Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | YESRUN EKA SETYOBUDI
Ilustrasi tari (freepik.com/ichaidirgaffar)

Di tengah gempuran urbanisasi dan maraknya bisnis kafe serta pusat oleh-oleh, Yogyakarta masih menyimpan sudut-sudut kecil yang justru menjadi napas bagi seni yang tumbuh tanpa batas.

Di sanalah komunitas-komunitas seni lokal bergerak bukan untuk mencari sorotan pasar, tapi untuk menghidupkan kembali dialog antara tubuh, gerak, dan akar budaya rakyat yang kerap terlupakan.

Salah satu bentuk ekspresi yang terus berkembang adalah tari kontemporer. Namun, yang membedakan Jogja dari kota-kota besar lainnya adalah caranya menggandeng kesenian tradisional sebagai partner dialog. Wayang orang, jathilan, reog, hingga ritual tari desa, bukan hanya menjadi inspirasi, tapi juga bahan utama dalam proses kreatif baru.

Komunitas seperti Gerak Lintas Ruang, TariKota Jogja, dan Sekolah Seni Rakyat menjadi contoh aktor di balik perubahan ini. Mereka tak sekadar meniru alur tarian lama, tapi merombak maknanya agar bisa menyentuh generasi muda tanpa melepaskan akarnya.

Dalam pementasan terakhir mereka, misalnya, ada adegan penari muda membawa atribut jathilan sambil mengiringi musik elektronik, menciptakan pertemuan unik antara ritme sawah dan dentuman bass.

Menurut data dari Dinas Kebudayaan DIY (2024), jumlah kelompok seni tari non-formal di Yogyakarta meningkat 28% dalam tiga tahun terakhir. Sebagian besar dari mereka fokus pada kolaborasi lintas disiplin dan pendekatan partisipatif, melibatkan bukan hanya penari profesional, tapi juga pelaku kesenian desa, anak muda pinggiran, bahkan penyandang disabilitas.

Yang lebih menarik lagi, banyak dari pementasan ini digelar di ruang publik — lapangan kampung, halaman masjid, atau tepi kali sehingga seni tidak lagi eksklusif. Ini bukan soal hebatnya teknik atau gemerlap panggung, tapi bagaimana tari bisa menjadi cermin sekaligus suara dari mereka yang selama ini jarang terdengar.

Namun, meski antusiasme tinggi, dukungan untuk komunitas seni masih terbatas. Dana dari pemerintah sering kali terserap ke institusi yang sudah mapan, sementara ruang latihan pun harus dipinjam dari sekolah atau tempat ibadah. Tapi justru dari keterbatasan itulah, lahir inovasi-inovasi yang autentik dan tak terprediksi.

Kolaborasi antara tari kontemporer dan kesenian rakyat di Jogja bukan sekadar tren seni belaka. Ini adalah upaya untuk menjaga warisan budaya sekaligus memberi ruang pada perkembangan zaman.

Bukan cuma tentang gerak dan irama, tapi juga tentang siapa yang diberi tempat untuk bicara, dan bagaimana tubuh bisa menjadi media perlawanan, pembebasan, sekaligus keindahan.

Dalam setiap pertunjukan yang lahir dari proses ini, sering kali terselip cerita-cerita yang selama ini terpinggirkan suara petani yang kehilangan lahan, narasi perempuan desa yang tak pernah punya panggung, atau kisah anak muda pinggiran yang mencoba menemukan identitasnya di tengah arus homogenisasi budaya. Tarian tidak lagi hanya soal estetika, tapi juga soal posisi, representasi, dan keadilan budaya.

Beberapa kelompok seni di Jogja bahkan mulai melibatkan pelaku kesenian non-profesional dalam pementasan mereka. Di satu pentas kolaboratif yang digelar di Bantul tahun lalu, misalnya, penonton disuguhi tarian yang melibatkan ibu-ibu PKK dengan alat dapur sebagai properti, sambil diiringi musik tradisional yang dimainkan oleh anak-anak muda dari komunitas lokal. Di situ, batas antara seniman dan masyarakat mengabur, dan seni benar-benar hadir sebagai milik bersama.

Yang unik dari pendekatan ini adalah cara mereka memperlakukan tradisi bukan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan mati-matian dalam bentuk aslinya, tapi sebagai bahan mentah yang bisa direinterpretasi agar tetap relevan di tengah perubahan sosial. Dengan begitu, nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian rakyat tetap lestari, meski dibungkus dalam bentuk baru yang lebih mudah dicerna generasi muda.

Namun, seperti banyak hal di dunia seni non-komersil, tantangan tetap ada. Minimnya dukungan finansial, kurangnya akses ke ruang publik yang layak, hingga persepsi bahwa seni rakyat “tidak cukup prestisius” masih menjadi penghalang bagi banyak komunitas. Meski begitu, semangat mereka tidak padam. Justru dari keterbatasan itulah, lahir karya-karya yang jauh lebih bermakna.

Di tengah derasnya pengaruh budaya global yang cenderung homogen, Jogja lewat kolaborasi tari kontemporer dan kesenian rakyatnya menawarkan alternatif: sebuah ruang di mana seni bukan hanya ditonton, tapi dirasakan; bukan hanya dinikmati, tapi juga mengajak berpikir; dan yang terpenting, sebuah ruang di mana seni benar-benar hadir untuk semua orang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

YESRUN EKA SETYOBUDI