Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rion Nofrianda
Suasana kemeriahan pacu jalur di gelanggang sungai Kuantan (Dok. Pribadi/Rion Nofrianda)

Pacu Jalur, warisan budaya nan megah dari Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, tengah menjadi sorotan. Bukan hanya karena kemegahan perlombaan perahu tradisionalnya yang viral di media sosial, tetapi juga karena isu pelik yang mengiringinya: klaim dari negara lain atas warisan budaya ini.

Dalam era globalisasi informasi dan kapitalisasi budaya, viralnya Pacu Jalur justru membuka mata kita bahwa tradisi tidak hanya perlu dilestarikan, tapi juga dijaga, dipatenkan, dan dipertahankan sebagai bagian dari harga diri bangsa.

Ketika tradisi lokal menjadi viral, peluang dan ancaman datang bersamaan. Di satu sisi, dunia mulai mengenal keindahan, keunikan, dan semangat kolektif di balik Pacu Jalur.

Di sisi lain, ketidaksiapan kita dalam mencatat, mendokumentasikan, dan mendaftarkan tradisi ini sebagai kekayaan intelektual justru menjadi celah empuk bagi pihak luar untuk mengklaimnya.

Klaim-klaim budaya bukan isapan jempol. Sudah terlalu banyak contoh ketika warisan budaya Indonesia justru diakui sebagai milik negara lain karena kelalaian kita sendiri.

Bagi masyarakat Kuantan Singingi, Pacu Jalur bukan hanya lomba mendayung. Ia adalah manifestasi dari nilai kolektif, spiritualitas, seni, dan sejarah.

Perahu yang digunakan, atau "jalur", dibuat dengan penuh ketekunan dari kayu pilihan, dihias megah seperti kapal raja. Para pendayung tidak sekadar atlet, melainkan penjaga tradisi. Latihan berbulan-bulan mereka lakukan bukan untuk piala semata, melainkan demi menjaga marwah kampung halaman.

Viralnya Pacu Jalur di media sosial membawa keindahan ini ke panggung dunia. Ribuan orang menyaksikan video para pendayung yang berdiri di atas perahu panjang, mengayuh serempak, dengan irama semangat dan teriakan kebanggaan.

Namun ketenaran ini punya sisi gelap: negara lain mulai meniru, bahkan mencoba mengklaim Pacu Jalur sebagai bagian dari budaya mereka, dengan narasi “dayung tradisional Asia Tenggara”.

Isu klaim budaya bukan hal baru. Dari batik, wayang, hingga tari pendet semuanya pernah mengalami hal serupa. Sayangnya, kita sering bereaksi setelah kejadian, bukan mencegah sebelum terjadi.

Pacu Jalur adalah contoh konkret bagaimana kita selalu terengah-engah menghadapi dinamika globalisasi budaya. Kita viral, tapi tidak siap.

Keterlambatan mendaftarkan Pacu Jalur sebagai Warisan Budaya Takbenda ke UNESCO, misalnya, adalah bentuk kelalaian kolektif. Padahal setiap unsur Pacu Jalur memenuhi syarat: nilai sejarah, keterlibatan komunitas, kesinambungan, hingga ekspresi budaya yang hidup. Jika negara lain mendahului, maka bukan hanya tradisi yang hilang, tapi juga identitas.

Tidak bijak menyalahkan satu pihak. Pemerintah pusat kerap abai pada tradisi lokal yang dianggap "terlalu kecil". Pemerintah daerah sering kekurangan sumber daya dan strategi untuk menduniakan tradisinya.

Masyarakat adat sendiri kerap belum sadar akan pentingnya dokumentasi dan perlindungan hukum budaya mereka. Media? Lebih senang mengejar viralitas ketimbang mendalami substansi.

Yang pasti, sistem kita lemah dalam mengamankan budaya. Kita terlalu sibuk dengan konten, lupa akan konteks. Kita bangga saat tradisi viral, tapi lalai saat tradisi itu diklaim.

Negara-negara yang aktif mengklaim budaya sesungguhnya paham satu hal penting: budaya adalah kekuatan lunak (soft power). Klaim atas Pacu Jalur bukan semata-mata soal pengakuan simbolik, tetapi soal legitimasi sejarah, potensi pariwisata, dan nilai ekonomi di masa depan.

Bayangkan jika negara lain mempatenkan festival semacam Pacu Jalur, lalu menjadikannya atraksi wisata unggulan. Sementara di tanah asalnya, Pacu Jalur hanya tampil setahun sekali tanpa pendokumentasian yang baik. Yang terjadi bukan hanya penghilangan hak, tapi juga hilangnya kesempatan.

Kini kita dihadapkan pada dilema: apakah kita menjual tradisi demi eksistensi global, atau menjaganya dengan penuh martabat? Jawabannya bukan dikotomis. Tradisi seperti Pacu Jalur bisa mendunia tanpa kehilangan akar. Tapi untuk itu, perlu ada strategi kebudayaan yang berani, cerdas, dan progresif.

Menduniakan Pacu Jalur harus dibarengi dengan pendaftaran resmi sebagai warisan budaya takbenda nasional, pengarsipan digital, dokumenter berkualitas, riset akademik, dan narasi tunggal yang disuarakan oleh negara. Dunia harus tahu bahwa Pacu Jalur berasal dari Kuantan Singingi, bukan dari negara tetangga.

Viralnya Pacu Jalur seharusnya menjadi momentum. Bukan hanya untuk merasa bangga, tapi untuk bertindak. Kita butuh komitmen dari semua lini: akademisi, pemerintah, seniman, masyarakat adat, dan generasi muda. Tradisi tidak cukup dijaga dengan rasa cinta ia harus dibentengi dengan regulasi, intelektualitas, dan diplomasi budaya.

Pacu Jalur bukan hanya lomba. Ia adalah identitas. Dan identitas tidak bisa ditawar. Jika kita diam, sejarah akan mencatat bahwa kita kehilangan warisan kita sendiri bukan karena dijarah, tetapi karena kita sendiri tak menjaganya.

Rion Nofrianda