Generasi Z, hidup di era yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Sejak kecil, mereka sudah akrab dengan media sosial dan dunia digital. Segala hal kini mudah dibagikan, mulai dari makanan yang baru dicoba, tempat wisata yang dikunjungi, hingga aktivitas olahraga yang kini sedang digemari.
Di tengah derasnya arus informasi ini, olahraga yang dulunya hanya dianggap sebagai kebutuhan fisik atau rutinitas pribadi, kini berubah menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa lepas dari citra di media sosial.
Jika dulu orang berolahraga karena ingin sehat atau bugar, kini banyak yang melakukannya juga karena ingin tampil keren di dunia maya.
Melihat teman mengunggah video lari pagi dengan pemandangan estetik, ikut kelas yoga di studio kekinian, atau memamerkan progress otot di gym menjadi pemandangan yang lumrah di Instagram, TikTok, maupun platform lainnya.
Tanpa disadari, ini memicu fenomena yang dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan Gen Z, termasuk dalam urusan olahraga.
Olahraga sekarang bukan lagi sekadar soal kesehatan, tapi juga soal membentuk citra. Banyak anak muda merasa harus ikut tren olahraga tertentu supaya tidak dianggap ketinggalan zaman.
Lari maraton, yoga flying, pound fit, atau latihan di gym dengan peralatan modern, semua menjadi bagian dari gaya hidup yang dianggap keren dan wajib dicoba. Di balik itu, ada rasa takut dianggap kurang produktif atau kurang sehat jika tidak mengikuti tren ini.
Media sosial menjadi etalase utama yang memicu semua ini. Setiap unggahan tentang olahraga biasanya dikemas dengan sangat menarik.
Pakaian olahraga yang modis, tempat olahraga yang Instagramable, hingga pose-pose keren saat latihan membuat standar kebugaran terlihat tinggi dan glamor. Sayangnya, apa yang tampak di media sosial sering kali hanya potongan terbaik dari kenyataan, sementara perjuangan di baliknya jarang diceritakan.
Budaya perbandingan pun semakin kuat. Ketika melihat orang lain sudah lari 10 kilometer sementara diri sendiri baru kuat 2 kilometer, rasa minder muncul.
Ketika semua teman ikut pilates di studio mewah sementara kita hanya olahraga di rumah dengan video YouTube, perasaan “aku kurang keren” mulai menghantui. Lama-kelamaan, olahraga bukan lagi tentang kesehatan diri sendiri, melainkan tentang memenuhi ekspektasi sosial yang tercipta di dunia maya.
Dorongan untuk selalu ikut tren ini juga didorong oleh para influencer dan brand olahraga. Mereka kerap memamerkan gaya hidup sehat dengan peralatan canggih dan pakaian mahal, yang seolah menjadi simbol kesuksesan atau status sosial baru.
Tidak sedikit yang akhirnya rela mengeluarkan uang lebih untuk keanggotaan gym mahal atau membeli outfit olahraga branded demi terlihat sesuai dengan standar yang sedang tren.
Bagi sebagian Gen Z, olahraga akhirnya menjadi alat untuk mencari validasi. Ketika unggahan tentang aktivitas olahraga mendapatkan banyak likes dan komentar positif, rasa percaya diri meningkat.
Namun ketika tidak mendapatkan respons seperti yang diharapkan, perasaan cemas dan rendah diri bisa muncul. Hal ini menciptakan siklus di mana olahraga dilakukan bukan karena cinta pada aktivitasnya, tetapi karena takut dianggap kurang keren atau ketinggalan zaman.
Di sisi lain, fenomena FOMO olahraga ini memang memiliki sisi positif. Setidaknya, banyak anak muda jadi lebih sadar pentingnya menjaga kesehatan.
Mereka jadi lebih aktif bergerak, mencoba berbagai jenis olahraga, dan membentuk komunitas yang saling mendukung. Namun, jika motivasinya lebih didasari tekanan sosial ketimbang kebutuhan pribadi, dampaknya bisa berbahaya.
