Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Yoga Yurdho
Ilustrasi Krisis Identitas. [Freepik.com]

Karakter adalah suatu hal yang melekat dalam diri manusia, lebih dari itu, karakter juga merupakan ciri khas yang mempresentasikan diri tanpa harus panjang lebar berbicara. Dengan mempunyai karakter, tentunya akan mudah dikenal dan diingat oleh orang lain. Berbeda apabila tidak memiliki karakter sama sekali, mungkin akan susah dikenali dalam pertemuan singkat. 

Apa yang membuat kita dapat dikenali tanpa harus menjadi pusat perhatian? Sebagian orang banyak ketika ingin menjadi pusat perhatian mereka berusaha untuk terlihat mencolok, entah dari segi penampilan atau dari segi kelakuan. Tak heran kita seringkali melihat orang-orang yang rela bertingkah konyol, bahkan merendahkan diri sendiri hanya untuk dinotice oleh orang banyak. Pengakuan adalah salah satu hal yang diinginkan oleh manusia.

Namun, seringkali lupa, bahwa menjadi diri sendiri dan tak harus mengikuti kendendak orang lain adalah sebuah kemerdekaan diri. Ketika kita sudah mensyukuri apa yang ada di di dalam diri dan menyadari segala potensinya, maka disitulah lahirnya percaya diri. Saat kepercayaan diri lahir, dengan sendirinya karakter akan terpancar.

Memang benar, kita hidup tak dapat lepas dari pengaruh orang lain, segala pemikiran, tindakan, dan ucapan seringkali terpengaruh oleh orang lain secara disadari atau tidak. Jika menilik lebih dalam dan mengambil sisi positifnya, kita bisa mempunyai banyak referensi dan opsi, tetapi juga sisi negatifnya kita akan selalu ketergantungan oleh tuntutan sosial yang mengharuskan kita seragam tanpa terkecuali. 

Nyatanya menjadi diri sendiri di tengah gencatan serangan sosial dari segi apa pun sangat menyenangkan. Kita tak perlu memikirkan trend pakaian anak muda, handphone kebanggaan anak muda, dan segalanya. Secara tak langsung kita menjadi terkungkung dengan stigma sosial yang diciptakan oleh mereka. Bahkan kini sudah ada istilah starter pack, seperti pakaian dan alat wajib yang harus digunakan ketika ke kampus, ke mall, sampai nongkrong bersama teman.

Memang bagus, kita menjadi peduli dengan penampilan. Namun ironinya, ketika kita merasa tak mampu, kita memaksakan untuk ikut terjun ke dalam stigma sosial tersebut. Inilah yang berbahaya, seakan kita krisis identitas dan tak percaya diri dengan apa yang kita gunakan, termasuk barang dan pakaian. Kepercayaan diri seakan susah didapat ketika memakai pakaian yang tidak branded, sifat memaksakan mengikuti perkembangan zaman di kalangan anak muda begitu kentara, padahal apa salahnya jika menjadi biasa-biasa saja?

Lebih lucunya lagi, setiap pertemanan memiliki golongan-golongan tersendiri yang kemudian mereka menyebutnya dengan circle. Contoh kasusnya semisal, ketika kamu tidak menggunakan ponsel dengan merek tertentu, maka kamu tidak bisa masuk pertemanan mereka. Kini nilai pertemanan tak lagi diukur dengan kepedulian dan keasyikan satu sama lain. Secara tak langsung kelas sosial di kalangan anak muda terlihat dengan jelas, apalagi di kota-kota besar dengan gaya hidup hedon.

Sejatinya, untuk menjadi diri sendiri tidak terlalu begitu sulit. Hanya saja rasa egois dan tak mampu menerima keadaan begitu sulit untuk diakui. Kualitas diri bukan dilihat dari barang dan pakaian yang kita pakai, melainkan dari pemikiran dan sikap yang kita tunjukkan. Rasanya percuma ketika terus menjadi budak dalam stigma sosial yang mengangkang, untuk apa Tuhan memberikan kemerdekaan apabila tak kita gunakan. Ketika semua orang mencari pengakuan, menjadi biasa saja adalah hal yang luar biasa.

Yoga Yurdho