Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Supriyadi supriyadi
Ilustrasi minyak goreng yang ada di display sebuah minimarket. [Istimewa]

Hari-hari ini, baik pagi ketika sedang berangkat kerja, dan juga sore ketika sedang pulang kerja, di dekat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) laju sepeda motor saya terjebak kemacetan yang luar biasa. Kemacetan ini terjadi bukan adanya perbaikan jalan atau pun kecelakaan lalu lintas. Namun, hal ini terjadi karena banyak kendaraan dan truk-truk besar dari yang beroda empat, beroda enam hingga beroda sembilan yang bermesin diesel banyak yang berjajar atau parkir di sepanjang jalan di dekat SPBU tersebut untuk dapat atau memperoleh bahan bakar solar. Bahkan menurut informasi beberapa di antara truk-truk tersebut harus rela menginap di jalanan hanya untuk mendapatkan bahan bakar solar.

Sebagai seorang yang tinggal di Pekanbaru, Provinsi Riau, di mana di perut buminya terdapat kekayaan sumber daya alam yang berupa minyak bumi, rasanya sungguh tak bisa diterima akal jika kemudian rakyatnya yang tinggal di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau itu justru harus mengantre untuk mendapatkan bahan bakar minyak seperti solar tersebut.

Apa lagi kita juga tahu bahwa hari-hari ini minyak bumi di Riau dikelola oleh bangsa sendiri semenjak tahun 2021, ketika perusahaan dari Amerika Serikat habis kontrak. Kita tidak tahu, apa sesungguhnya yang terjadi kenapa solar begitu langka di negeri kaya minyak seperti di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau ini? 

Kelangkaan solar tersebut tentu bukan hanya akan mengakibatkan kemacetan yang luar biasa yang mengganggu lalu lintas serta mobilitas penduduk khususnya di Kota Pekanbaru dalam bekerja ataupun berkarya sehari-hari. Namun, kelangkaan bahan bakar solar tersebut juga bisa berdampak serius terhadap pasokan sembilan bahan pokok atau yang lainnya untuk cepat sampai ke tujuan.

Ini tentunya jika tidak diatasi secara cepat juga bisa berdampak pada kelangkaan atau naiknya harga sembilan bahan pokok tersebut. Mengingat ongkos pengiriman dan operasional juga akan membengkak. Pasalnya, kelangkaan bahan bakar solar pastinya juga akan membuat waktu pengiriman lebih lama sampai ke tempat tujuan.

Lain solar, lain pula minyak goreng. Seorang kawan sesama teman kantor pada jam makan siang, dia buru-buru keluar untuk istirahat dan makan. Namun ketika ditunggu masuk kantor kembali lama sekali datangnya. Ketika sudah sampai kantor dan ditanya kenapa kembalinya sangat lama, beliau kemudian menjawab bahwa harus ikut antre beli minyak goreng terlebih dulu. 

Apa yang disampaikan teman saya tersebut membuat saya makin tertegun. Betapa tidak, di Negeri Lancang Kuning Provinsi Riau ini, yang terkenal dengan perkebunan sawitnya, yang melimpah ternyata untuk soal minyak goreng pun terjadi kelangkaan. Bahkan sempat kosong di mini market-mini market.

Provinsi Riau yang memiliki lahan sawit jutaan hektar, bahkan jika kita naik pesawat terbang dan sedang terbang di atas Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau, ketika kita melihat ke bawah yang terlihat adalah hamparan lahan perkebunan sawit yang begitu sangat luas. Namun hari-hari ini rakyatnya benar-benar dibuat kalang kabut oleh langkanya minyak goreng sebagai satu dari sembilan bahan pokok untuk keperluan masyarakat ini.

Memang sungguh ironi. Riau yang terkenal dengan melimpahnya sumber daya alamnya berupa minyak bumi dan perkebunan sawit, masyarakatnya merasa merana.  kelangkaan bahan bakar berupa solar dan juga minyak goreng. Maka kalimat yang berupa sindiran yaitu “Bawah Minyak, Atas Minyak, Tengah-tengah antre Minyak” benar-benar terbukti, setidaknya untuk saat ini. 

Untuk itu, agar persoalan kelangkaan bahan bakar minyak berupa solar dan kelangkaan minyak goreng di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau ini tidak menyulut  persoalan sosial yang lebih luas. Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang harus segera mencari solusi dan jalan terbaik agar bahan bakar minyak berupa solar dan juga minyak goreng tidak terjadi kelangkaan lagi. 

Supriyadi supriyadi