Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Hendy Setiawan
Ilustrasi konflik agraria. (iStock)

Beberapa akhir belakangan ini pandangan publik tertuju fokus pada kasus yang menimpa Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Betapa tidak, seluruh jagad maya memperlihatkan bagaimana negara menggunakan alat keamanan negara dengan jumlah sekitar ribuan personel polisi dan Satpol PP memasuki Desa Wadas. Walaupun konflik  ini telah terjadi cukup lama dan meletus sekitar April 2021, tapi nampaknya keadaaan kian tidak kondusif.

Keadaan kian mencekam ketika aparat keamanan diperhadapkan dengan sejumlah kelompok warga yang menolak pertambangan batu andhesit di sana. Bahkan dalam tragisnya dari catatan YLBHI Yogyakarta setidaknya ada 67-an warga yang ditangkap oleh aparat kepolisian. Situasi semakin menjadi dramatis ketika aparat keamanan  dengan jumlah banyak dengan perlengkapan lengkap hadir di sana dan seketika itu membuat ketakutan bagi warga desa setempat. 

Kehadiran ribuan polisi yang berdalih mengawal beberapa Tim dari BPN untuk mengukur tanah seolah-olah memperlihatkan bagaimana negara memandang rakyatnya sendiri sebagai musuh. Pendekatan keamanan negara yang kurang tepat telah menciderai marwah negara yang seharusnya mampu menjadi pelindung dan pengayom bagi warganya.

Bahkan menariknya banyak pihak mulai dari organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan banyak kelompok lembaga swadaya masyarakat dan aktivis  NGO’s ikut terlibat untuk memastikan agar negara melalui aparat keamanannya tidak melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya sendiri dan negara tidak mengingkari atas tanggung-jawabnya. 

Mengapa Negara Gagal?

SDA selama ini memainkan peranannya yang sangat penting. Sebagaimana sumber daya alam yang terjadi antara negara dengan masyarakat lokal Desa Wadas Purworejo menunjukkan bagaimana SDA itu memaikan peranan konflik. Peranan ini kemudian memberikan pesan bahwa negara gagal dalam menjadi pengayom bagi rakyatnya sendiri. Sebagai negara tentu tidak dibenarkan untuk menciptakan dan membangun ketakutan bagi kehidupan rakyatnya.

Seolah-olah negara baru menguatkan legitimasinya sebagai negara dengan membangun ketakutan terhadap rakyatnya. Hal ini yang kemudian memposisikan negara untuk berupaya mengingkari kewajibannya sebagai negara. Sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi kita pembukaan UUD 1945 alinea empat secara tegas mengamatkan bahwa tujuan negara yakni “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. 

Ada empat kewajiban negara yang jelas tertuang dalam konstitusi kita. Dua kewajiban pertama negara adalah frasa melindungi dan mensejahterakan. Hal ini yang semestinya menjadi pijakan bagi negara untuk menjalankan fungsi-fungsi negara.

Apabila kewajiban ini kita tarik dalam kasus konflik SDA di Desa Wadas Purworejo, maka dengan menerjunkan ribuan aparat keamanan masuk desa apakah tujuan melindungi dan mensejahterakan rakyatnya ini terwujud? Rakyat yang mana yang merasa dilindungi dan disejahterakan oleh negara?

Proyek yang ada di Desa Wadas memang telah diteken menjadi proykes starategis nasional sehingga narasi kesejahteraan selalu dihadirkan oleh negara. namun di sisi lain masyarakat memiliki hak untuk menerima dan menolak atas rencana pembangunan yang dilakukan oleh negara. Pada konteks perbedaan inilah sebetulnya negara hadir untuk mampu mewadahi aspirasi dan tuntutan mereka tanpa melepas atribut negara yang melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Hilangnya Kepercayaan

Belajar dari berbagai banyak kasus konflik SDA sebelum-sebelumnya yang melibatkan negara dengan masyarakatnya sendiri, justru semakin mendidik rasionalitas masyarakat yang tidak lagi tertipu pada gula-gula manis dari negara. Narasi kesejahteraan yang dibawa negara gagal tersampaikan di akar rumput dan diinterprretasikan secara bias oleh rakyatnya sendiri.

Banyak celotehan-celotehan yang mencuat ke publik, misalnya Sudjiwo Tejo melontarkan pernyataan dalam twitternya “kalau mengukur tanah itu pakai meteran, bukan pakai polisi.” Pernyataan nyeleneh ini seolah-olah ingin memberikan pesan menohok bagi negara bahwa bagaimanapun rakyat tetap harus dilindungi karena itu adalah kewajiban negara. frasa perlindungan di sini nampaknya gagal dipahami oleh negara sehingga pendekatan keamanan yang salah menjadi hal yang ditempuh oleh negara.

Kata dilindungi semestinya dipahami oleh negara bahwa keamanan hari ini tidak lagi sebagai keamanan yang state centric. Hal ini dikarenakan ketika keamanan itu diartikan sebagai state centric, maka negara akan sibuk memikirkan bagaimana negara itu mengamankan negara itu sendiri. Namun, negara perlu disadarkan kembali bahwa telah terjadi pergeseran yang luar biasa dari state centric menuju human centric.

Bukan lagi cara mengamankan negara tetapi bagaimana negara itu mengamankan manusianya yang juga rakyatnya. oleh karena itu konsep ini yang nampaknya tidak bisa dengan baik dicerna oleh negara sehingga ada upaya untuk melupakan bahwa melindungi adalah proses negara yang human centric.

Masyarakat Desa Wadas yang menolak kebijakan negara sekalipun bukan musuh negara. mereka bukan teroris, aggressor, atau ancaman bagi negara. bagaimanapun mereka akan tetap menjadi bagian dari masyarakat warga Indonesia. Pendekatan militeristik yang terjadi merupakan bentuk kegagalan negara di dalam memahami keamanan.

Padahal, pendekatan militeristik akan lebih kompatibel bila digunakan untuk persoalan masalah keamanan yang bersifat ancaman militeristik seperti perang, terror, dan agresi. Oleh karena itu pelajaran berharga pada kasus di Desa Wadas ini adalah negara perlu melakukan evaluasi diri terhadap penggunaan pendekatan keamanan yang selama ini masih tidak karuan.  

Hendy Setiawan