Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Ilustrasi politik (pixabay)

Baru saja Indonesia menghelat Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 yang diikuti setidaknya 270 daerah baik kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia. Meski menuai pro dan kontra pada kenyataanya Pilkada tersebut sukses digelar dan bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak atas terselenggaranya Pilkada tersebut secara lancar. Hal itu didasarkan pada asumsi di mana Pilkada yang diselenggarakan bersamaan dengan pandemi Covid-19 sehingga wajar bila muncul banyak kecemasan yang dialami oleh sebagian masyarakat.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia tentu instrumen pemilu menjadi aktualisasi nilai demokrasi yang sebenarnya. Pasalnya dengan pemilu masyarakat diberikan hak politik untuk menentukan pilihan politik mereka secara konstitusional demi membawa perubahan dan kemajuan daerahnya masing-masing sesuai dengan preferensi keyakinan yang telah dimilikinya.  

Diharapkan penyaluran hak politik masyarakat sesuai dengan keinginanya tanpa ada mobilisasi tekanan, ancaman dan bahkan paksaan. Melalui jalan tersebut disamping mengaktualisasikan nilai demokrasi sekaligus memastikan jika roda pemerintahan akan tetap berjalan dan berotasi sehingga menghindari kindship politik.

Kindship Politik dan Demokrasi

Menurut laporan The Indonesian Institute menegaskan jika setidaknya ada 52 calon kepala daerah dalam Pilkada 9 Desember kemarin yang mengarah pada kindship politik. Kindship politik sendiri dalam diskursus ilmu politik dimaknai sebagai upaya yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk menjadikan keluarganya baik itu suami, istri, anak, cucu, mertua, menantu ataupun sanak keluarga lainya menduduki jabatan politik secara bergantian.

Secara sederhana kindship politik dimaknai sebagai politik kekerabatan. Secara regulasi dalam demokrasi Indonesia hal tersebut sah-sah saja dilakukan namun secara moral dan etika maraknya kindship politik secara perlahan akan menyumbat nafas demokrasi.

Hal ini didasarkan pada nilai demokrasi yang esensial di mana demokrasi menghendaki pergantian kepemimpinan secara periodik dan memberikan kesempatan serta akses yang sama pada siapapun. Faktanya demokrasi yang terjadi hari ini diwarnai praktik kindship politik dan membuat sirkulasi elit hanya berputar pada pimpinan saja sehingga menutup celah kesempatan pihak lain.

Maraknya praktik kindship politik di Indonesia tidak lepas semenjak diberlakukannya pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005. Hal ini sekaligus menjadi babak baru bagaimana praktik kindship politik yang awalnya bersarang pada pucuk pimpinan telah mewariskan turunanya diberbagai daerah di Indonesia.

Praktik ini kian menjamur sekaligus menjadi motif di mana ketika petahana sudah lagi tidak memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri secara alternatif sanak keluarganya yang dijadikan alat untuk tetap mempertahankan dan menguasasi wilayahnya. Misalnya di Klaten, di Banten, di Sleman, dan banyak wilayah daerah di Indonesia yang cenderung bermain aman dengan kindship politik. Hal ini didasarkan modal sosial, ekonomi, politik, kultural secara otomatis sudah dibangunkan oleh sang keluarga terdahulu sehingga tidak membangun lagi mulai dari nol.

Patologi Kindship Politik?

Harus diakui bahwa praktik kindship politik telah melahirkan patologi demokrasi yang sangat kompleks. Demokrasi sebagai sistem yang semestinya menjunjung transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintahan namun faktanya justru menjadi sarang korupsi. Dan berbagai penelitian menunjukkan jika kindship politik telah menodai demokrasi yang disebabkan banyaknya oknum yang terlibat kasus korupsi.

Korupsi sebagai praktik tidak bermoral akan sangat dekat dengan pola kindship politik. Ada beberapa alasan mengapa kindship politik sangat erat dengat korupsi. Pertama dengan pola kindship politik maka akan memudahkan pembagian fee dan distribusi pengaturan sumber daya sasaran sehingga jarang terjadi konflik. Hal ini didasarkan pada hubungan pola kekerabatan sehingga menjadi stimulus dalam negosiasi distribusi sumber daya.

Kedua ialah adanya kecenderungan dalam praktik kindship politik untuk mengangkat dan memberikan sumber daya kepada sanak keluarganya karena masih ada relasi persaudaraan dan ada rasa dan orientasi untuk menikmati resource yang dikendalikanya. Melalui dua alasan tersebut kindship politik menjadi ruang patologi demokrasi dan telah mengakar kuat dalam praktik politik demokrasi Indonesia.

Kaderisasi Parpol

Harold Laswell seorang ilmuwan politik pernah mengatakan jika politik adalah terkait dengan “who gets what, when, and how”. Siapa berhubungan dengan aktor, apa berkaitan dengan sasaran yang diperebutkan yakni sumber daya, when berkaitan dengan waktu, dan bagaimana adalah berbicara tentang cara dan strategi dalam memenangkan kontestasi untuk mendapatkan dan menguasai sumber daya.

Pola pikir politik ala Harold Laswel tersebut nampaknya yang menjadi spirit nafas dan sumber inspirasi partai politik. Di mana di dalam kaderisasi politik yang paling penting adalah bagaimana partai mengusung calon yang sudah terbaca akan kemenanganya. Dan kindship politik telah menjadi pilihan alternatif yang mengantarkan partai politik tetap bisa ada dan bertahan tanpa melihat implikasi pilihan alternatif yang dimilikinya.

Oleh karena itu kaderisasi partai politik yang sehat menjadi penting untuk memelihara nilai sistem demokrasi. Partai politik sebagai infrastruktur politik memang penting dalam demokrasi namun juga harus melihat bahwa setiap orang juga memiliki kesempatan yang sama. Jangan sampai tampuk kepemimpinan digilir oleh satu keluarga saja sehingga menutup ruang dan kesempatan pihak lain.

Revitalisasi kaderisasi politik saat ini menjadi penting mengingat akhir-akhir ini kindship politik telah menjerumuskan wajah politik demokrasi Indonesia sebagai sarang patologi. Hal ini juga dikuatkan dengan data yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia (TII) tahun 2020 di mana Indonesia nilai skor Indeks Persepsi Korupsi semakin anjlok dan ini disumbang besar oleh praktik kindship politik di arena demokrasi.

Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)