Pagi hari di sekolah dasar mana pun di Indonesia biasanya dipenuhi keriuhan khas: tawa anak-anak, deru motor para orang tua, dan barisan kecil yang mengantre di gerbang sambil membawa tas sekolah warna-warni.
Tapi jika diperhatikan lebih dekat, ada pola yang muncul dan makin sering kita temui: mayoritas anak datang bersama ibu, nenek, bahkan ojek langganan jarang sekali bersama ayah.
Fenomena ini bukan kebetulan semata, melainkan bagian dari realitas sosial yang perlahan tapi pasti membentuk wajah baru masyarakat Indonesia: generasi yang tumbuh tanpa kehadiran ayah di momen-momen penting kehidupannya. Inilah yang disebut sebagai fenomena fatherless, atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak.
Fenomena fatherless bukan hanya tentang ayah yang benar-benar pergi atau meninggalkan rumah secara fisik. Di era modern ini, fatherless juga mencakup kehadiran ayah yang sebenarnya ada, namun tidak benar-benar hadir secara emosional, psikologis, dan relasional dalam kehidupan anak.
Di tengah kesibukan mencari nafkah, tekanan peran gender, dan budaya patriarki yang mengaburkan sensitivitas laki-laki terhadap kebutuhan emosional anak, banyak ayah hari ini justru absen saat anak-anak mereka paling membutuhkannya.
Satu aktivitas sederhana mengantar anak ke sekolah menjadi simbol penting. Di balik kegiatan yang terlihat sepele itu, tersembunyi makna yang sangat dalam: penguatan ikatan emosional, pengajaran nilai, kehadiran nyata dalam rutinitas anak, dan dialog harian yang membangun kelekatan.
Ketika ayah jarang atau bahkan tidak pernah melakukannya, pesan sunyi yang ditangkap anak adalah: “Ayah tidak punya waktu untukku.”
Dalam banyak keluarga, ayah dianggap cukup menjalankan perannya jika ia bekerja, membawa pulang uang, dan memastikan semua kebutuhan materi anak terpenuhi. Tapi realita menunjukkan bahwa kebutuhan emosional anak terhadap figur ayah tidak kalah penting.
Tanpa kehadiran ayah, anak cenderung tumbuh dalam kekosongan figur maskulin yang sehat. Mereka kehilangan sosok rujukan untuk belajar keberanian, ketegasan, dan integritas.
Krisis ini sebenarnya ada di depan mata, namun jarang dibahas secara terbuka. Setiap pagi di depan sekolah, kita melihat wajah-wajah kecil yang menanti bukan hanya menanti masuk kelas, tapi juga menanti kehadiran sosok ayah yang semakin asing dari rutinitas mereka.
Kita menyaksikan pemandangan yang sama setiap hari, namun gagal membaca pesan yang tersembunyi: bahwa makin sedikit ayah yang mengambil peran langsung dalam kehidupan anak, terutama dalam hal sekecil tapi bermakna seperti mengantar ke sekolah.
Ini bukan soal siapa yang lebih banyak punya waktu, melainkan soal siapa yang memilih untuk hadir. Ketika ayah tidak mengambil bagian dalam momen-momen kecil kehidupan anak, seperti rutinitas pagi, yang terjadi bukan hanya ketiadaan fisik, melainkan kerapuhan emosional yang pelan-pelan terakumulasi.
Anak kehilangan bukan hanya seorang pengantar, tapi juga pelindung, panutan, dan sumber nilai kehidupan. Di banyak keluarga utuh sekalipun, ayah tetap menjadi figur yang "asing" bagi anak.
Mereka mungkin tinggal di bawah atap yang sama, namun hadir hanya sebagai simbol tidak pernah benar-benar terlibat dalam percakapan bermakna, tidak pernah hadir di acara sekolah, tidak pernah membaca buku bersama anak, apalagi berbagi nilai dan pengalaman hidup.
Kehilangan figur ayah bukan sesuatu yang sepele. Psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak laki-laki yang tumbuh tanpa kelekatan dengan ayah lebih rentan mengalami krisis identitas, agresivitas, hingga penyimpangan perilaku.
Anak perempuan pun bisa mengalami luka batin berupa ketidakpercayaan terhadap laki-laki, pengulangan pola relasi yang disfungsional, hingga rendahnya harga diri.
Di sekolah, anak-anak fatherless sering menunjukkan gejala yang sulit dilacak: sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, enggan bersosialisasi, atau justru mencari perhatian berlebihan.
Mereka membawa "lubang emosional" yang tak terlihat ke dalam kelas. Guru mungkin mengira mereka nakal atau malas, padahal mereka hanya ingin ditemani, didengar, dan dikenali.
Mengantar anak ke sekolah bukan hanya tentang menyetir motor atau mobil. Itu adalah bentuk komunikasi tanpa kata. Itu adalah momen di mana anak merasa dilihat dan diprioritaskan. Ketika seorang ayah bangun lebih pagi, membimbing anak bersiap, lalu mengantarnya ke sekolah, ia sedang mengirim pesan psikologis yang kuat: “Aku hadir untukmu.”
Di era ketika waktu menjadi barang langka, tindakan sederhana seperti ini justru menjadi penanda cinta yang paling tulus. Ia tidak membutuhkan biaya mahal, tidak butuh keahlian khusus hanya butuh kemauan untuk hadir secara utuh.
Tapi sayangnya, tindakan ini kerap diambil alih oleh ibu, karena ayah dianggap terlalu sibuk, terlalu lelah, atau terlalu “tidak biasa”.
