Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | wahyu prihartanto
Petugas pemadam kebakaran memadamkan api di blok apartemen yang terkena rudal serangan militer Rusia di Kyiv, Ukraina, Sabtu (26/2/2022). [GENYA SAVILOV / AFP]

Saat itu, Uni Soviet adalah salah satu negara adikuasa pemenang Perang Dunia II. Di rentang tahun 1947 hingga 1991, negara tersebut menjadi pemimpin aliansi negara komunis selama berlangsung Perang Dingin. Setelah 69 tahun berdiri, negara tersebut mengalami keruntuhan pada akhir 1991, meskipun tanda-tanda keruntuhan Uni Soviet mulai terasa sekitar tahun 1980, ditandai anjloknya perekonomian negara, dan terus berlanjut hingga tahun 1991.

Dampak negatif akibat anjloknya perekonomian menerpa seluruh aspek kehidupan negara Uni Soviet. Hal itu terjadi disebabkan adanya ketidakpuasan kelompok menengah terhadap sistem komunisme, sistem ekonomi sentralistik, korupsi di mana-mana, serta adanya gerakan separatisme anti-pemerintah. Meskipun pemerintah Uni Soviet melalui Presiden Mikhail Gorbachev telah melakukan restrukturisasi politik dan ekonomi, tapi kebijakan tersebut justru dinilai sebagai blunder percepatan kejatuhan Uni Soviet.

Kebijakan perestroika yang dianggap kontra produktif justru memunculkan keinginan negara-negara bagian untuk memisahkan diri dari Uni Soviet. Beberapa negara bagian menilai sistem komunisme tidak mampu lagi beradaptasi dengan perkembangan zaman. Akhirnya, negara-negara bagian tersebut mulai melepaskan diri dari Uni Soviet pada medio pertengahan 1991, dan salah satu dari negara tersebut kini bernama Ukraina.

Dalam perkembangannya, meskipun Perang Dingin Blok Barat dan Blok Timur telah berakhir. Namun, dua poros kekuatan tersebut tetap mengakar hingga saat ini. Blok Barat didukung oleh Negara-negara Eropa dibawah komando Amerika Serikat. Sementara Rusia mengkultuskan diri sebagai koordinator Blok Timur dan mendapat dukungan dari sebagian bekas negara bagiannya, beberapa Negara Islam dan sebagian negara dari kawasan Asia.  

Ukraina sebagai salah satu bekas negara bagian dianggap mbalelo dan berafiliasi Barat di bawah sekutu Amerika Serikat. Reaksi atas kembaleloan tersebut, “mungkin” yang mendorong Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim bala tentara untuk menyerang Ukraina beberapa hari lalu. Alih-alih menguntungkan negara kita, ternyata aksi penyerangan ini justru berdampak pada segala aspek kehidupan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Apapun itu, namanya invasi militer tidak dapat ditolerir karena tidak hanya mengancam ekonomi Rusia dan Ukraina, tapi juga sampai ke Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak mentah, saat ini kita dihadapkan pada kenaikan harga minyak dan gas dalam pekan terakhir. Kondisi pasar modal, nilai tukar, inflasi, dan seterusnya, ikut terdampak dengan adanya kenaikan harga minyak mentah tersebut.

Dalam kondisi peperangan, eskalasinya bisa meluas dan melibatkan banyak negara. Hal ini, sangat mungkin dapat mempengaruhi stabilitas kawasan, dan pada gilirannya merugikan prospek pemulihan, stabilitas moneter di Indonesia. Diperparah dengan kebijakan tapering off dan kenaikan suku bunga oleh negara-negara maju

Apakah kondisi seperti ini kita diamkan? Seyogyanya tidak, apalagi negara kita sedang gencar-gencarnya membangun berbagai proyek nasional yang membutuhkan pembiayaan. Ketika nilai tukar mata uang kita terjerembab sedangkan kebutuhan barang import kita tinggi, sangat mungkin kita gagal bayar karena uang kita tergerus. Maka, ada baiknya hal ini menjadi bahan perenungan bersama bagaimana sebaiknya kita bersikap.   

Sebenarnya kalau kita flashback ke pelajaran di sekolah dulu, seorang guru pernah menjelaskan bahwa para pendiri bangsa ini berkeinginan pengelolaan negara kita dalam berhubungan dengan negara-negara lain berlandaskan politik bebas aktif. Bebas memilih tanpa memihak, dan aktif turut serta dalam menjaga ketertiban dunia. Sebagai warga negara melihat peristiwa itu, cukup tidak terpancing dan tidak terprovokasi dengan isu-isu identitas adalah sikap bijak.

Bangsa ini memang pernah punya sejarah kelam dengan komunisme, latar belakang Uni Sovyet meskipun telah bereinkarnasi menjadi Rusia, tentu belum luput dari ingatan kita. Meskipun kebijakan Pemerintahan Putin saat ini lebih ramah terhadap muslim, apalagi didukung oleh negara-negara Islam, maka ketika sentimen-sentimen identitas tidak berhasil diredam akan mendorong sikap membabi buta. Dan, hal ini sangat berbahaya.

Sebagai masyarakat heterogen, terbaik adalah bersatu padu untuk bergerak sesuai peran dan fungsi masing-masing. Kita perbaiki ekonomi keluarga dengan cara mencari alternatif pengganti produk barang yang harganya belum terjangkau dompet kita. Gerakan gotong-royong untuk saling meringankan antara  si kuat dan si lemah juga perlu digelorakan kembali.

Relevan atau tidak hingga saat ini negara kita masih berkarakter sebagai negara agraris. Kita bisa tanam hamparan sawah dan ladang kita dengan berbagai tumbuhan untuk melampaui kebutuhan pangan kita. Dengan begitu, rasanya swasembada pangan tidak lagi menjadi slogan belaka.

Terakhir, urusan Rusia-Ukraina, mari dorong Pemerintah untuk memberikan urun-rembug atas pengakhiran peperangan bersama lembaga pendamai perselisihan antar bangsa. Teringat, ketika seorang ayah menghajar anaknya, gara-gara anaknya melapor untuk mencari pembelaan setelah betengkar dengan temannya. Bagi ayah, setiap pertengkaran semua berkontribusi salah, dan wajib minta maaf satu dengan lainnya.

*Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

wahyu prihartanto