Banyak yang akhirnya berolahraga tanpa mempertimbangkan kemampuan tubuhnya sendiri, hanya karena ingin menyamai pencapaian orang lain. Dan ini bisa memicu cedera atau kelelahan fisik yang justru berujung pada gangguan kesehatan.
Selain itu, ada juga tekanan finansial yang muncul. Tidak semua orang mampu mengikuti tren olahraga yang mahal, namun dorongan untuk tetap ikut-ikutan sering kali membuat orang memaksakan diri.
Yang lebih berbahaya lagi adalah dampaknya terhadap kesehatan mental. Ketika olahraga yang seharusnya menjadi cara untuk melepas stres malah berubah menjadi beban baru, banyak anak muda justru merasa tertekan.
Mereka cemas jika tidak mencapai target tertentu, atau merasa tidak cukup baik jika tubuhnya tidak cepat berubah sesuai standar di media sosial. Akibatnya, olahraga kehilangan esensinya sebagai kegiatan yang menyehatkan jiwa dan raga.
Agar fenomena ini tidak menjadi bumerang, Gen Z perlu mulai mengelola FOMO olahraga dengan cara yang lebih bijak. Kuncinya adalah kembali ke tujuan awal, olahraga untuk kesehatan dan kebahagiaan diri sendiri, bukan semata-mata untuk konten atau validasi dari luar.
Tidak semua tren harus diikuti, dan tidak semua pencapaian orang lain harus kita tiru. Setiap orang punya kondisi tubuh, kebutuhan, dan batasannya masing-masing.
Olahraga seharusnya menjadi proses yang menyenangkan, bukan ajang pamer atau sumber tekanan baru. Dengan menyadari hal ini, generasi muda bisa tetap aktif dan sehat, tanpa harus kehilangan makna dari aktivitas itu sendiri.
Baca Juga
-
Review Film Better Days, Saat Dunia Remaja Tak Selalu tentang Cerita Manis
-
Ulasan Buku Seni Membaca Kepribadian Orang: Tips Memahami Sifat Manusia
-
Memaknai Refleksi Cinta yang Tak Seimbang dalam Lagu Maps oleh Maroon 5
-
Review Film Bebas, Nostalgia Era 90-an yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Mengapa Gen Z Susah Kaya? Ini Bukan Sekadar Soal Malas atau Boros!
Artikel Terkait
-
Ketua RT Gen Z Viral! Jalan Rusak Langsung Mulus, Lurah Sampai Kaget
-
6 Rekomendasi Sport Bra untuk Olahraga: Nyaman dan Stylish Harga di Bawah Rp300 Ribu
-
Viral Sahdan Ketua RT Gen Z, Netizen Bandingkan dengan Nur Afifah Balqis 'Koruptor Termuda'
-
Sempat Diremehkan 'Anak Kecil Tahu Apa', Kisah Ketua RT Gen Z Viral, Berujung Panggilan Wali Kota
-
Popularitas Olahraga Lari di Kalangan Gen Z: Tapi Masihkan Soal Kesehatan?
Kolom
-
Swipe, Checkout, Nyesel: Budaya Konsumtif dan Minimnya Literasi Keuangan
-
Pacu Jalur Viral, Warisan Budaya Kita Terancam Dicuri?
-
Membaca Buku Jadi Syarat Lulus: Langkah Maju, Asal Tak Hanya Formalitas
-
Cuaca Tak Bisa Diprediksi: Kemarau Basah, Petani Terjepit
-
Polemik Rumor Pratama Arhan Pemain Titipan, Baiknya Pencinta Sepak Bola Pahami Dulu Hal Ini
Terkini
-
Review Film The Chaplin Revue: Upaya Maestro Menghidupkan Kembali Masa Lalu
-
Hanya Satu Laga, Jens Raven Tahbiskan Diri sebagai Top Skorer Tersubur Sepanjang Sejarah Gelaran
-
Timnas Indonesia U-23 Tetap Perlu Evaluasi Meski Pesta Gol di Laga Perdana
-
Bojan Hodak Tegaskan Pentingnya Pemusatan Latihan di Thailand untuk Persib Bandung
-
Marc Marquez Kembali ke Setelan Awal, Honda Belum Tertarik Bawa Pulang