Salah satu akar dari fenomena fatherless ini adalah konstruksi budaya yang sempit tentang peran laki-laki sebagai pencari nafkah semata.
Di banyak komunitas, laki-laki yang terlalu dekat dengan anak dianggap “lemah”, “tidak maskulin”, atau “tidak produktif”. Ayah yang menyuapi anak atau mengantar ke sekolah kerap dipandang aneh, bahkan diejek. Ini menciptakan tekanan sosial yang membungkam sisi pengasuhan dari laki-laki.
Padahal, keterlibatan ayah bukan hanya hak anak, tapi juga hak ayah itu sendiri. Banyak laki-laki yang sebenarnya ingin lebih dekat dengan anaknya, tapi tidak punya ruang, contoh, atau keberanian untuk melakukannya. Mereka terjebak dalam ekspektasi maskulinitas yang menyempitkan peran mereka sendiri.
Media massa memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk citra ayah yang positif. Sayangnya, banyak narasi di iklan, film, atau sinetron yang masih menggambarkan ayah sebagai figur kaku, pemarah, dan jauh.
Jarang sekali kita melihat representasi ayah yang hangat, sabar, dan terlibat dalam kehidupan anak sehari-hari. Narasi ini perlu diubah. Kita butuh lebih banyak cerita tentang ayah yang mengantar, menunggu anak di sekolah, membantu mengerjakan PR, atau bahkan menangis bersama anaknya.
Kampanye nasional tentang pentingnya keterlibatan ayah perlu digalakkan. Hari Ayah bukan sekadar seremoni, tetapi harus menjadi momentum refleksi: sudah sejauh mana kita memberikan ruang bagi para ayah untuk hadir? Sudahkah sistem kerja, pendidikan, dan lingkungan sosial kita mendukung keterlibatan ayah secara aktif?
Mengatasi fenomena fatherless bukan pekerjaan instan. Tapi ia bisa dimulai dari hal-hal kecil: mengantar anak ke sekolah, membacakan buku sebelum tidur, mendengarkan cerita sederhana dari mulut anak, atau sekadar memeluk dan berkata, “Ayah sayang kamu.”
Sekolah juga bisa berperan dengan membuat program “Hari Ayah Mengantar Anak” atau sesi parenting khusus ayah. Lingkungan kerja bisa lebih fleksibel dengan memberi ruang bagi pekerja laki-laki untuk cuti ayah, atau mengantar anak tanpa stigma. Dan masyarakat luas harus menghentikan ejekan terhadap ayah yang terlibat dalam pengasuhan.
Kita tidak bisa terus membiarkan anak-anak tumbuh dengan lubang di hati mereka hanya karena ayah mereka tidak tahu bagaimana cara mencintai secara hadir. Dunia berubah terlalu cepat. Anak-anak kita membutuhkan ayah yang bukan hanya menjadi sumber materi, tetapi juga sumber makna.
Fenomena fatherless bukan sekadar statistik, tapi luka kolektif yang menyelinap diam-diam dalam generasi. Anak-anak yang pergi ke sekolah tanpa ayah menyimpan pertanyaan yang belum dijawab: ke mana sosok yang seharusnya menuntun dan menjaga mereka?
Di tengah dunia yang gaduh, cinta sering kali datang lewat kehadiran yang sunyi. Mengantar anak ke sekolah bukan tugas logistik, melainkan tindakan cinta yang membentuk arah hidup anak-anak. Jika hari ini masih banyak ayah yang memilih tidur lebih lama daripada mengantar anak, maka masa depan kita sedang dibentuk oleh absennya figur yang seharusnya hadir.
Mari kita ubah cerita itu. Mari kita kirim lebih banyak ayah ke gerbang sekolah, bukan sekadar dengan motor atau mobil, tapi dengan cinta, waktu, dan kehadiran yang tak tergantikan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Akses Air Bersih dan Sanitasi Sekolah yang Minim Jadi Ancaman Buat Kesehatan Anak
-
Instagram Bupati Diserbu Netizen Usai Sekolah Al-Washliyah Disegel Pemkab Deli Serdang
-
7 Rekomendasi Sepeda Anak di Bawah 800 Ribu: Awet, Murah, dan Bikin Si Kecil Senang!
-
5 Mobil Keluarga Murah Desain Anak Muda: Harga Rp 100 Jutaan, Berkesan Mewah
-
Besok Nikah, 3 Tahap PDKT Maula Akbar Anak Dedi Mulyadi dan Putri Karlina Wabup Garut
Kolom
-
FOMO Tren Olahraga Gen Z: Sehat Beneran atau Sekadar Gaya di Media Sosial?
-
Swipe, Checkout, Nyesel: Budaya Konsumtif dan Minimnya Literasi Keuangan
-
Pacu Jalur Viral, Warisan Budaya Kita Terancam Dicuri?
-
Membaca Buku Jadi Syarat Lulus: Langkah Maju, Asal Tak Hanya Formalitas
-
Cuaca Tak Bisa Diprediksi: Kemarau Basah, Petani Terjepit
Terkini
-
Gerald Vanenburg Cermati Timnas Filipina, Garuda Muda Siap Kembali Tempur?
-
Bukan Berduaan, The8 SEVENTEEN Ungkap Usaha PDKT di Lagu 'Side by Side'
-
Masuk 24 Nominasi, Serial The Penguin Siap Unjuk Gigi di Emmy Awards 2025
-
Review Film The Chaplin Revue: Upaya Maestro Menghidupkan Kembali Masa Lalu
-
Hanya Satu Laga, Jens Raven Tahbiskan Diri sebagai Top Skorer Tersubur Sepanjang Sejarah Gelaran