
Bayangin kamu baru diterima kerja. Hari pertama belum selesai, tanda tangan kontrak masih basah, meja kerja belum dikasih nama. Eh, kamu udah nanya ke bos, “Kalau saya kerja bagus, bisa naik jabatan 5 tahun lagi, kan?”
Kira-kira begitulah vibe yang muncul waktu Presiden Prabowo bilang, "Kalau dalam lima tahun saya gagal, saya nggak akan maju lagi di 2029." Pernyataan itu diucapkan di depan kader partainya sendiri, yang udah semangat dukung beliau dua periode.
Tapi, publik di luar partai justru banyak yang gatal garuk kepala, “Lah, ini baru juga mulai kerja, udah mikir lanjut?”
Oke, mari kita luruskan dulu. Janji buat tidak maju di 2029 kalau gagal, terdengar seperti bentuk komitmen. Seolah-olah bilang, “Tenang, saya serius kok. Kalau zonk, saya mundur.” Tapi masalahnya bukan di janji itu, masalahnya di timing dan konteks. Karena ya… 2025 baru jalan beberapa bulan, Pak.
Negara ini bukan YouTube channel yang bisa bilang “Subscribe dulu ya, kontennya masih coming soon.” Warga negara itu bukan followers, mereka pemilik saham utama republik ini.
Dan sayangnya, banyak dari mereka sedang struggle di tengah harga kebutuhan pokok yang nggak lucu, angka PHK yang naik, dan utang negara yang makin montok. Di saat kayak gini, pernyataan tentang dua periode lebih terasa kayak “lempar wacana” ketimbang “laporan kerja”.
Mungkin yang dibutuhkan sekarang bukan janji “nggak nyalon lagi kalau gagal” tapi kerja nyata, hasil yang bisa dipegang. Karena indikator kegagalan itu siapa yang tentukan? Presiden sendiri? Partai? Atau rakyat?
Kalau rakyat, apakah kritik publik akan dianggap sebagai “tolok ukur” atau “nyinyiran anti-pemerintah”? Jangan sampai janji mundur ini malah jadi trik marketing semata, kayak toko online yang bilang “Flash Sale tinggal 1 jam lagi!” padahal besok ada lagi.
Lebih baik fokus ke tugas yang sekarang dulu. Soalnya, baru beberapa bulan menjabat, Prabowo dan timnya sudah menghadapi berbagai masalah besar, misalnya PHK massal, defisit fiskal yang membayangi, utang luar negeri yang makin nyempil, serta janji-janji besar seperti makan bergizi gratis dan 19 juta lapangan kerja.
Ini bukan waktunya lempar umpan politik buat 2029. Ini waktunya turun ke lapangan, bukan naik panggung.
Salah satu kritik publik yang muncul di media sosial, “Baru naik aja sudah banyak PHK, masa iya masih PD mau milih yang beginian?”
Kalimat itu mungkin kasar, tapi mewakili rasa frustrasi. Sebab ketika rakyat lihat kontradiksi antara janji kampanye dengan realita di lapangan—misalnya janji membuka 19 juta lapangan kerja, tapi yang muncul malah berita PHK massal—maka wajar kalau publik skeptis.
Lagi pula, sistem demokrasi kita bukan tentang “siapa paling tahan lima tahun”, tapi tentang kualitas pemerintahan tiap hari. Karena kadang, yang terlalu dini berjanji justru lupa menepati.
Kalau rakyat dikasih pilihan antara pemimpin yang “berani mundur kalau gagal” dengan pemimpin yang nggak banyak omong tapi kerja jalan terus, kira-kira pilih yang mana?
Yang menarik, banyak remaja dan dewasa muda sekarang udah makin jeli. Mereka nggak mudah kena jebakan jargon. Apalagi generasi ini yang terbiasa dengan budaya review, rating, dan evaluasi harian. Mereka tahu kualitas nggak bisa ditunda, apalagi dikredit lima tahun.
Jadi, ketika negara masih berjuang keluar dari krisis ekonomi, inflasi yang merangkak naik, dan minimnya kepastian kerja, wacana dua periode itu terdengar seperti pengalihan.
Mungkin saatnya kita semua bilang, ‘Bapak, kerja dulu aja. Lima tahun ini terlalu penting buat diisi dengan spekulasi politik jangka panjang’
Kalau kamu setuju atau punya unek-unek soal arah kebijakan ke depan, nggak ada salahnya mulai aktif bertanya, membaca, dan berdiskusi. Soalnya, pemilu boleh lima tahun sekali, tapi jadi warga negara yang kritis itu tugas harian. Setiap hari kita bisa tanya, "Pemimpinku hari ini kerja apa ya?"
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
-
Surplus tapi Masih Impor: Paradoks Kebijakan Pangan Indonesia
Artikel Terkait
-
Penunjukan Jenderal TNI Jadi Dirjen Bea Cukai: Hak Prabowo? Ini Kata Sekjen Gerindra!
-
Prabowo Beri Kesempatan Terakhir? Menteri yang 'Langgar' Imbauan Terancam Reshuffle
-
Panen Perdana 'Sawah Prabowo' di Papua Selatan Tuai Kontroversi: Konflik Lahan vs Ketahanan Pangan?
-
Prabowo Godok 5 Nama Calon Dubes RI untuk AS, Airlangga Hartarto Jadi Masuk?
-
Prabowo Godok 5 Nama Calon Dubes RI untuk AS, Airlangga Hartaro Jadi Masuk?
Kolom
-
Dapur Kosan Tanpa Pepes Ikan: Cerita Rasa dan Rumah yang Tertinggal
-
Ironi Indonesia: Lulusan Sarjana Melimpah dan Lapangan Kerja yang Kian Langka
-
Aku Menyandarkan Kenangan dan Kenyamanan pada Semangkuk Bubur Ayam Sejak Pagi Itu
-
Main Itu Serius! Ketika Dunia Lupa Bahwa Bermain adalah 'Pekerjaan' Anak
-
Semangkuk Mie Instan di Kosan: Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
Terkini
-
Ulasan Novel Kills Well with Other: Kisah Perempuan Pembunuh yang Angkuh
-
Different oleh Le Sserafim: Ungkapan Bangga Jadi Diri Sendiri
-
Dicukur Malaysia 4 Gol, Vietnam Tak Beranjak dari Kenangan Pahit Bersua Indonesia dan Filipina
-
Akar Lokal untuk Krisis Global: Bisa Apa Desa terhadap Perubahan Iklim?
-
Review Film Predator Killer of Killers: Saat Pemburu Jadi yang Diburu