Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Hendy Setiawan
Bendera Singapura. (Shutterstock)

Selayaknya sebuah negara bahwa perjanjian dan kerjasama antar negara menjadi bagian penting yang tidak bisa dilepaskan. Hal ini dilakukan semata-mata demi kesejahteraan rakyat bagi kedua belah-pihak. Oleh karenanya kerjasama antar negara menjadi sebuah keniscayaan untuk membangun hubungan yang dinamis. Namun akan justru menjadi aneh jika suatu negara akan menutup diri dengan negara-negara lain. Hal itu dapat dipastikan bahwa negara tersebut tidak akan mampu tumbuh dengan baik sebagaimana negara-negara pada umumnya. Sebagaimana dengan Indonesia yang beberapa hari belakangan ini melakukan perjanjian ekstradisi dengan negara tetangga kita yakni Singapura. Namun menariknya dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura itu jutru diselipi dengan perjanjian dalam aspek sistem pertahanan. Walaupun secara sepintas tidak relevan, namun proses deal yang terjadi itu ternyata Singapura memiliki kemauan untuk menggunakan ruang udara Indonesia sebagai ruang latihan militernya. Artinya tanpa itu mungkin perjanjian ekstradisi ini tidak akan menemui titik temu. Padahal upaya ini telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mulai tahun 1998 dan baru tahun ini perjanjian itu terealisasi. Lantas mengapa harus mengorbankan ruang udara kita dan memberikan akses kepada Singapura? 

Korupsi dan Buronan

Selama ini tanpa ada perjanjian ekstradisi suatu negara akan kesulitan untuk melakukan pengejaran buronan yang melarikan diri ke negara lain. Hal ini disebabkan ketika seseorang melarikan diri ke negara lain, maka pada saat itulah negara yang bersangkutan akan kesulitan masuk ke negara lain dengan alasan limitasi kedaulatan hukum. Setiap negara memiliki aturan hukum yang harus dijunjung tinggi. Tidak bisa setiap negara asal masuk ke negara lain tanpa ijinkan melakukan mekanisme hukum sebagaimana yang berlaku di negaranya. Berdasarkan alasan itu maka perjanjian kedua negara ini menjadi alasan yang memprakarsai mengapa ekstradisi ini menjadi penting dan memungkinkan untuk mengejar dan memulangkan buronan yang melarikan diri ke negara lain.

Upaya Indonesia yang beberapa bulan terakhir ini melakukan perjanjian ekstradisi dengan Singapura merupakan perjalanan panjang. Hal ini berangkat dari berbagai kasus yang menjerat terdakwa dan mereka melarikan diri ke Singapura. Misalnya saja dalam kasus korupsi di Indonesia sudah tak terhitung lagi berapa banyak buronan yang melarikan diri dan bahkan menyimpan uangnya di Bank Singapura. Berapa banyak nominal uang yang merugikan negara dan tidak pernah diusut tuntas karena Indonesia tidak memiliki ijin untuk memburu buronan ke Singapura. Ada banyak sekali buronan yang ditangani KPK dan melarikan diri ke Singapura.

Surga Bagi Koruptor

Beberapa nama besar itu seperti Muhammad Nazarudin yang merupakan mantan Bendara Umum Partai Demokrat yang ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus suap Wisma Atlet dan pernah singgah di Singapura. Kerugian uang negara ditaksir mencapai 2 triliun rupiah. Ada nama Sjamsu Nursalim seorang pengusaha yang ditetapkan oleh KPK tahun 2019 silam. Kasusnya diduga merugikan uang negara sebesar 4,58 triliun rupiah. Dan terakhir yang teringat dibenak publik misalnya kasus Gayus Tambunan. Gayus dalam hal ini terjerat kasus mafia pajak tahun 2010 yang sempat melarikan diri ke Singapura dengan kerugian negara kurang lebih 74 miliar rupiah. Beberapa kasus itu hanya sebagian kecil dari buronan yang melarikan diri ke negara lain dengan merugikan keuangan negara. pada konteks itulah Singapura mendapat julukan sebagai “Negara Surga bagi koruptor”.

Membarter Surga dengan Kedaulatan Udara

Julukan Singapura sebagai negara surga bagi koruptor Indonesia nampaknya terhempas dan tidak berlaku lagi pasca perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Perjanjian ini telah memungkinkan bagi Indonesia untuk memburu buronan yang bersembunyi ke Singapura. Hanya saja di saat yang bersamaan ada kesepahaman Indonesia-Singapura di bidang pertahanan. Indonesia memberikan akses bagi Singapura untuk melakukan latihan militer di wilayah ruang udara Indonesia. Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas wilayah udara, laut, dan darat sekalipun tentu dituntut untuk tidak memberikan celah bagi negara manapun untuk masuk ke kedaulatannya. Apalagi dari sudut keamanan matra darat, laut, dan udara menjadi tiga elemen krusial bagi strategi pertahanan negara. Oleh karena itu sejengkal saja Indonesia tidak boleh mengizinkan negara manapun termasuk Singapura untuk berlatih militer di ruang udara teritori Indonesia secara permanen melalui perjanjian.

Kedaulatan negara adalah mutlak yang harus dijunjung tinggi. Setiap negara bahkan sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman sekalipun. Hal inilah yang semestinya menjadi pijakan bagi Indonesia untuk berpikir lebih jauh tentang keamanan negara apalagi bersangkutan dengan kedaulatan. Hari ini keamanan telah bergerak jauh lebih dinamis. Bahkan dengan masuknya militer Singapura di ruang udara Indonesia justru menjadi strategi mereka untuk mencuri strategi pertahanan Indonesia. Kondisi ini seolah-olah kedaulatan raung udara kita yang dijadikan tempat latihan militer Singapura menjadi bentuk kegagalan Indonesia dalam membangun kedaulatan negara di bidang keamanan. Memberikan akses Singapura di ruang udara Indonesia sangat membahayakan sistem pertahanan Indonesia. Apabila Singapura berhasil mencuri strategi rahasia pertahanan negara siapa yang harus bertanggungjawab? Bukankah negara itu memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya? Inilah yang semestinya perlu dipertimbangkan kembali bahwa kedaulatan Indonesia atas ruang darat, udara, dan laut adalah hal mutlak yang tidak bisa dinegosiasikan dengan negara lain. 

Hendy Setiawan