Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Aninditha Nur Shafira
Ilustrasi ini menampilkan aktivitas jogging sebagai rutinitas ringan yang menyehatkan tubuh sekaligus menyegarkan pikiran sebagai simbol gaya hidup yang makin digemari.(Freepik.com/jcomp).

Di tengah fenomena gaya hidup sehat dan produktif, lari menjadi tren olahraga yang sedang booming dan makin digemari oleh masyarakat dari berbagai lapisan usia, terutama kalangan Gen Z di tahun 2025. Jalanan kota pun ramai dipenuhi ribuan anak muda yang tampil dengan outfit colorful, lengkap dengan smartwatch di pergelangan tangan dan earphone nirkabel yang menempel di telinga.

Di Indonesia sendiri, tren lari ini pasalnya bukan hanya sebagai olahraga, melainkan juga bagian dari fashion, eksistensi, dan citra di media sosial. Namun, yang perlu di highlight adalah apakah ini benar-benar gerakan gaya hidup sehat, atau sekadar imbas FOMO (Fear of Missing Out)?

Menurut data dari aplikasi Garmin Connect menunjukkan bahwa partisipasi dan antusiasme dalam aktivitas lari di Indonesia terus melesat dari waktu ke waktu. Pada Desember 2024, tercatat sebanyak 142.975 aktivitas lari. Angka ini terus naik menjadi 175.969 di April 2025, sebelum melonjak drastis menjadi 242.627 aktivitas lari pada Mei 2025. Tren ini menjadikan lari sebagai olahraga dengan pertumbuhan sosial tercepat di negara ini.

Sehat atau Sekadar Terlihat?

Ilustrasi seseorang yang tengah rehat di sela jogging sambil mengabadikan suasana sekitar lewat foto. (Freepik.com/wosunan)

Faktanya, olahraga lari kini telah berevolusi melampaui fungsi dasarnya sebagai aktivitas fisik. Mereka yang berlari dengan sepatu branded dan membagikan potret estetik di Instagram atau cuplikan konten di TikTok, menampakkan bahwa olahraga lari ini sebagai pernyataan status dan juga gaya hidup kekinian. Namun dibaliknya, terselip anggapan bahwa media sosial tampaknya memainkan peran ganda yang memicu FOMO, yang kemudian membuat banyak anak muda ikut-ikutan arus tren ini, bukan semata untuk kesehatan, tapi agar tak ketinggalan dalam pusaran tren zaman.

Alih-alih lari yang seharusnya tentang self-care atau jaga kesehatan, kini makin sering dijadikan ajang popularitas atau mari sebutlah sebagai kompetisi digital demi kebutuhan konten agar dapat tampil keren di media sosial. Tak jarang juga, banyak orang lebih sibuk memikirkan angle foto yang estetik atau outfit yang matching ketimbang manfaat kebugarannya. Fenomena ini jadi isyarat bahwa perlahan-lahan validasi digital mulai mengambil alih esensi olahraga itu sendiri. Maka kini lari pun tak lagi semata soal self-care, melainkan berubah jadi self-display.

Ketika 'likes' dan komentar dijadikan sebagai parameter keberhasilan berlari, maka esensi olahraga sebagai bentuk apresiasi untuk tubuh pun perlahan hilang. Lari pun tak lagi sekadar tentang detak jantung atau jarak tempuh, melainkan tentang seberapa besar atensi yang bisa didapat dari postinganmu.

Lari Biar Sehat atau Biar Nggak Kudet?

Ilustrasi seseorang yang menyempatkan diri berbagi suasana sekitar di tengah aktivitas jogging.(Istockphoto.com/MTStock Studio)

Kamu mungkin sering melihat timeline media sosial dipenuhi story teman-temanmu yang rutin lari di setiap pagi, biasanya di weekend, ikut tren virtual race, bahkan memamerkan pace sempurnanya. Sementara itu, kamu masih struggling buat lari 2 kilometer saja. Ketika pace-mu lebih lambat atau konsistensimu nggak seintens orang lain, kadang muncul perasaan minder. Padahal, hakikat olahraga bukanlah tentang membandingkan diri dengan orang lain. Karena setiap tubuh punya ‘bahasa’-nya sendiri, punya kapasitas, ritme, dan progres yang berbeda. Lari seharusnya menjadi dialog dengan diri sendiri, bukan malah dijadikan kompetisi digital untuk dapat validasi sosial.

Ironisnya, hal ini semacam bukan perihal kesehatan yang jadi motivasi utama, tapi rasa takut ‘kudet’ (kurang update). Kamu pun mulai merasa perlu ikut tren dan kemudian diposting juga. Inilah wajah baru ‘FOMO olahraga’ yang menjangkiti banyak Gen Z tanpa mereka sadari. Meski begitu, tak bisa dipungkiri tren ini banyak juga yang berhasil memotivasi banyak orang dari berbagai kalangan untuk mulai lagi dengan tujuan kesehatan meski awalnya hanya ikut-ikutan.

Meski tren lari terkesan dipandang sebagai ajang kompetisi digital, faktanya banyak dari mereka yang konsisten melaporkan manfaat konkretnya. Mulai dari tingkat stres yang turun 50%, kondisi mental jauh lebih stabil, kondisi fisik menjadi lebih bugar, sampai kulit tampak jauh lebih segar dan kencang. Fakta menariknya, tak sedikit Gen Z yang akhirnya menjadikan lari sebagai rutinitas dari gaya hidup yang berkelanjutan setelah merasakan langsung dampak positifnya terutama bagi kesejahteraan mental mereka.

Dari awalnya sekadar ikut-ikutan (FOMO), olahraga lari kini bisa dikatakan sebagai bagian dari identitas Gen Z—simbol gaya hidup sehat sekaligus cara mereka terhubung dengan komunitas. Karena pada akhirnya, lari bukan sekadar estetika atau tren sesaat, melainkan tentang konsistensi yang membentuk kebiasaan yang sehat.

Lalu kemudian, akankah tren ini berubah menjadi gaya hidup sekaligus habit atau cuma tren musiman? Jawabannya, mungkin tergantung pada seberapa besar mereka merasakan manfaatnya, baik secara fisik, mental, dan sosial. Jadi, kita tunggu saja perkembangannya.

Aninditha Nur Shafira