Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Afidah Nur Aslamah
Ilustrasi minyak goreng. [Istimewa]

Ketersediaan stok minyak goreng yang masih langka di pasaran membuat masyarakat terus resah. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa per 1 Februari 2022 lalu, pemerintah telah menetapkan HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Kebijakan ini ditempuh lantaran mulanya kenaikan harga minyak goreng sudah terjadi sejak bulan November 2021, dimana harga minyak goreng kemasan bermerek dibanderol Rp24.000 per liter. Kendati demikian, hingga saat ini justru minyak goreng tetap langka dan sulit ditemukan di pasaran.

Apakah penyebab pasti kelangkaan tersebut? Akankah kelangkaan ini dipicu oleh adanya penimbunan minyak goreng yang dilakukan sejumlah oknum?

Dikutip dari Kompas.com (26/11/2021) Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam.

Selain itu, faktor yang menyebabkan harga minyak di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua. Sehingga, kata dia, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng.

Penyebab lain yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Disinyalir adanya kemungkinan penimbunan yang dilakukan oleh oknum tertentu, Kementerian Perdangangan bekerja sama dengan Satgas Pangan kabupaten/kota dan telah menemukan langsung dilapangan bahwa terjadi beberapa penimbunan minyak goreng yang terjadi di Sumatera Utara dan Kalimantan. Minyak goreng yang ditimbun dalam jumlah banyak tersebut memang sengaja tidak didistribusikan ke pasaran. 

Masalah ekonomi yang kini dihadapi oleh masyarakat disebut sebagai fenomena kelangkaan dalam sistem ekonomi konvensional. Menurut Sukirno (2015) kelangkaan atau kekurangan berlaku sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor yang tersedia dalam masyarakat.

Pendapat itu tidak sejalan dengan pandangan beberapa ekonom muslim kontemporer. Salah satunya yaitu Baqir As-Sadr, seorang ekonom muslim dari Irak. Beliau berpendapat bahwa sumber daya pada hakikatnya melimpah dan tidak terbatas.

Pendapat ini didasari oleh dalil yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah dengan segala ukuran yang setepat-tepatnya. Segala sesuatunya telah diukur secara sempurna. Allah juga telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia.

Baqir As-sadr juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa keinginan manusia tidak terbatas. Beliau berpandangan bahwa manusia akan berhenti mengonsumsi suatu barang dan jasa jika tingkat kepuasan terhadap barang dan jasa menurun atau nol.

Sehingga yang menjadi masalah utama ekonomi adalah bukan kelangkaan namun tidak meratanya distribusi sumber daya kepada seluruh manusia atau dalam konteks ini yaitu tidak meratanya distribusi minyak goreng mulai dari level produsen hingga konsumen. 

Proses distribusi inilah yang menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan primer masyarakat dengan memprioritaskan kebijakan yang mengarah pada pemenuhan domestik terlebih dahulu.

Dalam Islam, negara menetapkan kebijakan untuk rakyat guna menjalankan kewajiban sebagaimana apa yang menjadi ketetapan Allah dan Rasulnya yaitu mewujudkan pengelolaaan sumber daya yang adil dan tepat kepada seluruh masyarakat.

Salah satu solusi yang dapat ditempuh ditengah masalah ini yaitu menjalankan politik distribusi perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap rantai niaga penawaran (supply chain) sehingga tercipta harga keutuhan atau harga barang secara wajar dengan pengawasan.

Dengan demikian, diharapkan pasar dapat terjada dari kecurangan beberapa oknum dalam melakukan penimbunan, penetapan harga, penipuan, dan lain sebagainya. 

Semoga pemerintah dapat menemukan formula kebijakan yang tepat dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng ini. Penerapan sistem ekonomi Islam yang kaffah seyogianya dapat menjadi acuan pengambilan keputusan dengan segala hukumnya yang sesuai syariat.

Persoalannya juga terletak pada bagaimana sikap bijak masyarakat dalam mengonsumsi minyak goreng. Mengedepankan rasa syukur dan memegang kuat prinsip qonaah (merasa cukup) diyakini dapat mencegah penimbunan barang-barang karena menyadari bahwa segala sesuatu telah Allah takdirkan sedemikian rupa dan Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kesanggupan hambanya. Wallahu’alam bisshawab.

Afidah Nur Aslamah

Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah, Universitas Indonesia

Afidah Nur Aslamah