Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Hendy Setiawan
Sebuah gambar yang diambil Maxar Satelit memperlihatkan sebuah kerusakan akibat serangan misil yang dilepaskan tentara Rusia di Ukraina pada Minggu (27/2/2022) waktu setempat. (Foto: AFP)

Beberapa waktu belakangan, mata dunia sedang terfokus dan menyaksikan krisis keamanan yang terjadi di Ukraina. Ketegangan politik antara Ukraina dan Rusia ini sebenarnya telah berlangsung lama. Apalagi sejak Rusia menganeksasi wilayah Krimea tahun 2014 silam.

Berbagai prediksi sebelumnya pernah diutarakan beberapa pengamat politik keamanan, bahwa Ukraina akan menghadapi tekanan dan ancaman serius dari Rusia. Prediksi itu tampaknya benar-benar terjadi. Tepatnya pada Kamis, 24 Februari 2022, dalam pidatonya Presiden Rusia yakni Vladimir Putin resmi akan melakukan operasi militer khusus di Ukraina. Tidak berselang lama setelah Putin pidato, akhirnya kekuatan militer rusia melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan petinggi Rusia itu, yakni melakukan invasi ke Ukraina. 

Hal ini justru semakin menciptakan ketegangan, tidak hanya Rusia-Ukraina. Masyarakat secara global juga terdampak. Rusia sebagai negara adikuasa dengan kekuatan militer nomor dua di dunia versi Global Fire Power 2022 dankekuatan ekonomi dunia  sekaligus pemegang hak veto di PBB, tampaknya tidak ingin wilayah-wilayah pecahannya (Uni Soviet) terpengaruh ke Negara Barat.

Hal itu terlihat bagaimana Rusia tidak ingin Ukraina masuk dalam pakta pertahanan di aliasi NATO. Ukraina sendiri pada dasarnya merupakan wilayah pecahan Uni Soviet di mana pada saat itu, negara tersebut dulunya digunakan sebagai tempat penyimpanan persenjataan Uni Soviet. Oleh karena itu Rusia tidak menginginkan Ukraina dikelilingi oleh negara-negara yang berafiliansi dengan NATO. 

Solusi dalam Krisis

Krisis keamanan yang dibuat oleh Rusia semakin nyata ketika invansi skala penuh dilakukan ke Ukraina. Hal ini sangat tidak seimbang secara kekuatan militeristik. Bagaimanapun, jika dibiarkan, Ukraina akan kalah baik dari segi persenjataan maupun sumber daya tentaranya. Oleh karena itu, guna merespons tersebut, negara-negara di dunia mulai memberikan sanksi keras terhadap Rusia. Misalnya seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, hingga Kanada. Bahkan secara ekonomi Rusia secara perlahan akan dilumpuhkan.

Apa yang telah dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina telah bertentangan dengan Piagam PBB di mana ada penghianatan terhadap perdamaian dan resolusi konflik sebagai tujuan dibentuknya lembaga dunia ini. Berbagai sanksi dunia telah dijatuhkan ke Rusia dengan pertimbangan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Rusia sampai kapanpun tidak dibenarkan. Banyak rakyat Ukraina yang menderita. Oleh karena itu, komunitas internasional tidak boleh hanya menjadi penonton, tetapi harus ikut mencari solusi damai agar invasi Rusia dapat dihentikan.  

Tekanan yang diberikan oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan kawan-kawanya terhadap Rusia tampaknya tidak membuat nyali negara tersebut menjadi ciut. Apalagi memang secara historis antara Rusia dan Amerika Serikat saling berseberangan. Walaupun sanksi ekonomi yang keras telah dijatuhkan, tetapi bisa saja Rusia menjalin hubungan ekonomi dengan China. Hal ini dikuatkan dengan keadaan China yang berseberangan pula dengan Amerika Serikat. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan bahwa invansi ini akan secepatnya dihentikan.

Menanti Peran Indonesia

Berbagai negara-negara di dunia telah memberikan sikap tegas kepada Rusia. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Singapura tercatat sebagai negara yang pertama kali memberikan sanksi kepada Rusia. Posisi Indonesia sampai saat ini masih menyatakan sikap secara lisan maupun tertulis dan belum ada tanda-tanda mengambil sikap tegas. Padahal Indonesia sangat diuntungkan dengan posisi politik luar negerinya yang bebas aktif, sehingga peluang untuk memfasilitasi jalan negosiasi antara Rusia-Ukraina terbuka lebar. Politik bebas aktif ini akan memudahkan Indonesia untuk bergerak ke negara-negara yang berkonflik, karena Indonesia tidak masuk ke dalam satupun blok, baik itu Barat taupun Timur. 

Selain posisi politik luar negeri bebas aktif, Indonesia juga tengah menjalankan amanah sebagai tuan rumah Presidensi G20. Walaupun momen ini menjadi forum ekonomi, keuangan, dan pembangunan dengan negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi besar, bukan berarti krisis keamanan tidak mampu diakomodasi. justru presidensi G20 ini menjadi momentum yang sangat tepat, di mana dengan kepemimpinan ini, negara-negara yang terlibat dalam G20 menyerukan Rusia-Ukraina untuk segera menghentikan tindakan-tindakan militer dengan duduk melalui meja perundingan yang lebih elegan. Langkah-langkah militer justru akan semakin menekan krisis keamanan dan akan memakan jumlah korban jiwa lebih banyak. 

Jalur Perundingan

Invasi yang telah dilakukan oleh Rusia ke Ukraina tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan militer. Bila pendekatan itu tetap saja dilakukan, maka bukan akan menyelesaikan konflik kedua belah pihak. Sebaliknya, justru memicu krisis keamanan yang lebih mesar, tidak hanya sub nasional, atau nasional, tetapi dalam skala global.

Sudah menjadi global norm bahwa dialog dan perundingan menjadi jalan yang paling ampuh untuk menghentikan eskalasi invasi ini. Indonesia tidak boleh hanya diam dengan sikap tertulis maupun lisan. Namun, harus memelopori dengan tindakan nyata dengan senjata politik luar negerinya yak bebas aktif. Indonesia atas posisinya itu ditambah dengan tuan rumah G20 presidensi ini diharapkan oleh komunitas Internasional tampil sebagai juru damai.

Hendy Setiawan