
Dari Sahabat Pena ke Chatbot AI: Bagaimana Teknologi Mengubah Cara Kita Berteman?
-
Karakteristik Schadenfreude dalam Psikologi Massa Sound Horeg
-
Mahasiswa Bukan Robot, Saatnya Kembali Berpikir di Era AI
-
Mitigasi Banjir Jakarta: Benahi Hulu atau Keruk Hilir? Ini Perang Logika Para Pemimpin
Terkini
-
Mengajak Kemball Membaca Diri, Kawruh Jadi Payung untuk Tubuh Biennale Jogja 18
-
4 Clay Mask Stick Solusi Praktis Bikin Wajah Cerah, Harga Mulai Rp36 Ribu!
-
Sampah Mikro di Laut Jawa Mengancam Nelayan dan Ekosistem Pesisir
-
Ulasan Film Superman 2025: Keren, Emosional, dan Bikin Nostalgia!
-
Erick Thohir Sebut Sinergi PSSI dan PT LIB Bukan Hanya Formalitas, Mengapa?