Coba buka TikTok atau Instagram Reels sekarang. Ada kemungkinan, di antara video kucing lucu dan tips skincare, muncul sosok dosen yang sedang ngomong serius atau malah joget sambil kasih motivasi. Kalau dulu kita tahu dosen lewat buku atau jurnalnya, sekarang kita mengenalnya dari FYP—For You Page.
Fenomena ini makin sering kita temui. Para akademisi nggak cuma berkutat di ruang kelas atau forum ilmiah. Mereka juga hadir di dunia digital, jadi content creator, bahkan punya jumlah followers yang bisa bikin influencer iri. Tapi, apakah ini bentuk inovasi pendidikan? Atau justru pergeseran peran yang bikin identitas akademisi jadi kabur?
Antara Edukasi dan Eksistensi
Banyak dosen sebenarnya hadir di media sosial dengan niat mulia. Salah satunya Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Ira Mirawati. Ia memanfaatkan TikTok untuk mengedukasi anak muda soal pentingnya literasi digital. Materinya ringan, tapi tetap informatif. Ini contoh positif bahwa media sosial bisa jadi ruang belajar alternatif—bukan sekadar tempat flexing atau drama.
Tapi, nggak semua cerita semanis itu. Dosen FISIP Universitas Airlangga, Angga Prawadika Aji, justru mengingatkan kita soal bahaya era post-truth. Sekarang, influencer kadang dipercaya lebih dari pakar. Suara dosen dan selebgram bisa punya bobot yang sama di mata publik. Akibatnya? Opini bisa mengalahkan fakta. Dan akademisi pun mulai merasa, kalau mau didengar, ya harus ikut “bermain” di dunia medsos—meski itu berarti harus lebih entertaining daripada edukatif.
Kehadiran dosen di media sosial membawa risiko lain: krisis identitas. Di satu sisi, mereka ingin menjangkau lebih banyak orang. Tapi di sisi lain, mereka juga punya tanggung jawab ilmiah yang harus dijaga. Ketika like dan views jadi ukuran keberhasilan, tekanan untuk tampil ‘menarik’ bisa lebih besar daripada semangat menyebarkan pengetahuan.
Penelitian di academia.edu bahkan menyebut fenomena ini sebagai bagian dari narsisme dan budaya flexing. Dosen yang dulu dikenal lewat karya ilmiahnya, sekarang bisa lebih dikenal karena “persona” di media sosial. Ini bikin kita bertanya: apakah dunia akademik sedang bergeser ke arah branding personal, bukan lagi penguatan substansi?
Media Sosial Bukan Musuh, Tapi Harus Tahu Batas
Nggak berarti dosen nggak boleh aktif di media sosial, justru sebaiknya mereka mampu memasuki dunia digital ini dan bersaing dengan berbagai konten lain yang kadang-kadang bisa menyesatkan. Tapi, tetap penting untuk menjaga nilai-nilai akademik dan integritas keilmuan. Dosen itu sebenarnya pendidik yang sejati—bukan sekadar entertainer yang hanya menghibur. Menampilkan kepribadian melalui media sosial boleh saja, tapi bukan berarti kita harus melupakan tanggung jawab utama sebagai pengajar dan penjaga kualitas ilmu pengetahuan.
Menurut salah satu dosen dari Ilmu Komunikasi di Universitas Airlangga, konten akademik di media sosial harus tetap beretika dan berlandaskan kemanusiaan. Jadi, meskipun tampil santai dan kayak nggak terlalu formal, jangan sampai inti dari materi dan pesan yang ingin disampaikan hilang. Kita butuh lebih banyak konten yang gak cuma viral semata, tapi juga punya dampak nyata, membuka wawasan, dan meninggalkan kesan mendalam.
Nggak ada salahnya juga kalau dosen mengeluarkan konten yang lucu-lucuan, tampil stylish, atau sekadar berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari mereka. Itu justru bikin mereka terasa lebih dekat dan relatable buat mahasiswa. Tapi, harus diingat, jangan sampai demi mengejar perhatian viral, nilai-nilai keilmuan kita malah dikorbankan. Semoga ke depannya, kita bisa melihat lebih banyak lagi dosen yang nggak cuma sukses di media sosial, tapi juga tetap menjadi panutan secara intelektual.
Karena, pada akhirnya, jadi seorang akademisi itu bukan hanya soal dikenal luas, tapi lebih kepada bagaimana mereka mampu membawa ilmu pengetahuan keluar dari lingkungan kampus tanpa harus kehilangan akar dan identitasnya sebagai pendidik dan ilmuwan. Jadi, mari kita dukung para dosen untuk bisa berperan aktif di dunia digital sekaligus menjaga martabat dan integritas profesinya agar tetap terjaga dan memberi manfaat untuk banyak orang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
-
Di Balik Tren Quiet Quitting: Tanda Karyawan Lelah atau Perusahaan Gagal?
-
Review Series Furies, Perjuangan Seorang Mahasiswi Bertahan Hidup di Dunia Mafia
-
Swipe Suka, Hati Luka: Menelisik Lelah Emosional dari Dunia Kencan Digital
Artikel Terkait
-
Kulit Wajah Auto Mulus Gunakan Masker Buatan Sendiri, Cuma Perlu 2 Bahan Rumahan
-
Keluhan Jennifer Coppen Viral, Simak Lagi Penjelasan Emil Mario Soal Cara Kerja Influencer
-
Lulus S2 Tapi Pilih Jadi Konten Kreator, Dian Kristianita Sukses Beli Aset Hingga Bangun Agensi
-
Gaji Dosen di Indonesia vs Malaysia vs Singapura, Negeri Ini Paling Miris!
-
Refleksi Diri Mahasiswa di Balik Kritik, Jangan Terlalu Defensif!
Kolom
-
Menari di Antara Batas! Kebebasan Berekspresi di Sekolah vs Kampus
-
Menyusuri Lorong Ilmu! Buku Perpustakaan vs Jurnal Akademik
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Tari Kontemporer Berbalut Kesenian Rakyat: Kolaborasi Komunitas Seni Jogja
-
Sudah Baca Buku Self-Improvement, Tapi Kenapa Hidup Masih Berantakan?
Terkini
-
Taman Wisata Pasir Putih, Objek Wisata Keluarga dengan HTM Murah di Depok
-
Ulasan Novel The Fall Risk: Cinta yang Bermula dari Sebuah Insiden
-
Curi Perhatian! Ini 4 Daily Style Jeon Somi yang Bikin OOTD Makin On Point
-
Setra Pangistren: Prosesi Pelepasan Kelas XII di SMA Negeri 1 Purwakarta
-
Nasib Thom Haye: Dipersimpangan Berkarir di Liga Indonesia atau Liga Eropa